Menyapa Nusantara

Mempromosikan 'Agama Cinta' Mencegah Radikalisme

Agama cinta tersaji dalam suasana penuh canda dan keakraban, ketika si habib mengawali ceramahnya dengan menyebut bahwa peserta ...

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YU
Ilustrasi - Sejumlah warga lintas agama bersilaturahmi dengan umat Buddha dalam perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak 2569 BE tahun 2025 di Wihara Buddha Bhumika, Dusun Thekelan, Desa Batur, Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (12/5/2025). 

Oleh: Masuki M. Astro

"AGAMA CINTA ". Ini bukan agama baru. Frasa ini untuk menegaskan dan mengingatkan semua umat beragama untuk kembali menerapkan fondasi ajaran, yakni mewujudkan cinta atau rahman rahim, dalam konteks Islam.

Agama cinta tidak pernah memberi ruang untuk tumbuhnya sikap intoleran, apalagi sikap permusuhan dengan membawa-bawa agama, seperti yang ditunjukkan oleh penganut paham teroris.

Perjumpaan ajaran dasar dari semua agama ini, yang kemudian kita sebut agama cinta, terlihat ketika di atas panggung sebuah acara, seorang pendakwah (Islam) terkemuka tampil bersama dengan seorang bante, rohaniawan dari agama Buddha.

Agama cinta tersaji dalam suasana penuh canda dan keakraban, ketika si habib mengawali ceramahnya dengan menyebut bahwa peserta yang hadir di acara itu mayoritas Muslim. Karena itu, si bante diminta untuk tidak sok (merasa lebih dari yang lain).

Berbekal agama cinta, si bante membalas candaan itu, dengan mengingatkan agar si habib juga "tidak sok". Meskipun peserta acara itu mayoritas Muslim, si bante menegaskan bahwa pelantang suara (mik) yang digunakan oleh si habib adalah buatan umat Buddha. Keduanya tertawa bersama, demikian juga dengan hadirin.

Kesamaan pesan dalam candaan dua tokoh agama di depan umum yang membawa moral agama cinta itu adalah, keduanya tidak boleh sok, baik sok karena merasa ajarannya paling benar atau pun sok paling berhak untuk hidup di Indonesia.

Keakraban kedua tokoh "agama cinta" itu adalah gambaran ideal dari kerukunan hidup di Indonesia yang memang dibangun di atas fondasi keragaman atau perbedaan.

Kedua tokoh yang mewakili agama cinta itu membawa pesan bahwa dalam beragama ada satu pesan dasar yang sama yang seharusnya menjadi pegangan bersama, yakni hidup rukun dan damai dalam naungan rumah bersama, yakni Indonesia.

Pesan yang sama itu adalah cinta. Semua agama sama-sama mengajarkan cinta kepada umatnya. Karena ketika antarumat beragama yang berbeda iman itu saling mencintai, maka sesungguhnya kita telah menjalankan ajaran dasar dari agama.
Karena itu si habib dan si bante melanjutkan candaannya tadi dengan ungkapan lebih serius, seperti koor, namun membawa pesan damai, yaitu "Beda warna, beda jahitan, satu Indonesia, bersama dalam kebaikan".

Kalau dalam Islam, agama ini sebagai rahmat bagi seluruh alam atau "rahmatan lil'alamin", Buddha hadir dengan ajaran Metha, Kristen hadir mengusung ajaran cinta kasih, demikian juga dengan agama lainnya.

Bahkan, Nabi Muhammad Saw mempertegas ajaran dasar mengenai cinta itu dalam sebuah hadits bahwa, "Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk memperbaiki akhlak".

Makna akhlak ini mencakup hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, termasuk dengan alam sekitar.

Dalam beberapa kisah, Nabi Muhammad betul-betul menunjukkan akhlak mulia yang menjadi ajaran utama dari agama Islam.

Kisah paling populer dari kelembutan hati dan sikap Rasulullah Muhammad Saw adalah ketika menghadapi hinaan dari seorang perempuan tua buta yang setiap hari disuapi makan, meskipun dari mulut si perempuan itu selalu keluar kata makian terhadap Nabi Muhammad.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved