Breaking News

Tribunners

Resolusi Pencegahan Kekerasan Perempuan dan Anak 

Salah satu bentuk kekerasan yang terjadi adalah kekerasan seksual berupa pencabulan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Chairul Aprizal, S.K.M. - Tenaga Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku UPT Puskesmas Airbara 

Oleh: Chairul Aprizal, S.K.M. - Tenaga Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku UPT Puskesmas Airbara

KEKERASAN terhadap perempuan dan anak merupakan sebuah peristiwa malang yang merugikan setiap korban dan keluarganya. Kasus-kasus ini terus meneror di setiap daerah yang ada di Indonesia. Kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terus terjadi adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang nyata di depan mata kita. Setiap harinya selalu ada bentuk kekerasan pada perempuan dan anak yang terjadi baik di dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, fasilitas umum, dan tempat-tempat lainnya.

Menteri PPPA, Arifah Fauzi, Kamis (21/11/2024), mengungkapkan data hasil survei SPHPN dan SNPHAR 2024 adanya penurunan prevalensi kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan usia 15-64 tahun menurun dari 9,4 persen pada 2016 menjadi 6,6 persen di 2024. Sementara itu, kekerasan terhadap anak laki-laki turun dari 61,7 persen pada 2018 menjadi 49,83 persen, dan terhadap anak perempuan dari 62 persen menjadi 51,78 persen.

Tren kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak pernah berakhir. Bicara soal fenomena ini tidaklah layak apabila hanya melihat data secara kuantitatif atau angka-angka saja tentang penurunan. Sedikit ataupun banyak kasus yang terjadi hal ini tidak boleh kita remehkan karena bukan merupakan bentuk kebanggaan apabila terjadi penurunan. Bagi kita, selama kasus kekerasan yang meneror perempuan dan anak terus terjadi, baik banyak ataupun sedikit, tetap mesti dilawan dan dicegah. Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukanlah perihal hitung-hitungan matematika. Maka kejadian yang sudah kepalang terjadi ini harus segera dilawan dan dilenyapkan.

Merefleksikan kembali tepat di tanggal 25 November sebagai "Hari Internasional Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan" maka resolusi harus dinyalakan. Kita ingin mengedepankan upaya-upaya yang lebih hulu bukan hilir. Maka dari itu upaya pencegahan adalah hal yang lebih prioritas ketimbang dengan penanganan. Upaya penanganan memang diperlukan untuk perempuan dan anak yang sudah menjadi korban dari banyaknya kasus-kasus pelecehan dan kekerasan berbasis gender di Indonesia.

Salah satu bentuk kekerasan yang terjadi adalah kekerasan seksual berupa pencabulan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak. Kalau kita sering mendengar di media-media pemberitaan, kasus pencabulan dan pelecehan ini terjadi terhadap korban perempuan dan anak di bawah umur. Pencabulan dan pelecehan terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan tempat kerja. Data SIMFONI (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) mencatat sebanyak 14.193 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan. Sebagian besarnya yakni sebanyak 8.674 adalah kekerasan seksual. 

Menurut laporan terakhir Organisasi Buruh Internasional atau ILO bahwa pekerja muda atau yang berusia 15-24 tahun adalah yang terbanyak mendapatkan perlakuan kekerasan atau pelecehan seksual di tempat kerja yang korbannya didominasi oleh kaum perempuan. Ada banyak sekali kasus pelecehan seksual di tempat kerja seperti yang terjadi di RS Spesialis bulan Mei 2024 lalu dengan korbannya adalah seorang karyawatinya (dikutip dari metrotvnews.com, 21 September 2024). Kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja hingga hari ini masih menjadi momok yang menakutkan khususnya kepada pekerja perempuan.

Dari catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ada 101 korban kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan sepanjang tahun 2024. Korban dari kekerasan seksual ini adalah murid itu sendiri, baik laki-laki maupun perempuan. Kemungkinan besar kasus kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan ini jumlahnya bisa jadi lebih besar dari apa yang dilaporkan oleh FSGI. Di luar sana kemungkinan masih banyak kejadian kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang tidak diketahui atau terlaporkan.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disebutkan berbagai jenis kekerasan seksual. Di antaranya, pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual yang berbasis elektronik. 

Dalam kasus kekerasan seksual pelecehan nonfisik ini sering kali diabaikan dan dianggap tindakan yang tidak serius. Padahal korban yang mengalami kejadian ini akan mendapatkan efek psikologis. Untuk itu, tidak boleh ada lagi ruang bagi pelaku kejahatan seksual nonfisik seperti pernyataan memanggil dengan cara tidak wajar yang mengarah ke seksualitas, gerakan tubuh, atau aktivitas yang mengarah ke seksualitas lainnya yang dapat merendahkan perempuan dan anak terjadi lagi.

Dampak kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak sangatlah besar berkepanjangan karena merusak kesehatan mental. Kesehatan mental yang terganggu seperti trauma psikologis, stres pascatrauma, gangguan kecemasan, depresi, gangguan pola hidup yang sehat seperti makan dan tidur, dan lainnya (Chynoweth et al., 2020). Selain kesehatan mental, kekerasan seksual juga mengakibatkan kesehatan fisik yang terganggu seperti luka-luka, memar, dan risiko infeksi penyakit menular/IMS (Khani et al., 2023). 

Korban dari kekerasan seksual umumnya akan mengalami rasa perasaan malu, minder, dan hilangnya kepercayaan diri sehingga kerap kali terisolasi secara sosial masyarakat. Salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual ini karena rendahnya kesadaran hukum, budaya patriarki yang masih melekat, status ekonomi atau kemiskinan, keterlibatan orang ketiga atau perselingkuhan, menikah dini, dan lemahnya nilai-nilai pengamalan secara keagamaan.

Kita memerlukan resolusi yang tepat untuk permasalahan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak ini. Resolusi yang tidak hanya menangani kasus yang terjadi dan terlaporkan, tetapi melakukan upaya pencegahan agar tidak ada lagi ruang sekecil apa pun untuk kekerasan seksual. Upaya pencegahan yang memberdayakan (empowering) terhadap perempuan dan anak khususnya perempuan yang dominan menjadi korban terbanyak dalam pelecehan seksual. Empowering terhadap perempuan menjadi seseorang yang mampu menjaga diri dan menempatkan diri pada level yang setara berbasis gender.

Kesetaraan gender dapat menegaskan bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama dan tidak dapat diskriminasikan. Perbedaan kesetaraan gender dan kodrat perempuan hanya pada fungsi biologis, yakni melahirkan dan menyusui. Kesetaraan gender lebih bersifat pembagian peran terhadap laki-laki yang sama misalnya, perempuan juga bisa bekerja, dan laki-laki juga bisa mengurusi rumah tangga keduanya adalah peran gender.

Kebanyakan dari kasus kekerasan seksual kepada perempuan adalah karena perempuan tidak berdaya. Perempuan yang tidak berdaya (tidak setara gender) akan menciptakan relasi kuasa. Relasi kuasa ini dapat menindas perempuan yang tidak memiliki kuasa sehingga terjadilah pelecehan atau kekerasan seksual.

Sumber: bangkapos
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved