Mengapa Harus Didaftarkan?
Merek harus ada, sekali lagi untuk membedakan antara produk yang satu dengan produk yang lainnya lagi. Oleh sebab itu, pemberian merek lazim dilakukan dalam dunia bisnis. Sekarang, sebagian produk yang dipasarkan sudah dilabeli dengan tanda tertentu yang menjadi identitas produk itu.
Sekali lagi, itulah merek. Hanya saja, tidak semua merek sudah didaftarkan. Masih banyak merek yang tidak terdaftar. Ini artinya, sekalipun secara de facto ada, tetapi secara yuridis tidak ada perlindungan hukum terhadapnya, apalagi bila dihubungkan dengan sistem konstitutif.
Bila diamati, ada banyak penyebab mengapa pelaku usaha dalam konteks ini tidak atau belum mendaftarkan mereknya. Pertama, belum paham sama sekali. Oleh sebab itu, upaya memasyarakatkan merek perlu terus dilakukan.
Kedua, sudah memahami, tetapi bingung cara mendaftarkannya sehingga perlu dilakukan upaya pendampingan. Ketiga, tidak atau belum merasakan dampak dari belum atau sudah didaftarkannya sebuah merek.
Dampak belum atau tidak didaftarkan misalnya, karena belum ada sengketa atas mereka itu. Kedua, belum ada gambaran apabila merek didaftarkan, apakah keuntungan finansial yang akan diraih? Penyebab yang terakhir ini yang perlu disosialisasikan lebih keras lagi.
Dari sekian banyak cabang HKI, merek merupakan salah satu cabang yang paling banyak disengketakan. Dengan kata lain, orang sering memperebutkan merek. Beberapa di antaranya seperti Ayam Geprek Bensu, Gudang Garam vs Gudang Baru, MS Glow vs PS Glow, dan masih banyak lagi. Mengapa bisa sengketa? Atau, mengapa tidak membuat merek baru saja daripada harus memperebutkan sebuah merek yang bisa dibuat ulang?
Merek memang bagian dari HKI. Hanya saja, perwujudan intelektualitas manusia dalam merek bukan berada pada tanda yang menjadi merek (baik berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut), tetapi pada produk yang dilabeli merek itu. Sebuah merek bisa terkenal atau kuat bukan karena desainnya yang bagus dan menarik, tetapi karena kualitas produk diberikan merek itu.
Sebagai contoh, Kentucky Fried Chicken atau Coca-Cola terkenal bukan karena logo atau huruf mereknya, tetapi karena produk (ayam dan minuman) yang khas dan berkarakter. Bisa sekuat seperti sekarang tentu sudah melewati perjalan dan tahapan yang panjang, modal, waktu, dan bagaimana intelektual manusia yang menemukan formula ayam goreng KFC dan minuman Coca-Cola diramu sejak dahulu. Daripada harus membuat merek baru yang belum tentu terkenal, cukup beralasan jika PT Unilever Indonesia mengakuisisi merek Sariwangi, salah satu merek teh terkenal yang sebelumnya dipegang oleh PT Sariwangi Agricultural Estate Agency.
Jadi, dapat dikatakan bahwa makin laku produk yang dipasarkan, maka makin kuat dan mahal pula sebuah merek, dan makin besar pula potensi penggunaan tanpa hak oleh orang lain. Terjadilah apa yang dikenal dengan merek palsu, atau penggunaan merek serupa oleh pihak lain, karena mengetahui bahwa merek itu belum terdaftar. Ini yang jangan sampai terjadi.
Apalagi, berbeda dengan Amerika Serikat misalnya, sistem perlindungan merek di Indonesia menganut sistem first to file atau sistem konstitutif. Sistem ini menghendaki pihak yang pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran ke kantor merek, adalah pihak pertama yang memiliki hak atas merek itu. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 5 UU Merek yang menyebutkan bahwa, “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Ditegaskan oleh Pasal 3 UU Merek juga menyatakan secara jelas bahwa hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut terdaftar.
Ini berarti bahwa perlindungan hukum atas sebuah merek di Indonesia baru dapat diberikan apabila merek tersebut telah diajukan pendaftarannya dan terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Bila tidak, apabila ada penggunaan merek yang sama oleh pihak lain, maka berpotensi terjadinya sengketa, bahkan dapat kehilangan merek, kecuali dalam dibuktikan sebaliknya, dan ini biasanya memakan biaya yang cukup tinggi dan waktu yang cukup lama. Mari melindungi merek dengan cara mendaftarkannya. (*)