Aksi Tolak Revisi UU Pilkada

Revisi UU Pilkada Bisa Disahkan DPR Sebelum Pilkada, Mahfud Bilang Itu Bahaya

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan revisi UU Pilkada bisa saja disahkan sebelum Pilkada 2024 berlangsung.

Editor: fitriadi
KOMPAS.com/ Achmad Nasrudin Yahya
Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad ditemui dalam gelaran Rapimnas Partai Gerindra di SICC, Bogor, Jawa Barat, Jumat (12/8/2022). Di DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menjabat sebagai Wakil Ketua. 

Mereka menilai, Indonesia tengah terjadi krisis konstitusi akibat pembangkangan yang dilakukan DPR secara arogan dan vulgar telah mempertontonkan pengkhianatan terhadap konstitusi.

Akibatnya, kata mereka, Indonesia kini berada dalam bahaya otoritarianisme yang seakan mengembalikan Indonesia ke era kolonialisme dan penindasan.

"Tingkah-polah tercela yang diperlihatkan para anggota DPR itu, tak lain dan tak bukan merupakan perwujudan kolusi dan nepotisme, yang pada 1998 telah dilawan dengan keras oleh aksi massa dan mahasiswa sehingga melahirkan Reformasi," demikian keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Kamis (22/8/2024).

Mereka menegaskan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengikat bagi semua, termasuk semua lembaga tinggi negara.

Mereka menganggap DPR merevisi UU Pilkada, namun mengabaikan putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No.70/PUU-XXII/2024.

"Nyata-nyata DPR sangat menciderai sikap kenegarawanan yang dituntut dari para wakil rakyat," tulisnya.

Menurut mereka, tidak ada dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah persyaratan usia calon kepala daerah termasuk besaran kursi parpol melalui revisi UU Pilkada.

"Perubahan-perubahan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa antarlembaga tinggi negara seperti MK versus DPR sehingga kelak hasil Pilkada justru akan merugikan seluruh elemen masyarakat karena bersifat kontraproduktif dan akan menimbulkan kerusakan kehidupan bernegara," tegas mereka.

Konsekuensinya adalah runtuhnya kewibawaan negara, lembaga-lembaga tinggi negara, dan hukum akan merosot ke titik nadir bersamaan dengan runtuhnya kepercayaan Masyarakat.

Karenanya, mereka meminta; pertama, DPR menghentikan revisi UU Pilkada. Kedua, bertindak arif, adil, dan bijaksana dengan menjunjung nilai-nilai kenegarawanan.

Ketiga, meminta KPU segera melaksanakan putusan MK No. 60 dan No. 70 tahun 2024 demi terwujudnya kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila.

Keempat, negara harus didukung penuh agar tetap tegar dan kuat dalam menjalankan konstitusi sesuai dengan perundang- undangan, serta mengingatkan secara tegas bahwa kedaulatan rakyat adalah berdasarkan Pancasila.

Muhammadiyah Minta DPR Hormati Putusan MK

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga bereaksi menanggapi RUU Pilkada yang bergulir di Badan Legislasi (Baleg DPR RI).

Melalui Sekretaris Umum atau Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, pihaknya kecewa dengan forum tersebut dimana putusan yang dihadirkan malah berseberangan dengan hasil Mahkamah Konstitusi (MK).

‘Kami sulit memahami langkah dan keputusan DPR yang bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga legislatif, DPR seharusnya menjadi teladan dan mematuhi undang-undang,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (22/8/2024).

Menurut dia, sudah seharusnya DPR sebagai lembaga negara yang merepresentasikan kehendak rakyat  menghayati betul dasar-dasar bernegara yang mengedepankan kebenaran, kebaikan, dan kepentingan negara dan rakyat dibanding dengan kepentingan politik kekuasaan semata.

“DPR sebagai pilar legislatif hendaknya menghormati setinggi-tingginya lembaga yudikatif, termasuk Mahkamah Konstitusi,” tegas Mu’ti.

DPR tidak boleh berseberangan, berbeda, dan menyalahi  keputusan MK dalam masalah persyaratan  calon  kepala daerah  dan ambang batas pencalonan kepala daerah dengan melakukan pembahasan RUU Pilkada 2024.

Pihaknya khawatir langkah DPR tersebut dapat menimbulkan ketidakharmonisan yang panjang.

Selain dapat menimbulkan masalah disharmoni dalam hubungan sistem ketatanegaraan, juga akan menjadi benih permasalahan serius dalam Pilkada 2024.

“Tentunya juga akan menimbulkan reaksi publik yang dapat mengakibatkan suasana tidak kondusif dalam kehidupan kebangsaan,” ungkap dia.

Dirinya berharap, DPR dan Pemerintah hendaknya sensitif dan tidak menganggap sederhana terhadap  arus massa, akademisi, dan mahasiswa yang turun ke jalan menyampaikan aspirasi penegakan hukum  dan perundang-undangan.

Perlu sikap arif dan bijaksana agar arus massa tidak menimbulkan masalah kebangsaan dan kenegaraan yang semakin meluas.

Pakar Hukum Sebut DPR Melawan Putusan MK

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari menyebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah melawan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu menanggapi putusan Badan Legislasi (Baleg) DPR yang mengubah putusan MK terkait ambang batas pencalonan di Pilkada.

