Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah

Kasasi Harvey Moeis Ditolak MA, Suami Sandra Dewi Tetap Jalani Hukuman 20 Tahun Penjara

Dengan adanya putusan tingkat kasasi ini, vonis untuk Harvey Moeis selama 20 tahun penjara otomatis sudah berkekuatan hukum tetap.

Editor: fitriadi
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
SIDANG KORUPSI TIMAH -- Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 Harvey Moeis menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (5/12/2024). Kasasi yang diajukan suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis ditolak Mahkamah Agung (MA). Dengan adanya putusan tingkat kasasi ini, vonis untuk Harvey Moeis selama 20 tahun penjara otomatis sudah berkekuatan hukum tetap. 

"Dan apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun," jelas Hakim. 

Sementara itu, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta juga menjatuhkan pidana denda senilai Rp1 miliar kepada Harvey. 

Jumlah tersebut masih sama dengan putusan PN Jakarta Pusat pada Desember 2024. 

Namun, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menambah lamanya masa kurungan jika Harvey tidak membayarkan denda tersebut dari enam bulan menjadi delapan bulan.

Respons Kuasa Hukum Harvey Moeis

Kuasa hukum Harvey Moeis, Junaedi Saibih mengkritik putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat vonis Harvey Moeis dan terdakwa lain dalam kasus dugaan korupsi timah.

Dalam sidang putusan banding Kamis (13/2/2025), vonis Harvey diperberat dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun.

Dua terdakwa lain, yakni mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan pengusaha Helena Lim. Hakim menjatuhkan vonis penjara kepada Mochtar Riza 20 tahun penjara.

Sementara itu, Helena Lim vonisnya diperberat dari 5 tahun menjadi 10 tahun penjara dan dihukum membayar uang pengganti Rp 900 juta.

“Helena uang pengganti 900 juta. Barang yang disita melebihi nilainya, ini menyalahi kaidah hukum,” ujar Junaedi dalam keteranganya, Kamis (13/2/2025).

Menurutnya, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menandakan wafatnya rule of laws di Indonesia atau prinsip hukum yang menyatakan bahwa negara harus diperintah oleh hukum dan bukan sekadar keputusan politis.

“Telah wafat rule of Laws pada hari Kamis, 13 Februari 2025 setelah rilisnya bocoran putusan Pengadilan Tinggi atas banding yang diajukan JPU terhadap putusan PN Jakarta Pusat,” kata Junaedi.

Junaedi menambahkan prinsip dan rasio hukum tidak boleh kalah oleh pertimbangan populisme yang membabi-buta.

“Mohon doanya agar Hukum dapat tegak kembali dan ratio legis gak boleh kalah oleh ratio populis apalagi akrobatik hukum atas penggunaan ketentuan hukum yang salah adalah pembangkangan atas legalitas,” paparnya.

Terkait hal ini menurut Junaedi, hingga kini pengadilan belum dapat membuktikan kebenaran dari klaim kerugian lingkungan yang dimasukan sebagai kerugian negara senilai Rp300 triliun, termasuk tidak ada temuan suap dan gratifikasi.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved