Kasus Korupsi Pertamina
Sosok Taipan Minyak Riza Chalid Tersangka Korupsi Pertamina, Mark-Up Pesawat Hercules dan Masuk DPO
Dikenal dengan sebutan taipan minyak, Riza Chalid ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan delapan orang lainnya.
BANGKAPOS.COM - Nama Muhammad Riza Chalid (MRC) menjadi sorotan publik setelah ditetapkan Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Dikenal dengan sebutan taipan minyak, Riza Chalid ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan delapan orang lainnya karena diduga menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp285 triliun.
Baca juga: Segini Kekayaan Riza Chalid Raja Minyak Tersangka Korupsi Pertamina
Kejagung diketahui telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus ini. Sehingga, total sudah ada 18 tersangka dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Pertamina tersebut.
"(Ditetapkan sebagai tersangka adalah) MRC selaku beneficial owner PT Orbit Terminal Merak," ujar Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Abdul Qohar, saat konferensi pers di Lobi Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Biodata Singkat Riza Chalid
Riza Chalid yang lahir pada 1960 memiliki seorang istri bernama Roestriana Adrianti alias Uchu Riza.
Keduanya menikah pada 1985. Setelah menikah, Riza dan istrinya dikaruniai dua anak, yakni Muhammad Kerry Adrianto dan Kenesa Ilona Rina.
Baca juga: Peran Riza Chalid di Perkara Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah, Kejagung: Melawan Hukum
Kerry sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Pertamina pada Februari 2025.
Meski begitu, Riza dan istrinya lebih sering tinggal di Singapura. Keduanya sempat mendirikan sebuah sekolah di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan pada 2004 dan membangun tempat bermain anak pada 2007.
Terkait Riza Chalid siapa, ia dikenal sebagai pengusaha yang bergerak di sektor ritel mode dan perkebunan sawit.
Ia juga menjalankan bisnis di sektor lain, seperti industri minuman dan perdagangan minyak Bumi.
Selain itu, Riza memiliki sejumlah perusahaan yang menjalankan bisnisnya di Singapura, di antaranya Supreme Energy, Paramount Petroleum, Straits Oil, dan Cosmic Petroleum.
Dominasi Riza di sektor impor minyak membuat sosoknya dijuluki sebagai saudagar minyak atau the gasoline godfather. Berdasarkan laporan Antara, Rabu (26/2/2025), Riza aktif dalam bisnis impor minyak melalui Pertamina Energy Trading Limited (Petral) yang merupakan anak perusahaan PT Pertamina.
Sosok Riza juga sering dihubungkan dengan beberapa skandal bisnis minyak, salah satunya Petral yang berbasis di Singapura. Antara melaporkan bahwa bisnis Riza mampu menghasilkan 30 miliar dollar AS atau sekitar Rp 486 triliun (asumsi kurs: Rp 16.216) per tahun.
Kekayaan Riza diperkirakan mencapai 415 juta dollar AS atau sekitar Rp 6,7 triliun.
Jumlah kekayaan tersebut menempatkan Riza sebagai orang terkaya ke-88 dalam peringkat Globe Asia pada 2015.
Terjerat Mark-Up Pesawat Hercules
Selain korupsi Pertamina, nama Riza juga terseret dalam beberapa kasus besar. Riza pernah mewakili PT Dwipangga Sakti Prima untuk membeli pesawat Sukhoi di Rusia. PT Dwipangga Sakti Prima adalah perusahaan milik Mamiek Soeharto dan Bambang Trihatmodjo.
Perusahaan tersebut pernah terjerat skandal mark-up pengadaan pesawat Hercules pada 1996.
Selain itu, Riza juga terseret kasus eks Ketua DPR Setya Novanto terkait polemik perpanjangan izin operasi PT Freeport Indonesia. Di dunia politik, Riza diduga menjadi pendukung dan penyokong dana untuk Prabowo Subianto saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.
Dugaan lainnya adalah Riza terlibat dalam pendanaan tabloid kontroversial Obor Rakyat dan membeli Rumah Polonia yang dijadikan markas tim pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa ketika Pilpres.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka di kasus korupsi Pertamina, nama Riza Chalid beberapa kali terseret dalam sejumlah skandal minyak dan gas (migas).
Berikut sejumlah kasus yang menyeret nama Riza Chalid dirangkum Kompas.com.
Terseret Skandal 'Papa Minta Saham'
Nama Riza Chalid sempat terseret dalam skandal "papa minta saham" yang membuat Ketua DPR RI periode 2014-2019, Setya Novanto, mengundurkan diri dan diproses oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR.
Riza disebut berada dalam pertemuan antara Setya Novanto dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia ketika itu, Maroef Sjamsoeddin di salah satu hotel di Jakarta pada 8 Juni 2015.
Keberadaan Riza itu diketahui dari rekaman percakapan yang direkam Maroef. Dalam pertemuan itu diduga ada permintaan saham Freeport Indonesia oleh Setya Novanto dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla.
Adanya Riza Chalid dalam pertemuan itu lantas dilaporkan Maroef kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Sudirman Said.
Sudirman Said akhirnya membuat laporan terkait adanya rekaman tersebut dan dugaan keterlibatan Setya Novanto ke MKD DPR RI.
Pelaporan dan proses sidang etik oleh MKD tersebut membuat Setya Novanto mengundurkan diri dari posisi Ketua DPR RI.
Setya Novanto menyampaikan pengunduran diri melalui surat tertanggal 16 Desember 2015 yang ditandatanganinya di atas meterai dan ditembuskan kepada pimpinan MKD.
Dalam surat itu disebutkan bahwa mundur sehubungan dengan penanganan dugaan pelanggaran etika yang ditangani di DPR RI, untuk menjaga martabat, dan untuk menciptakan ketenangan masyarakat.
Kejagung juga diketahui menyelidiki kasus dugaan permintaan saham tersebut karena adanya dugaan pemufakatan jahat.
Bahkan, kejagung sudah meminta keterangan Sudirman Said, Sekjen DPR, dan Maroef Sjamsuddin. Namun, Kejagung selalu gagal menghadirkan Riza Chalid untuk dimintai keterangan.
Hingga akhirnya, Setya Novanto mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.
MK lantas memutuskan, penyadapan terhadap satu pihak harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan ketentuan sesuai UU ITE. Dengan kata lain, rekaman "papa minta saham" itu tidak bisa menjadi bukti dan patut dikesampingkan.
Bahkan, kejagung sudah meminta keterangan Sudirman Said, Sekjen DPR, dan Maroef Sjamsuddin. Namun, Kejagung selalu gagal menghadirkan Riza Chalid untuk dimintai keterangan.
Hingga akhirnya, Setya Novanto mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.
MK lantas memutuskan, penyadapan terhadap satu pihak harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan ketentuan sesuai UU ITE. Dengan kata lain, rekaman "papa minta saham" itu tidak bisa menjadi bukti dan patut dikesampingkan.
"Tergantung kepada fakta dan bukti yang ada, kalian tahu persis perjalan kasus itu. Ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai hasil rekaman yang dinyatakan bukan barang bukti. Kamu tahu enggak itu? Tahu tidak tuh?" kata Prasetyo sebagaimana diberitakan Kompas.com pada 18 Juli 2018.
"Jadi bukti-bukti yang tadinya kita anggap sebagai bisa melengkapi penanganan perkara ini, ternyata oleh MK dinyatakan tidak sah sebagai barang bukti itu, dan sekarang prosesnya sudah selesai," ujarnya lagi. Senada dengan Kejagung, MKD DPR juga akhirnya mengabulkan permintaan pemulihan nama baik Setya Novanto yang diajukan Fraksi Partai Golkar.
Terkait Kasus Mafia Migas
Tak hanya itu, nama Riza Chalid juga disebut-sebut terkait dengan kasus mafia migas yang diduga terjadi di dalam tubuh perusahaan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) yang telah dibubarkan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) pada 2015.
Menurut laporan DW.com, selama bertahun-tahun Riza Chalid disebut mengendalikan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), anak usaha PT Pertamina. Kasus yang berawal dari audit investigatif terhadap Petral yang dipimpin oleh Faisal Basri menemukan adanya kecurangan dalam proses pengadaan minyak melalui perusahaan minyak pemerintah asing (ENOC).
Kemudian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Mantan Direktur Utama Petral Bambang Irianto yang pernah menjadi Managing Director Pertamina Energy Service Pte. Ltd (PES) sebagai tersangka kasus suap terkait dengan kasus Petral.
"KPK menetapkan satu orang sebagai tersangka, yakni, BTO, Managing Director Pertamina Energy Service Pte. Ltd periode 2009-2013," kata Wakil Ketua KPK saat itu Laode M Syarif dalam konferensi pers pada 10 September 2019.
Dalam kasus ini, Bambang diduga menerima 2,9 juta Dollar AS dari perusahaan Kernel Oil yang merupakan dalam perdagangan minyak mentah dan produk kilang untuk PES atau Pertamina.
Uang itu diperoleh Bambang atas jasanya mengamankan jatah alokasi kargo perusahaan itu dalam tender pengadaan atau penjualan minyak mentah atau produk kilang.
Laode mengungkapkan, dalam proses tender pada 2012, Bambang dan sejumlah pejabat PES lainnya diduga menentukan sendiri rekanan yang akan diundang mengikuti tender tanpa mengacu pada ketentuan yang berlaku.
Salah satu peserta tender yang akhirnya terpilih asalah perusahaan Emirates National Oil Company (ENOC). Namun, ENOC dalam kasus ini hanyalah 'perusahaan bendera' untuk menyamarkan Kernel Oil yang tidak masuk daftar. Namun, penyidikan kasus ini tidak berkembang hingga memasuki pertengahan tahun 2025.
Bahkan, KPK sempat digugat oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bersama Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia ( LP3HI ) dan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKKI) lantaran dugaan mangkraknya kasus Petral dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
"Gugatan Praperadilan ini dimaksudkan memaksa KPK untuk terlibat melakukan pembenahan tata kelola BBM yang diduga telah terjadi penyimpangan puluhan tahun. KPK harus berani berlomba dengan Kejagung yang telah menangani kasus di Pertamina," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya pada 18 Maret 2025.
Masih terkait dengan Petral, Riza Chalid juga pernah tersandung kasus impor minyak Petral pada tahun 2008.
Dikutip dari pemberitaan Kompas.id pada 2 Maret 2025, kala itu, Petral membeli 600 barel minyak seharga 54 juta dollar AS atau setara dengan Rp 524 miliar melalui perusahaan Global Resources Energy dan Gold Manor. Kedua perusahaan itu ditengarai terafiliasi dengan Riza.
Saat itu, impor minyak oleh Petral tersebut menuai kontroversi karena minyak yang diimpor itu disebut jenis baru yakni Zatapi.
Anggota Komisi Komisi VII DPR kala itu, Alvin Lie mengatakan, Zatapi kemungkinan besar merupakan campuran minyak mentah Sudan Dar Blend dengan minyak mentah Malaysia.
Menurut dia, berdasarkan pemberitaan Kompas pada 24 Maret 2008, harga Zatapi disamakan harga Tapis, yaitu sekitar 100 dollar Amerika Serikat (AS) per barel. Padahal, harga sebenarnya Dar Blend sekitar 70 dollar AS.
Kemudian, kasus impor minyak Zatapi ini akhirnya ditangani Mabes Polri dan lima orang ditetapkan sebagai tersangka Mereka adalah Direktur Gold Manor SN, VP; Bagian Perencanaan dan Pengadaan Chrisna Damayanto; Manajer Pengadaan Kairuddin; Manajer Perencanaan Rinaldi; dan staf Perencanaan Operasi Suroso Atmomartoyo.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri saat itu, Irjen Pol Abubakar Nataprawira menyebut, kelima tersangka tersebut terbukti melanggar Pasal 2 dan atau 3 Undang-Undang No. 31 tahun 99 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah menjadi UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Pemberantasan Tipikor. Namun, pada Februari 2010, Polri memutuskan untuk menghentikan penyidikan kasus impor minyak Zatapi itu.
Dengan alasan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak menemukan adanya kerugian negara dalam perkara tersebut. "Sudah kami hentikan sejak beberapa minggu lalu karena menurut BPKP tidak ada kerugian negara," ujar Kapolri saat itu, Jenderal Bambang Hendarso Danuri di Gedung DPR, Jakarta pada 23 Februari 2010.
Masuk Daftar Pencarian Orang (DPO)
Kejagung menduga tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan KKKS pada 2018-2023, Mohammad Riza Chalid (MRC) tidak berada di Indonesia.
Untuk itu, Riza Chalid sudah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) "Yang bersangkutan, (MRC) adalah Beneficial Owner PT Orbit Terminal Merak. Jadi, dia sekarang keberadaannya diduga tidak di dalam Indonesia," ujar Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung, Abdul Qohar saat konferensi pers di Lobi Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Bahkan, menurut Qohar, Kejagung bekerja sama dengan perwakilan Kejaksaan RI di Singapura untuk mencari jejak Pengusaha minyak Mohammad Riza Chalid.
"Untuk itu, kami sudah kerja sama dengan perwakilan Kejaksaan Indonesia di luar negeri, khususnya di Singapura," katanya.
Qohar lantas menegaskan, penyidik sudah mengambil sejumlah langkah hukum untuk mencari tahu keberadaan Riza Chalid. Tapi, penyidik masih akan mengupayakan agar Riza dapat segera ditangkap dan diboyong ke Indonesia.
Lebih lanjut, Qohar mengungkapkan dugaan bahwa Riza Chalid sudah tidak berada di Indonesia sebelum penetapan tersangka. Sebab, dia menyebut, Kejagung sudah tiga kali memanggil Riza untuk diperiksa tetapi tidak pernah hadir.
"Tetapi khusus MRC, selama tiga kali berturut-turut dipanggil dengan patut, tidak hadir. Berdasarkan informasi, yang bersangkutan tidak tinggal di dalam negeri," ujar Qohar.
Pada Juni 2025, Kejagung menyebut, memang masih terus memonitor keberadaan pengusaha minyak Riza Chalid terkait kasus perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah di Pertamina.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar mengatakan, penyidik memonitor Riza Chalid melalui berbagai cara dan sarana.
"Kita monitor dengan berbagai sarana, dengan berbagai kerja sama," kata Harli di Gedung Penkum Kejaksaan Agung, Jakarta pada 5 Juni 2025.
Menurut Harli, keberadaan Riza dipantau karena belum diperiksa dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah tersebut. "Sepertinya belum (diperiksa). Karena keberadaannya masih sedang terus dimonitor," ujar Harli.
Selain itu, Riza Chalid diketahui adalah ayah dari salah satu tersangka kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR).
Kerry ditetapkan tersangka selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa pada 27 Februari 2025 lalu.
Sebelumnya, Abdul Qohar mengungkap peran Riza Chalid dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina.
Riza disebut bersepakat dengan tiga tersangka lain, yaitu Vice President Supply dan Distribusi Kantor Pusat PT Pertamina tahun 2011-2015 Alfian Nasution (AN); Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Tahun 2014 Hanung Budya (HB); dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak dan juga Komisaris PT Jenggala Maritim Nusantara, Gading Ramadhan Joedo (GRJ) menyewakan terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) tangki Merak.
"Melakukan perbuatan secara bersama-sama dengan tersangka HB, AN dan GRJ secara melawan hukum untuk menyepakati penyewaan Terminal BBM Tangki Merak," kata Abdul Qohar dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Padahal, menurut Qohar, PT Pertamina belum membutuhkan tambahan penyimpanan stok BBM.
"Dengan melakukan intervensi kebijakan tata kelola PT Pertamina berupa memasukkan rencana kerja sama penyewaan terminal BBM Merak yang pada saat itu PT Pertamina belum memerlukan tambahan penyimpanan stok BBM," ujarnya.
Selain itu, ketiganya diduga menghilangkan skema kepemilikan aset Terminal BBM Merak dalam kontrak kerja sama, serta menetapkan harga kontrak yang tinggi. (Kompas.com/Novianti Setuningsih, Shela Octavia)
Nama Ahok Disentil Terkait Kasus Korupsi LNG Pertamina, Eks Dirut juga Dituding |
![]() |
---|
Daftar 8 Buronan Indonesia Paling Dicari Interpol, Riza Chalid dan Jurist Tan Segera Nyusul |
![]() |
---|
Siapa Irawan Prakoso? Dari Tangannya Sita 5 Mobil Mewah, Diduga Simpan Aset Raja Minyak Riza Chalid |
![]() |
---|
Profil Irawan Prakoso, Terduga Simpan Aset Riza Chalid di Kasus Korupsi Minyak, Sita 5 Mobil Mewah |
![]() |
---|
Mobil Mewah Riza Chalid Kembali Disita Kejagung, Ada BMW hingga Pajero, Raja Minyak Masih Buron |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.