"Tentu saja melawan, karena jelas di dalam putusan Nomor 60 dan 70 mengenai syarat dan Partai yang dapat mengajukan calon kepala daerah dan syarat usia calon kepala daerah semua diubah oleh DPR dan pemerintah," katanya, dikutip dari tayangan YouTube Metro TV, Rabu (21/8/2024).

Menurutnya, putusan Baleg tersebut merupakan akal-akalan DPR yang terganggu terhadap putusan MK.

"Jadi ini sebenarnya akal-akalan DPR, karena memang permainan politik mereka."

"Landscape mereka terganggu dengan putusan MK yang sangat luar biasa memperbaiki keadaan ini," jelasnya.

Feri kemudian membandingan sikap anggota DPR di putusan MK terdahulu dengan saat ini.

Putusan terdahulu MK yang dimaksud adalah tentang syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

"Dulu mereka mengatakan harus patuh putusan MK di dalam perubahan syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden."

"Mereka tidak menyinggung bahwa ini adalah upaya untuk merongrong dewan dan segala macamnya," jelasnya.

Namun sekarang, kata Feri, sikap DPR berbanding terbalik.

Hal itu menurutnya karena situasi dan kepentingan politik yang berbeda.

"Mereka merasa terganggu kepentingan politiknya sehingga keluarlah jurus asal trobos, merusak berbagai sistem."

"Dan ini kerusakan ketatanegaraan yang begitu besar dan tampak di depan mata," tandasnya.

Menurut Feri, seharusnya putusan MK yang mengubah Undang-undang, bukan justru Undang-undang yang mengubah putusan MK.

"Nah apa yang dilakukan DPR ini mudah sekali membuktikan kealpaan dan kesalahannya karena memang memaksakan diri," jelas Feri.

"Misalnya contoh soal batas usia calon, DPR bersepakat untuk mematuhi putusan MK."

"DPR perlu satu membaca Undang-undang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dua baca Undang-undang MK," sambungnya.

Katanya, perubahan atau revisi Undang-undang dilakukan untuk menyesuaikan putusan MK, bukan putusan Mahkamah Agung (MA).

"Sebab yang dibahas di putusan MA itu adalah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bukan Undang-undang sebagaimana MK," jelas Feri.

Adapun Baleg dan Panitia Kerja (Panja) memutuskan dua putusan penting terkait aturan dalam Pilkada.

Putusan pertama, Baleg memilih menggunakan putusan MA ketimbang putusan MK terkait batas usia calon untuk maju di Pilkada.

Baleg juga sepakat UU Pilkada mengacu pada putusan Nomor 23/P/HUM/2024 yang diputuskan MA pada 29 Mei 2024.

Putusan kedua, Baleg mengubah putusan MK terkait ambang batas atau treshold Pilkada.

Baleg justru mengubah putusan MK menjadi partai politik (parpol) nonparlemen saja yang bisa mengusung calon sendiri di Pilkada dengan syarat tertentu.

Contohnya, jika di Pilkada Jakarta, partai nonparlemen yang berkoalisi baru bisa mengusung calon sendiri jika minimal suara sah di Pemilu mencapai 7,5 persen.

Pembangkangan Secara Vulgar Terhadap MK

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna menilai rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sebagai pembangkangan secara vulgar terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Rapat dengan agenda pembahasan RUU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tersebut digelar pada Rabu (21/8/2024) hari ini di gedung parlemen Jakarta.

Palguna mengatakan MKMK tidak perlu bersikap apa-apa terkait hal yang terjadi di antara pembentuk undang-undang yakni pemerintah dan DPR.

"Tapi cara ini, buat saya pribadi adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, c.q. Mahkamah Konstitusi yang tidak lain adalah lembaga negara yang oleh Konstitusi (UUD 1945) ditugasi untuk mengawal UUD 1945," kata Palguna saat dihubungi Tribunnews.com, Rabu (21/8/2024).

Palguna juga menekankan tidak ada hal yang dapat dilakukan MK terkait respons pemerintah dan DPR terhadap putusan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan UU Pilkada tersebut.

"Ya tidak ada (hal yang bisa dilakukan MK). Itu kan sudah berada di luat kewenangan MK," ucapnya.

Menurutnya, saat ini aksi dari pembentuk UU tersebut dihadapkan dengan rakyat. Sehingga, masyarakat sendiri yang menilai hal tersebut.

"Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapean," ujar mantan Hakim Konstitusi itu.

"MK adalah pengadilan yang, sebagaimana galibnya pengadilan, baru bisa bertindak kalau ada permohonan," tutur Palguna.

Bantahan Baleg DPR

Sebelumnya, Anggota Baleg DPR RI Fraksi PAN, Yandri Susanto membantah rapat Baleg kali ini bertujuan untuk menganulir putusan MK terkait ambang batas pencalonan Pilkada.

Yandri menegaskan rapat hari ini untuk membahas hasil putusan MK agar bisa ditafsirkan secara jelas.

"Kami enggak mungkin menganulir MK, kami ingin menyadur itu biar terang benderang, tidak ada tafsir yang liar, oleh penyelenggara KPU maupun pasangan calon yang ingin berkontestasi di Pilkada, inilah redaksinya," kata Yandri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

(Tribunnews.com/Igman Ibrahim/Pravitri Retno Widyastuti/Ibriza Fasti/Yohanes Liestyo/Fersianus Waku)

Sumber: Tribunnews
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved