Tribunners

Revitalisasi Sekolah: Dari Batu Bata sampai ke Cita-cita 

Ruang yang direvitalisasi hari ini akan melahirkan pengetahuan yang menentukan masa depan.

Editor: suhendri
Dokumentasi Arif Yudistira
Arif Yudistira - Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Pendidik di PPM MBS Yogyakarta 

Oleh: Arif Yudistira - Peminat Dunia Pendidikan dan Anak, Pendidik di PPM MBS Yogyakarta
 
DI sebuah ruang kelas yang cat temboknya mulai mengelupas, meja kursi bergoyang setiap kali disentuh, dan toilet sering dibiarkan terkunci karena tak lagi layak pakai, seorang anak tetap menuliskan mimpinya: ingin menjadi guru, dokter, atau mungkin seorang penulis. Sekolah, bagi mereka, bukan sekadar bangunan. Ia adalah ruang di mana harapan disemai, doa-doa dipanjatkan, dan masa depan diam-diam dirajut dari papan tulis yang mulai kusam.

Sejarah sekolah lahir dari kerinduan manusia untuk bertemu, berbincang, dan berbagi gagasan. Ivan Illich menyebutnya—waktu senggang. Plato memiliki Akademia, Ibnu Sina memiliki madrasah, modernitas melahirkan universitas. Fisik bangunan datang belakangan, namun pada akhirnya, ruang itu menjelma menjadi simbol: meja-kursi sebagai relasi, perpustakaan sebagai kebebasan intelektual, laboratorium sebagai keberanian bereksperimen, dan toilet sebagai martabat.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tahun 2025 menargetkan revitalisasi 10.440 satuan pendidikan dengan anggaran Rp17,1 triliun. Bukan sekadar proyek beton dan semen, namun juga upaya memulihkan rahim peradaban: sekolah sebagai tempat yang aman, sehat, dan layak bagi setiap anak.

Filsafat ruang mengajarkan bahwa manusia tidak pernah lepas dari ruang. Kita berpikir di ruang, belajar di ruang, bahkan bermimpi di ruang. Kualitas ruang menentukan kualitas pengalaman, sekaligus memengaruhi cara kita membayangkan masa depan. Kelas yang bocor dan pengap membunuh semangat, sementara kelas yang nyaman memberi sayap bagi imajinasi anak-anak.

Revitalisasi sekolah bukan hanya pembangunan fisik, ia adalah upaya memulihkan simbol-simbol yang menopang kebudayaan pendidikan. Setiap bata yang ditata ulang, setiap perpustakaan yang dihidupkan adalah cara negara menjaga martabat warganya yang paling muda.

Desentralisasi 

Dalam program revitalisasi sekolah saat ini, ada perbedaan yang mencolok sebagai terobosan baru dalam optimalisasi program revitalisasi sekolah. Negara dalam hal revitalisasi bertindak sebagai fasilitator. Artinya, negara tidak sepenuhnya memegang kendali, tetapi membagi peran kepada pemerintahan daerah dan juga tim dari sekolah. Dana revitalisasi disalurkan langsung ke rekening sekolah, lalu dikelola Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP).

Dengan konsep desentralisasi itu, maka sekolah masing-masing yang lebih mengetahui tentang kebutuhan sekolah. Dengan keterlibatan masyarakat, perguruan tinggi, serta pendampingan teknis dari dinas dan kementerian, revitalisasi sekolah menjelma menjadi sinergi dan kerja sama antara pusat dan daerah, antara negara dan warga, antara rencana dan kenyataan.

Revitalisasi sekolah bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan material, ia juga tentang komitmen moral. Di era kapitalisme global, pendidikan sering direduksi menjadi komoditas. Sekolah dipandang sebagai pasar, murid sebagai konsumen. Revitalisasi sekolah menolak reduksi itu dengan menegaskan kembali fungsi sekolah sebagai ruang publik: ruang di mana setiap anak berhak merasa aman, sehat, dan berdaya. Ketika negara memperbaiki toilet atau laboratorium, sesungguhnya ia sedang menegakkan martabat warganya yang paling muda.

Komitmen bersama

Apakah revitalisasi akan berhasil? Pertanyaan ini menggema seperti skeptisisme abadi terhadap setiap proyek besar. Risiko korupsi, ketidakdisiplinan, atau ketidakefisienan selalu ada. 

Revitalisasi sekolah juga merupakan ujian bagaimana mental bangsa ini. Apakah ia akan melanggengkan praktik korupsi atau sebaliknya melawan demi masa depan anak cucu kita? 

Revitalisasi sekolah ini juga ujian bagi kepercayaan publik. Jika pemerintahan Prabowo hendak menegakkan dan memberantas korupsi, maka revitalisasi sekolah harus dijaga bersama. Dengan mekanisme akuntabel, dengan pengawasan partisipatif, revitalisasi sekolah dapat menjadi paradigma baru pembangunan nasional yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Peluang korupsi tentu menjadi makin terbatas, sebab anggaran pembangunan atau revitalisasi sekolah langsung ditransfer kepada sekolah masing-masing melalui Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP). Harapannya selain internal sekolah yang lebih paham kondisi sekolah masing-masing, mereka dapat mengoptimalkan penggunaan dana sesuai kebutuhan sekolah masing-masing.

Akhirnya, revitalisasi sekolah adalah soal ruang dan waktu. Ruang yang direvitalisasi hari ini akan melahirkan pengetahuan yang menentukan masa depan. Setiap bata yang ditata, setiap perpustakaan yang diisi, setiap laboratorium yang dihidupkan, sesungguhnya adalah investasi dalam sejarah. Dari ruang-ruang itulah akan lahir generasi yang membawa bangsa ke horizon baru. Jika sekolah adalah rahim peradaban, maka revitalisasi adalah proses merawat rahim itu agar tetap subur, sehat, dan siap melahirkan masa depan.

Kita berharap revitalisasi sekolah ini akan menjadi harapan baru terutama untuk sekolah yang berada di pelosok, yang sering luput dari kacamata pemerintah. (*)

 

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved