Aksi Tolak Revisi UU Pilkada

Ternyata Ini Arti Peringatan Darurat Garuda Biru yang Viral di Media Sosial, Kawal Putusan MK

Viral, jagat media sosial dihebohkan dengan unggahan bertuliskan "Peringatan Darurat" yang menampilkan gambar Garuda berlatar belakang biru.

|
Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
IST
Viral Peringatan Darurat Gambar Garuda dan Tagar Kawal Putusan MK, Bentuk Kekhawatiran Masyarakat? 

BANGKAPOS.COM--Belakangan ini, jagat media sosial dihebohkan dengan unggahan bertuliskan "Peringatan Darurat" yang menampilkan gambar Garuda berlatar belakang biru.

Postingan ini cepat menyebar di berbagai platform, termasuk Instagram, TikTok, dan X (sebelumnya Twitter), menarik perhatian netizen.

Gambar "Peringatan Darurat" ini pertama kali diunggah oleh akun kolaborasi @narasinewsroom, @najwashihab, @matanajwa, dan @narasi.tv di Instagram.

Selanjutnya, sejumlah tokoh publik seperti komika Bintang Emon dan beberapa influencer lainnya, serta akun-akun pendukung Anies Baswedan turut membagikan unggahan serupa.

Di platform X, kata kunci "Peringatan Darurat" menjadi trending topic dengan lebih dari 6.955 tweet, diikuti dengan tagar #KawalPutusanMK yang merajai trending dengan lebih dari 24.550 tweet.

Gerakan unggah "Peringatan Darurat" ini merupakan ajakan kepada masyarakat untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Narasi yang berkembang di media sosial ramai membahas putusan MK pada Selasa, 20 Agustus 2024, yang memperbolehkan partai politik tanpa kursi di DPRD untuk tetap mengusung calon kepala daerah.

Namun, pada Rabu, 21 Agustus 2024, DPR memutuskan untuk menggelar rapat guna membahas revisi Undang-Undang (UU) Pilkada.

Beberapa pihak menduga revisi UU Pilkada ini dilakukan untuk menganulir putusan MK, meski hal ini dibantah oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Achmad Baidowi, yang menyatakan bahwa pembahasan revisi UU Pilkada tidak akan berbentrokan dengan putusan MK.

Di Balik Tagar "Peringatan Darurat" dan #KawalPutusanMK

Viralnya postingan "Peringatan Darurat" di media sosial muncul sebagai respons terhadap langkah DPR RI yang dianggap mengabaikan hasil putusan MK terkait syarat calon kepala daerah.

Badan Legislasi DPR RI dinilai mendesain pembangkangan atas dua putusan MK yang telah dikeluarkan.

Pertama, DPR berupaya mengembalikan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah dalam pemilu legislatif sebelumnya, sebuah ketentuan yang telah dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, DPR ingin mengembalikan batas usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak pelantikan, meski MK telah menegaskan bahwa perhitungan usia harus dilakukan pada saat penetapan pasangan calon oleh KPU.

Putusan MK Terkait Syarat Pencalonan Pilkada 2024

Pada Selasa, 20 Agustus 2024, MK mengeluarkan dua putusan penting terkait syarat usia calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan.

Dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa syarat usia minimum calon kepala daerah harus dipenuhi pada saat pendaftaran sebagai calon, bukan saat pelantikan.

Selain itu, dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK juga menghapus ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 25 persen suara atau 20 persen kursi DPRD.

Dengan putusan ini, MK menetapkan ambang batas yang lebih rendah berdasarkan jumlah penduduk di provinsi tersebut, untuk memberikan kesempatan lebih besar bagi partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusung calon kepala daerah.

MK sendiri sudah berulang kali menegaskan bahwa putusan Mahkamah berlaku final dan mengikat. 

Pada putusan terkait usia calon kepala daerah, majelis hakim konstitusi sudah mewanti-wanti konsekuensi untuk calon kepala daerah yang diproses dengan pembangkangan semacam itu.

Putusan MK soal syarat pencalonan Pilkada 2024

MK sebelumnya memutuskan terkait syarat usia calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan kepala daerah.

Keputusan MK terkait syarat usia calon kepala daerah tertuang dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Anthony Lee dan Fahrur Rozi, Selasa (20/8/2024).

"Persyaratan usia minimum, harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra dikutip dari Kompas.com, Selasam (20/8/2024).

"Titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah," tambahnya.

Penegasan MK ini berkebalikan dengan tafsir hukum yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) belum lama ini.

Melalui putusan nomor 24 P/HUM/2024, MA mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung dalam Peraturan KPU (PKPU) saat penetapan pasangan calon, menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih.

MA menilai bahwa PKPU itu melanggar UU Pilkada.

Sementara itu, keputusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah tertuang dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Gelora.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Selasa (20/8/2024).

Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

Berdasarkan putusan MK tersebut, partai politik atau gabungan partai politik cukup memenuhi threshold ini untuk mengusung gubernur:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai 2 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 10 persen

b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 2-6 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 8,5 persen

c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 6-12 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 7,5 persen

d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 6,5 persen.

Putusan MK Tidak Bisa Dibatalkan DPR

Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril, menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diubah oleh pihak manapun, termasuk DPR.

Oce mengingatkan bahwa semua pihak, termasuk DPR, harus mematuhi putusan MK, karena tidak melaksanakannya termasuk tindakan melawan hukum.

Jika putusan MK terkait pilkada tidak ditaati, Oce memperingatkan bahwa pilkada serentak mendatang akan rawan melanggar hukum, dan hasilnya pun bisa dibatalkan oleh MK.

Sebab, MK memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara hasil pemilihan umum.

Menurut dia, putusan MK memiliki kekuatan eksekutorial begitu dibacakan oleh hakim konstitusi.

"Maknanya tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan untuk mengubah putusan MK, termasuk oleh DPR," kata dia dikutip dari Kompas.com, Rabu.

Oce menambahkan, putusan MK tersebut bersifat erga omnes atau bermakna mengikat untuk semua pihak tanpa terkecuali.

Oleh karenanya, semua pihak termasuk DPR, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), partai politik, maupun masyarakat luas, harus mematuhi isi putusan MK.

Adapun, bila terdapat pihak-pihak yang tidak mematuhi putusan MK, maka tindakan tersebut termasuk perbuatan melawan hukum.

Oce mengingatkan, akan ada dampak serius jika putusan MK terkait pilkada tidak ditaati. Salah satunya, pilkada serentak yang akan berlangsung rawan melanggar hukum.

Selain itu, hasil pilkada juga dapat dibatalkan oleh MK. Sebab, lembaga negara ini memiliki kewenangan dalam memutus perkara hasil pemilihan umum.

(TribunTrends.com/ Banjarmasinpost.co.id/Kompas.com)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved