Oleh: Darwance - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
SELAIN jumlahnya yang cukup tinggi, pertumbuhan usaha mikro dan kecil (UMK) salah satunya dibarengi dengan digitalisasi pemasaran yang memang dituntut harus mengikuti perkembangan teknologi. Secara nasional, jumlah UMK di Indonesia cukup banyak, yakni 8,71 juta unit (Kemenkop-UKM, 2022), dan terbanyak di ASEAN (ASEAN Investment Report, 2022).
Kepulauan Bangka Belitung sendiri berada di peringkat 24, 30.770 unit, terbanyak Jawa Barat, 1.494.723 unit (Kemenkop-UKM, 2022). Kementerian Koperasi dan UKM juga mencatat, jumlah UMKM yang telah memasuki ekosistem digital mencapai 20,76 juta unit pada 2022. Angka ini diyakini bertambah di tahun 2023.
Jumlah yang cukup tinggi ini rupanya tidak dibarengi dengan kesadaran dalam upaya melindungi identitas produknya sebagai merek. Sekitar dua bulan yang lalu, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Kepulauan Bangka Belitung yang kala itu masih dijabat oleh Eva Gantini mengatakan, setidaknya sampai saat itu, pihaknya baru mencatat 143 merek. Padahal, pihaknya sudah sering melakukan sosialisasi pentingnya sebuah merek yang terdaftar, dengan harapan makin banyak pelaku usaha yang paham akan pentingnya sebuah merek (Bangka Pos, 11 September 2023). Pertanyaanya, apakah merek perlu didaftarkan?
Pemikiran Dasar
Merek adalah bagian dari hak kekayaan intelektual (HKI). HKI sendiri merupakan hak yang dimiliki oleh seseorang secara individual atau beberapa orang maupun badan hukum secara komunal atas hasil kreativitasnya dalam mengolah akal dan pikiran, yakni mengolah ide dan gagasan, dan mewujudkannya menjadi benda nyata. Perlindungan yang dimaksud bukan diberikan kepada benda sebagai wujud kreativitas, tetapi ide dan gagasan yang ada di balik terciptanya benda itu. Ide dan gagasan itulah yang tidak dimiliki oleh setiap manusia. Lantas, di mana letak intelektual sebuah merek?
Perlu dipahami, bahwa sejarah besar HKI dimulai dari tiga cabang utama HKI, yakni paten, hak cipta, dan merek itu sendiri. Bahkan, merek sering disebut-sebut sebagai konsep HKI paling tua yang pernah ada. Ini disebabkan karena keberadaan sebuah merek sudah ada sejak dahulu, yakni sejak manusia mengenal perdagangan atau bisnis.
Barang yang diperjualbelikan mulanya tidak ditandai dengan adanya unsur pembeda. Ini bukanlah sebuah masalah, dan tidak ada kewajiban untuk itu. Ini menjadi masalah manakala konsumen yang sudah menyukai produk tertentu, saat hendak membeli lagi, ia kesulitan mengidentifikasi. Akan makin sulit apabila produk yang dimaksud hendak dibeli oleh orang lain (menitip pada orang lain untuk membelikannya). Produk yang mana, apa tandanya?
Pada perkembangannya kemudian, kesulitan untuk mengidentifikasi produk yang diperdagangkan inilah yang menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya sebuah simbol sebagai tanda pengenal sebuah produk. Produk yang diperdagangkan kemudian dibedakan dengan kata/simbol tertentu, atau tanda resmi (hallmark). Inilah cikal bakal merek yang pada perkembangannya kemudian, karena potensi pemalsuannya dan pengambilalihan oleh pihak lain cukup tinggi, harus diberikan perlindungan secara hukum.
Sejumlah konstruksi regulasi pun dibangun sebagai piranti perlindungan. Secara global, salah satunya ada Paris Convention yang dibentuk di Paris pada tanggal 20 Maret 1883. Di Indonesia, diterbitkan pula peraturan perundang-undangan yang mengatur merek, sekarang yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Singkat cerita, merek menjadi sesuatu yang sangat penting. Pertama, penting harus ada, ini untuk membedakan antara produk yang satu dengan produk yang lainnya lagi yang sejenis.
Kedua, penting untuk diberikan perlindungan secara hukum. Mengenai penting harus ada, sebab tidak semua produk, meskipun sejenis, tetapi memiliki kualitas yang sama. Adanya perbedaan kualitas inilah yang semakin menegaskan bahwa merek itu penting.
Sebagai ilustrasi, sekalipun si A dan si B menjual barang yang sama, misalnya getas, tetapi kualitas getas yang dijual oleh si A dan si B belum tentu sama. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak hal, umpanya bahan baku, cara membuat, dan masih banyak lagi. Produk si A lebih berkualitas sehingga orang lebih banyak membelinya dibandingkan dengan produk si B.
Besoknya, konsumen ingin membeli lagi. Bila si A menggunakan merek, demikian pula dengan si B, maka konsumen dengan mudah mengidentifikasi. Bagaimana seandainya jika tidak ada merek? Tentu saja konsumen kesulitan mengidentifikasi, apalagi tampilannya sama.
Di sisi lain, apabila salah beli, hendak membeli produk si A, tetapi karena tidak ada unsur pembeda malah membeli produk si B, selain konsumen maka produsen, dalam hal ini si A, akan dirugikan. Ini adalah ilustrasi paling sederhana.