Resonansi
Kisah Klasik Soal Ketimpangan
Kekayaan 50 triliuner teratas Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia.
Penulis: Ade Mayasanto | Editor: fitriadi
Laporan Bank Dunia berjudul “Jebakan Pendapatan Menengah,” yang dirilis pada awal Agustus 2024, di banyak negara berpendapatan menengah, termasuk Indonesia, terbukanya akses masyarakat terhadap peluang ekonomi tidak berlandaskan pada prestasi (merit) semata.
Itu berarti, tidak ada jaminan bagi individu yang memiliki keterampilan dalam bidang tertentu untuk mendapat kemudahan akses menuju lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya.
Terbukanya akses ekonomi bagi seorang individu di negara berkembang sangat bergantung kepada tiga aspek, yakni modal jaringan (networking) yang dimiliki, lingkungan (neighborhood) tempat ia tumbuh, dan norma (norms) sosial yang dianut individu tersebut.
Ketimpangan menjadi persolan klasik bukan? Ya, bisa jadi. Banyak pihak menyalahkan kebijakan yang pro kapitalisme.
Kebijakan yang menitikberatkan paham maksimalisasi keuntungan dan memprioritaskan keutungan finansial jangka pendek ketimbang investasi bersifat sustain alias berkelanjutan dalam jangka panjang.
Bagi John Mackey dan Raj Sisodia dalam bukunya berjudul Conscious Capitalism (2013), ketimpangan yang terjadi antara si kaya dan miskin merupakan bentuk praktek kapitalisme yang salah jalan.
Praktik kapitalisme saat ini sudah melenceng jauh dari konsep awal yang dicetuskan mahaguru ekonomi yang juga bapak pencetus kapitalisme modern, Adam Smith.
Secara sederhana kapitalisme berarti memberikan kuasa atau kesempatan bagi para pemilik modal sebuah kemampuan untuk menciptakan produksi yang bisa memberikan keuntungan dan nilai tambah di masyarakat.
Namun, rupanya para pebisnis hanya mengambil secuplik bagian konsep mendapatkan keuntungan tapi lupa bahwa mereka juga mestinya punya kesadaran untuk berkontribusi ke komunitas lebih luas.
Inilah yang membuat kapitalisme dan pengusaha itu seolah-olah jahat di mata masyarakat.
Dewi Lusiana, Dosen Pascasarjana FIA-UI dalam tulisan "Kapitalisme, Masihkah Menjanjikan?" menyebut bahwa Teori Trickle Down Effect yang digagas Albert Otto Hirschman tahun 1954, jelas tidak terbukti.
Jika ada, keuntungan yang ada sesungguhnya hanya akan diraih kelompok tertentu, yaitu oleh kaum kapitalis itu sendiri.
Sementara di banyak negara lain, kapitalisme justru membawa dampak negatif berupa peningkatan kemiskinan, terutama di negara berkembang yang terpaksa menjadi ”buruh” dan ”pasar” bagi kaum kapitalis, serta juga meningkatnya sampah di berbagai belahan dunia.
Tapi tunggu dulu. Bukankah ideologi sudah mati. Di akhir tahun 50-an, sejumlah ahli sosiologi bicara secara fasih perihal berakhirnya ideologi. Daniel Bell menuliskan hal itu dalam buku The End of Ideology.
Catatan di atas seolah ideologi tidak mati.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.