Tribunners

Implementasi Kurikulum Cinta di Madrasah

Kurikulum Berbasis Cinta lahir bukan dari ruang hampa. Ia merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai moderasi beragama dan semangat Islam

Editor: suhendri
Istimewa/Dok. Rohani
Rohani, M.Pd. - Pengawas Kementerian Agama Kota Pangkalpinang 

Selain itu, disiapkan pula instrumen evaluasi untuk mengukur keberhasilan kurikulum ini. Evaluasi tidak hanya mencakup aspek kognitif, tetapi juga menyentuh afektif dan psikomotorik. Hal ini mencakup perubahan sikap, empati, kepedulian, serta kemampuan berelasi sosial. 

Peran masyarakat dan pemangku kepentingan pendidikan sangat dibutuhkan agar implementasi kurikulum ini berjalan efektif. Sekolah, keluarga, dan komunitas harus bersinergi dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada anak-anak.

Tantangan dan harapan

Seperti halnya setiap perubahan kurikulum sebelumnya, Kurikulum Berbasis Cinta tentu tidak lepas dari pro dan kontra. Sebagian kalangan menyambut positif karena melihatnya sebagai inovasi penting dalam pendidikan karakter. Namun ada pula yang meragukan efektivitas pendekatan ini jika tidak disertai kesiapan sumber daya manusia, terutama guru.

Kritik lainnya adalah soal potensi tumpang tindih dengan kurikulum yang sudah ada, atau kekhawatiran bahwa pendekatan ini terlalu normatif dan sulit diukur. Namun, jika kita memahami bahwa esensi pendidikan bukan sekadar soal angka dan ranking, melainkan pembentukan manusia seutuhnya, maka kurikulum ini sangat relevan untuk masa depan.

Dalam dunia yang makin kompleks dan penuh konflik, pendekatan berbasis cinta adalah jalan yang layak diperjuangkan. Ia mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahmat, bahwa agama bukan alasan untuk membenci, dan bahwa pendidikan adalah instrumen untuk membangun peradaban yang damai dan berkeadilan. 

Inisiatif kurikulum ini merupakan langkah progresif dalam menjawab tantangan intoleransi dan ketegangan sosial yang timbul dari perbedaan identitas. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai cinta dan toleransi dalam pendidikan, generasi mendatang diharapkan akan lebih siap hidup dalam masyarakat yang plural dan dinamis. 
Cinta di sini bukan semata perasaan, tetapi juga aksi. Ia terwujud dalam sikap saling menghormati, menolong, dan menghargai keberagaman. Ia menjadi fondasi bagi lahirnya warga negara yang ramah, humanis, nasionalis, dan peduli lingkungan.

Kurikulum Berbasis Cinta mengingatkan kita bahwa sekolah bukanlah pabrik nilai rapor, tetapi taman tempat hati-hati kecil bertumbuh. Ia bukan sekadar tempat untuk menghafal dan menguji, melainkan ruang yang penuh cinta dan pembelajaran sejati. Jika kurikulum ini dijalankan dengan kesungguhan, maka kita sedang menyiapkan generasi yang tak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual. Generasi yang mampu menjadikan agama sebagai jalan damai, bukan konflik. Sebagai sumber kasih sayang, bukan permusuhan. 

Semoga langkah ini menjadi titik awal perubahan besar dalam wajah pendidikan kita: dari sekolah yang penuh tekanan menjadi sekolah yang penuh cinta. Karena pada akhirnya, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang membesarkan hati. (*)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved