Bangka Pos Hari Ini

Ditolak SMP Meski Jarak 100 Meter, SPMB Jalur Domisili Tak Sejalan Permendikdasmen No. 3 Tahun 2025

Dedy dan keluarganya tinggal di sebuah rumah yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari SMP tersebut, jika ditarik garis lurus menggunakan...

Bangka Pos
Bangka Pos Hari Ini, Senin (21/07/2025). 

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Pria 40 tahun itu pasrah. Kini dia harus menempuh jarak kurang lebih 3,4 kilometer untuk mengantarkan anak keduanya sekolah di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Aktivitas sehari-hari itu harus dilakukannya meski ada SMP yang hanya berjarak kurang 100 meter dari kediamannya.

“Saya orang enggak mampu. Jadi tujuan saya ya sekolah negeri,” ucap Dedy (bukan nama sebenarnya-red) kepada Bangka Pos, Sabtu (19/7).

“Alhamdulillah anak saya sudah daftar ke sekolah lain. Tapi tetap ada rasa kecewa. Saya cuma orang kecil, pengennya anak saya bisa sekolah di tempat yang dekat dan bagus juga jadi tidak perlu mengantar anak jauh jauh dengan motor jadul,” lanjutnya.

Anak kedua Dedy merupakan satu dari beberapa anak yang tidak diterima dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) di satu SMP di wilayah Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2025.

Dedy dan keluarganya tinggal di sebuah rumah yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari SMP tersebut, jika ditarik garis lurus menggunakan aplikasi Google Map. Kenyataannya, anak Dedy tidak terima lewat jalur zonasi dalam SPMB tersebut.

Kondisi ini seakan tidak selaras dengan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2025 tentang Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). 

Dalam Pasal 43 ayat 2 disebutkan bahwa jika jalur domisili pada SMP melampaui jumlah kuota yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, penentuan penerimaan murid baru dilakukan dengan urutan prioritas jarak tempat tinggal terdekat ke satuan pendidikan, dan usia. 

Ketentuan berbeda berlaku di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan SMA.

Masih dalam pasal yang sama, disebutkan bahwa pada jalur domisili tingkat SD melampaui kuota yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, maka penentuan penerimaan murid baru dilakukan dengan urutan prioritas usia, dan jarang tempat tinggal terdekat ke satuan pendidikan.

Berbeda lagi dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Dalam Pasal 43 ayat 3, jika calon murid yang mendaftar melalui jalur domisili pada SMA melampaui jumlah kuota yang ditetapkan pemerintah daerah, penentuan penerimaan murid dilakukan dengan urutan prioritas kemampuan akademik, jarak tempat tinggal terdekat ke satuan pendidikan, dan usia.

Bisa pulang sendiri Bisa pulang sendiri Dedy menceritakan setelah anak keduanya lulus SD, dia sangat berharap anaknya bisa diterima di SMP yang berada dekat dari rumahnya. Kebetulan SMP itu juga disebut-sebut sebagai sekolah favorit di wilayahnya.

Terlepas dari status favorit tersebut, Dedy menyebut harapan agar anaknya masuk ke SMP tersebut lebih pada alasan ekonomis dan juga keinginan memberikan akses pendidikan yang lebih mudah dan aman bagi anaknya.

“Harapan anak saya bisa sekolah karena dekat rumah pak bisa pergi dan pulang sendiri,saya kira dengan rumah yang sangat dekat bisa masuk”ucapnya.

Dedy sendiri menyadari nilai akademik anaknya tidak terlalu tinggi. Namun dia menggantungkan harapan pada SPMB jalur zonasi yang katanya berpihak pada kedekatan tempat tinggal.

“Sedikit kecewa katanya jalur domisili, tapi yang dilihat nilai, bukan tempat tinggal. Kalau nilai tinggi di mana aja alamatnya bisa masuk tapi kalau nilai kecil, tinggal dekat sekolah juga enggak bisa keterima” ungkapnya.

Alasanya nilai Alasanya nilai Pascapengumuman penerimaan yang menyatakan anaknya tidak lolos dalam SPMB tahun 2025 jalur domisili, Dedy sempat datang langsung ke sekolah dan bertanya. Dia mendapati alasan anaknya tidak dapat diterima di SMP tersebu karena daya tampung yang sudah penuh.

Nilai akademik anak Dedy menjadi alasan lainnya.

“Saya mendapatkan respon baik dari sekolah, katanya memang nilai anak saya yang kecil, kalah dengan anak lainnya,” jelas Dedy.

Meski kecewa, Dedy menerima keputusan penolakan dengan lapang dada. 

“Saya tidak meminta bantuan kepada siapapun atau lapor sana sini apalagi sengaja menitipkan anak saya dengan orang dalam. Dengan keadaan saya begini, saya cuma bisa berusaha sebaik mungkin,” ujar pria yang kerja serabutan dengan upah Rp100 ribu per hari itu.
 
Pun kemudian Dedy mengaku ditawari bantuan dari Dinas Pendidikan setempat. Tawarannya adalah mengajukan kuota tambahan ke pusat dengan harapan anak Dedy bisa masuk ke sekolah yang dituju.

Namun Dedy tidak setuju dengan tawaran tersebut. 

“Perasaan saya ya takut, Pak. Takut anak saya gak keterima di sekolah lain, karena waktu itu pendaftaran sudah ditutup. Makanya saya langsung datang ke sekolah tujuan biar bisa daftar,” ujarnya mengenang kekalutan saat itu.

“Saya khawatir untuk menunggu persetujuan dari pusat, takutnya tidak disetujui sekolah juga tidak bisa berjanji bahwa anak saya akan diterima. Jadi saya langsung mendaftar di sekolah negeri lain walaupun dengan jarak agak jauh dan alhamdulillah diterima di sekolah tersebut,” ucapnya.

Kini, Dedy harus berkendara selama kurang lebih tujuh menit untuk menempuh jarak 3,4 kilometer ke SMP lain. Setiap pagi, Dedy dan istrinya yang berjualan kue bergantian mengantar anak mereka ke sekolah menggunakan sepeda motor tua yang mereka miliki.

“Walaupun nanti kuota penambahan disetujui, saya tidak lagi berpikir untuk kembali masuk,” katanya mantap.

Di kesehariannya, Dedy dan istrinya berbagi tugas.

Setiap hari, sang istri mulai mengolah bahan kue sejak pukul 03.00. Di sela persiapan itu, Dedy turut membantu dan menyiapkan kelengkapan anakanaknya ke sekolah. Anak tertua Dedy kini duduk di bangku SMK. Sedangkan anak keduanya baru masuk SMP, dan bungsu duduk di bangku SD.

“Mulai jam 03.00 WIB membuat kue kemudian jam 06.00 mengantarkan ke sekolah saya juga membantu mengantarkan dan Anak saya juga bantu, dia bawa kue-kue itu ke sekolah dan nawarin ke teman-temannya, saya kerja tidak menentu jadi kadang sebagai buruh tidak ada kerjaan” tutur Dedy.

“Saya mengantarkan ketiga anak saya dua laki laki SMK dan baru masuk SMP satu perempuan yang SD seharusnya kalo diterima saya cuma mengantarkan dua anak saja kalau diterima di sekolah tersebut,” tutupnya.

Protes dan diterima

Kisah lain didapati Bangka Pos dari orang tua murid yang juga mengikuti jalur domisili dalam SPMB Tahun 2025 tingkat SMP di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dani (bukan nama sebenarnya-red) langsung mengajukan protes saat pengumuman penerimaan SPMB di SMP yang dituju anaknya. Dia tidak menerima alasan sekolah menyebut anaknya tidak lolos karena nilai akademik.

“Dasar saya protes ya aturan. Bahwa bukan nilai yang jadi penentu di tingkat SMP. Itu saya tahu dari peraturan menteri,” ujar Dani dalam perbincangannya dengan Bangka Pos belum lama ini.

“Tidak mungkin kan aturan di daerah itu melangkahi peraturan dari tingkat kementerian. Seharusnya selaras,” lanjutnya.

Dani mengaku protesnya disampaikan melalui surat yang juga menjelaskan argumennya melayangkan keberatan tersebut. Dia bersikeras karena jarak rumahnya ke SMP hanya sekitar 150 meter. Protes Dani berbuah baik. Anaknya tidak bernasib seperti anak Dedy. Anak Dani diterima di SMP yang dituju berdasarkan jalur domisili. (x1/mun)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved