Tribunners
Statistik Berdampak untuk Indonesia Maju: Membangun Kebijakan Berbasis Data
Indonesia harus mampu menapaki kemajuan yang inklusif lewat literasi statistik dan tata kelola data terintegrasi.
Oleh: Ridho Ilahi - Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
TEMA “Statistik Berdampak untuk Indonesia Maju” di Hari Statistik Nasional (HSN) 26 September 2025 mengingatkan kita bahwa statistik sejatinya merupakan instrumen transformasi kebijakan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Agar statistik benar-benar berdampak, diperlukan jalan panjang yang mesti ditempuh. Literasi statistik dan tata kelola data terintegrasi mesti berjalan seiring agar informasi tidak berhenti di meja birokrasi. Data wajib diolah menjadi bahan evaluasi dan aksi nyata yang langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Statistik berdampak harus dipahami oleh pembuat kebijakan, akademisi, hingga masyarakat luas. Literasi statistik berarti kemampuan memahami konteks, makna, dan implikasi statistik. Masyarakat tidak boleh hanya menerima informasi tetapi harus berpartisipasi aktif dalam dialog publik dan evaluasi kebijakan.
Statistik tidak boleh berhenti sebagai angka. Statistik harus mudah diakses, relevan, dan menjawab kebutuhan pengguna. Saat ini, masyarakat melek data kerap digaungkan termasuk ajakan BPS agar masyarakat terbiasa menggunakan data dalam kehidupan sehari-hari.
Sayang, masih ada jurang antara ketersediaan data dan pemahaman publik. Data tentang kemiskinan, pengangguran, inflasi, sektor informal, hingga layanan publik sering kali disajikan dalam bentuk tabel atau laporan teknis yang sulit dipahami. Padahal, bila data tersebut dihidangkan lewat grafis sederhana dan narasi kontekstual tentu dampaknya akan lebih terasa.
Inilah alasan kenapa strategi pendidikan statistik sejak dini dinilai penting. Literasi data dapat diperkenalkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pemerintah daerah bersama BPS provinsi maupun kabupaten/kota bisa memperkuat inisiatif ini dengan menyelenggarakan roadshow statistik, workshop, hingga penyediaan aplikasi mobile yang memungkinkan publik menjelajah data lebih mudah.
Akan tetapi, literasi saja tidaklah cukup tanpa tata kelola data terintegrasi. Statistik berdampak mesti dibangun di atas kerangka tata kelola yang kokoh. Tata kelolanya mesti mencakup standar data, metadata, interoperabilitas antarlembaga, sinkronisasi definisi variabel, hingga kelancaran sistem berbagi data antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Tanpa itu, data akan terjebak dalam silo, terfragmentasi, dan rawan misinterpretasi.
Beberapa daerah mulai memprakarsai sistem satu data daerah sebagai langkah awal integrasi. Portal satu data yang dibagun saat ini mampu mengintegrasikan data sektoral dari seluruh OPD. Dengan dukungan infrastruktur teknologi informasi (TI) dan SDM yang mumpuni, biaya transaksi data bisa ditekan dan alur informasi dipercepat. Hasilnya, akuntabilitas kebijakan daerah akan makin terjamin dan transparan.
Badan Pusat Statistik menegaskan orientasi outward looking agar data mampu menjawab kebutuhan pembangunan. Visi strategis BPS 2025–2029 juga memosisikan lembaga ini sebagai mitra independen dalam formulasi kebijakan berbasis data. Akan tetapi, terdapat disparitas kapasitas kelembagaan antardaerah, keterbatasan infrastruktur di wilayah pedalaman, resistensi lembaga yang enggan membuka data, hingga kekhawatiran soal privasi.
Karena itu, standar metadata harus terwujud, data hub interoperabel segera dibangun, dan pengelola data OPD perlu mendapat pelatihan. Daerah yang konsisten membuka serta memanfaatkan data layak diberi insentif sebagai pendorong perubahan.
Terlebih, statistik tidak akan berdampak jika hanya berhenti sebagai laporan. Data harus menjadi bagian dari rantai kebijakan dinamismulai dari perumusan, implementasi, evaluasi, hingga revisi. Mekanisme umpan balik harus diperkuat agar menjadi instrumen perubahan.
Pemerintah, akademisi, lembaga riset, dan masyarakat selayaknya diberi ruang kolaborasi untuk memanfaatkan data melalui policy lab. Ekspektasinya, setiap program pemerintah memiliki indikator kinerja yang bisa dipantau real time oleh publik.
Tidak berhenti di situ, pemerintah daerah bisa menerbitkan policy brief berbasis data sekaligus berkolaborasi dengan peneliti untuk memublikasikan hasil analisis ke jurnal nasional maupun internasional. Audit independen mesti dilakukan secara rutin demi menjaga kredibilitas BPS dalam merilis data strategis seperti kemiskinan, pengangguran, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. Dan anggaran pemerintah harus diselaraskan dengan bukti statistik agar alokasinya tepat sasaran dan berdampak pada masyarakat.
Statistik transformatif
Lantas, bagaimana mentransformasikan statistik hingga berdampak? Dalam konteks pembangunan daerah, statistik berdampak menjadi jembatan untuk mengatasi disparitas antara wilayah pusat dan pinggiran. Pemerintah daerah dapat merancang strategi pembangunan berdasar keunggulan wilayah lewat data indikator ekonomi, pariwisata, usaha mikro, hingga demografi.
Transparansi data fiskal daerah dapat menjadi alat ukur untuk menilai efektivitas skema pajak dan retribusi. Bahkan, statistik bisa menilai efektivitas transfer dana pusat seperti DAU, DAK ataupun DBH dalam peningkatan layanan publik atau anggaran justru terserap tanpa hasil.
Bagi otoritas moneter, data inflasi dan upah regional menjadi amunisi dalam perumusan kebijakan. Transparansi data bisa memberi sinyal kepada investor bahwa daerah memiliki kepastian dan daya saing. Harapannya, akselerasi pertumbuhan tercipta dan penerimaan daerah meningkat.
Meski demikian, ada sejumlah tantangan besar yang mesti dijawab. Kesenjangan kapasitas SDM di daerah masih terasa. Beberapa wilayah belum memiliki tenaga statistik terlatih. Infrastruktur digital di pedalaman juga terbatas. Sementara itu, birokrasi kadang enggan membuka data karena khawatir akan kritik.
Di sisi lain, isu kerahasiaan dan perlindungan data pribadi wajib dijaga agar transparansi tidak disalahgunakan. Sinkronisasi lintas sektor kerap jadi persoalan akibat pengelolaan data dengan standar berbeda. Semua ini menuntut strategi mitigasi berupa pelatihan, percepatan infrastruktur, reformasi kelembagaan, hingga regulasi perlindungan data. Tanpa itu, kesenjangan kapasitas dan resistensi birokrasi akan terus melumpuhkan efektivitas kebijakan.
Statistik berdampak bukan sekadar jargon, tetapi panggilan transformatif. Data harus menciptakan perubahan dalam kebijakan dan pembangunan. Indonesia harus mampu menapaki kemajuan yang inklusif lewat literasi statistik dan tata kelola data terintegrasi. Tugas ini bukan hanya milik BPS, tetapi tanggung jawab bersama. Hari ini kita tidak hanya merayakan statistik sebagai alat pengukuran, tetapi menjadikannya ujung tombak transformasi kebijakan dan kesejahteraan rakyat menuju Indonesia Emas 2045. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.