Tribunners
Implementasi Kurikulum Cinta di Madrasah
Kurikulum Berbasis Cinta lahir bukan dari ruang hampa. Ia merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai moderasi beragama dan semangat Islam
Oleh: Rohani, M.Pd. - Pengawas Madrasah Kementerian Agama Kota Pangkalpinang
INDONESIA sebagai negara dengan keberagaman suku, agama, dan budaya, menghadapi tantangan dalam menjaga kerukunan dan toleransi antarwarganya. Fenomena intoleransi, diskriminasi, dan konflik berbasis perbedaan masih kerap terjadi, mengancam harmoni sosial yang telah lama terjalin.
Dalam konteks pendidikan, muncul kebutuhan mendesak untuk menanamkan nilai-nilai cinta, toleransi, dan penghargaan terhadap keagamaan sejak dini. Menanggapi situasi ini, Kementerian Agama Republik Indonesia menggulirkan inisiatif kurikulum berbasis cinta sebagai upaya strategis untuk membentuk generasi humanis dan inklusif.
Kurikulum dan dinamika perubahannya
Berbicara soal perubahan kurikulum, bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Sejak masa kemerdekaan hingga hari ini, kurikulum nasional telah mengalami berbagai pembaruan. Setidaknya, lebih dari sepuluh kali perubahan besar terjadi, dimulai dari Kurikulum 1947, Kurikulum 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, hingga Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada 2004. Setelah itu lahirlah Kurikulum 2006 (KTSP), lalu Kurikulum 2013 (K-13) yang menjadi tonggak perubahan paradigma dari berpusat pada guru ke berpusat pada peserta didik.
Perubahan besar kembali terjadi pascapandemi, ketika lahirlah Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini hadir sebagai jawaban atas tuntutan zaman dan kebutuhan pembelajaran yang lebih fleksibel, kontekstual, dan sesuai dengan karakteristik peserta didik. Kurikulum Merdeka menekankan pada pembelajaran berdiferensiasi, penguatan karakter, serta penekanan pada profil pelajar Pancasila.
Namun belum lama Kurikulum Merdeka digaungkan, muncullah gagasan segar yang makin memperkaya khazanah pendidikan nasional, yakni Kurikulum Berbasis Cinta. Inisiatif ini datang dari Kementerian Agama RI sebagai respons terhadap dinamika sosial, budaya, dan keagamaan yang makin kompleks. Gagasan ini bukanlah sebuah kurikulum baru yang berdiri sendiri, melainkan irisan dari penguatan nilai-nilai dalam Kurikulum Merdeka—dengan penekanan khusus pada cinta kasih, toleransi, dan perdamaian.
Kurikulum Berbasis Cinta lahir bukan dari ruang hampa. Ia merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai moderasi beragama dan semangat Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Dalam konteks pendidikan, pendekatan ini bertujuan menanamkan kecintaan kepada Tuhan, sesama manusia, alam sekitar, serta bangsa dan negara.
Moderasi beragama menekankan pentingnya sikap tengah, adil, dan toleran dalam beragama. Hal ini sangat relevan di tengah tantangan intoleransi dan ekstremisme yang kian mengemuka. Dengan menyisipkan nilai-nilai cinta ke dalam pembelajaran, peserta didik diharapkan tumbuh menjadi pribadi yang menghargai perbedaan, berpikir terbuka, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Apa itu Kurikulum Berbasis Cinta?
Secara konseptual, Kurikulum Berbasis Cinta bukanlah strategi pendidikan yang benar-benar baru, melainkan pendekatan yang diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran yang sudah ada. Tujuannya adalah menanamkan nilai-nilai cinta sejak dini. Bukan cinta dalam arti sempit atau romantis, melainkan cinta yang transenden—cinta kepada Tuhan, cinta kepada sesama, cinta kepada lingkungan, dan cinta kepada tanah air.
Kementerian Agama telah menyiapkan panduan khusus bagi para guru untuk menyisipkan nilai-nilai tersebut ke dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan, tetapi juga ruang pembentukan karakter yang utuh dan manusiawi.
Strategi implementasi kurikulum ini disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Di tingkat raudhatul athfal (RA) atau PAUD, metode pembelajaran menggunakan pendekatan permainan, lagu, dan pembiasaan positif. Anak-anak diajak mengenal nilai cinta dan kasih sayang melalui cerita, simulasi, serta aktivitas yang menyenangkan.
Pada jenjang madrasah ibtidaiah hingga aliah, pendekatan yang digunakan lebih kompleks. Guru diarahkan untuk mengintegrasikan nilai cinta dalam diskusi kelas, refleksi, proyek berbasis komunitas, hingga pembelajaran lintas mata pelajaran. Misalnya, saat membahas sejarah Islam, guru tidak hanya fokus pada aspek kejayaan peradaban, tetapi juga menyoroti nilai-nilai toleransi, kerja sama, dan kemanusiaan yang diteladankan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Pendekatan berbasis pengalaman dan refleksi menjadi kunci dalam proses ini. Peserta didik diajak merenung, berdialog, dan memaknai nilai-nilai spiritual dan sosial yang terkandung dalam materi ajar.
Langkah awal implementasi Kurikulum Berbasis Cinta melibatkan pendampingan intensif kepada para pendidik. Guru tidak hanya diberikan modul dan panduan teknis, tetapi juga pelatihan yang mendorong transformasi cara berpikir dan mengajar. Karena nilai cinta tidak bisa diajarkan secara verbal semata, tetapi harus diteladankan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.