Tribunners

Bonus Demografi: Anugerah Emas atau Generasi Instan Tanpa Fondasi?

Emas bisa menyilaukan, tetapi juga bisa mengubur. Maka, jangan biarkan generasi muda kehilangan cahaya: cahaya pendidikan, karakter

Editor: suhendri
Dokumentasi Mursal Azis
Mursal Azis, S.Pd., M.Pd. - Pembina Literasi SMAN 2 Pangkalpinang 

Oleh: Mursal Azis, S.Pd., M.Pd. - Pembina Literasi SMAN 2 Pangkalpinang

DI tengah gemuruh abad ke-21, saat dunia dilipat dalam genggaman gawai dan kecerdasan buatan menjelma menjadi guru, teman, sekaligus pemenuh rasa ingin tahu, Indonesia berdiri di persimpangan sejarah yang krusial. Kita tengah menghadapi apa yang disebut sebagai bonus demografi sebuah kondisi langka dan potensial ketika lebih dari 70 persen penduduk berada dalam usia produktif. Sebuah fase yang digadang-gadang akan menjadi “tangga emas” menuju kemajuan bangsa. 

Namun, pertanyaannya bukan lagi: “Apakah ini peluang emas?” melainkan: “Apakah kita memiliki fondasi yang kokoh untuk mengolahnya?” Sebab bila tidak, emas ini bisa berubah menjadi bara. Bukannya menyinari masa depan, malah membakar harapan generasi.

Bonus demografi pada dasarnya adalah anugerah. Tetapi seperti tanah subur, ia tak akan berbuah jika tak ditaburi benih yang tepat. Tanpa pendidikan, keterampilan, dan karakter, ledakan jumlah penduduk produktif hanya akan melahirkan generasi yang kuat kuantitas, namun rapuh kualitas. Inilah paradoks zaman kita potensi melimpah, namun fondasi masih keropos. 

Mari kita tengok cermin data. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sebanyak 68,55 persen lulusan SMA tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Artinya, lebih dari separuh generasi muda kita berhenti di batas gerbang ilmu. Di era yang menuntut kecakapan berpikir kritis, kolaboratif, dan solutif, ini adalah alarm bahaya. Sebagian besar dari mereka memasuki dunia kerja tanpa bekal keterampilan yang memadai. Mereka bersaing di tengah arus globalisasi dan otomasi, tetapi hanya dengan dayung kayu di lautan teknologi tinggi. Akibatnya, mereka menjadi korban pengangguran terbuka atau pekerja informal tanpa perlindungan dan arah.

Lebih jauh lagi, skor Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menempatkan kita di peringkat 10 terbawah dari 81 negara dalam aspek literasi membaca, matematika, dan sains. Ini bukan sekadar angka, ini adalah cermin retak masa depan. Ketika membaca menjadi beban, bukan kebutuhan. Ketika logika menjadi hal asing. Maka, benarkah kita tengah menyiapkan generasi unggul, atau hanya sekadar memproduksi generasi pasif yang mengikuti arus? 

Di sisi lain, kemajuan teknologi seperti artificial intelligence (AI) menyusup ke dalam ruang-ruang belajar. Kita menyambutnya dengan tangan terbuka. Tetapi di balik kemudahan itu, ada ancaman senyap generasi yang kehilangan daya pikir. Jawaban tinggal diketik. Tugas tinggal disalin. Refleksi dan proses berpikir yang panjang terpangkas oleh kecepatan.

AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan penentu. Tapi kenyataannya, ia sering menjadi pelarian. Generasi muda mulai bergantung pada mesin untuk berpikir, mengerjakan tugas, hingga mengambil keputusan. Ini bukan lagi bantuan, tetapi ketergantungan. Dan ketergantungan pada hal instan perlahan membunuh proses, dan tanpa proses, tiada pembentukan karakter dan mental. 

Indonesia bukan hanya mengalami krisis pendidikan, tetapi juga krisis literasi. UNESCO mencatat bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen artinya dari 1.000 orang, hanya satu yang benar-benar memiliki kebiasaan membaca.

Ironisnya, dalam sehari rata-rata generasi muda bisa menghabiskan 8 hingga 11 jam di depan layar ponsel, tetapi bukan untuk membaca atau belajar, melainkan untuk menonton konten hiburan cepat saji yang tak mendidik. Konten viral lebih menarik dari jurnal ilmiah. Gimik lebih populer dari gagasan. Padahal, bangsa besar dibentuk oleh masyarakat yang mencintai ilmu. Dan ilmu tak datang dari sekadar menatap layar, melainkan dari membaca, menulis, berdiskusi, dan merefleksi. 

Jadi, masihkah bonus demografi ini positif? Pertanyaan itu layak kita ulang. Apakah benar kita tengah berada di puncak kejayaan demografis, atau justru sedang menggali jurang generasi? Sebab bonus demografi tanpa kualitas, hanyalah ledakan populasi tanpa arah.

Seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Heru Budianto, bonus demografi hanya akan menjadi kekuatan jika didukung oleh tiga tiang utama:
1.    Pendidikan berkualitas, yang membentuk daya pikir dan keterampilan,
2.    Lapangan kerja produktif, yang menyerap tenaga siap pakai,
3.    Pembangunan karakter, yang membentuk manusia utuh: cerdas secara intelektual dan bijak secara moral.

Tanpa ketiganya, ledakan usia produktif justru akan menciptakan gelombang pengangguran, ketimpangan sosial, dan frustrasi kolektif generasi muda. Namun, belum semuanya gelap. Masih ada nyala di sudut-sudut negeri. Gerakan Merdeka Belajar, pendidikan vokasi, literasi digital, dan komunitas pemuda kreatif menunjukkan bahwa generasi Z bukan generasi yang lemah. Mereka hanya butuh diberi ruang, diberi teladan, dan diberi tantangan yang membangkitkan daya juang.

Kita harus mengubah paradigma: dari pembelajar pasif menjadi pembelajar aktif. Dari pemakai teknologi menjadi pencipta teknologi. Dari sekadar pengguna informasi menjadi pengelola pengetahuan. AI boleh ada di tangan mereka, tetapi akal sehat dan nalar kritis harus tetap di kepala mereka.

Bonus demografi bukan sekadar angka. Ia adalah ujian sejarah. Apakah kita hanya akan membanggakan jumlah atau membentuk kualitas? Apakah kita hanya akan memetik hasil sesaat atau menanam akar peradaban jangka panjang?

Halaman
12
Sumber: bangkapos
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved