Tribunners

Arsitek Transformasi: Kepemimpinan Transformatif dalam Membangun Ekosistem Digital Bangka Belitung

Keberhasilan tidak lagi ditentukan semata oleh kekuatan modal atau strategi bisnis, melainkan oleh kemampuan pemimpin dalam mengarahkan perubahan

ist
Septian Azmiadi, Mahasiswa Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UBB 

Oleh : Septian Azmiadi, Mahasiswa Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka Belitung
 
PERUBAHAN besar di era digital telah mengubah cara organisasi bekerja, berinteraksi dan beradaptasi. Keberhasilan tidak lagi ditentukan semata oleh kekuatan modal atau strategi bisnis, melainkan oleh kemampuan pemimpin dalam mengarahkan perubahan.

Dalam konteks Indonesia dan khususnya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, tantangan ini terasa nyata. Transformasi digital kini menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar tren. Namun, agar perubahan tersebut berjalan inklusif dan berkelanjutan, dibutuhkan sosok arsitek transformasi: pemimpin yang mampu menyalakan semangat inovasi, menumbuhkan jejaring kolaboratif serta memberdayakan sumber daya manusia (SDM) agar siap menghadapi masa depan digital.
 
Menyiapkan SDM Babel di Era Digital

Indonesia diakui sebagai salah satu kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Namun, laporan IMD World Digital Competitiveness Ranking (2024) menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam aspek future readiness dibandingkan negara tetangga. Kesenjangan ini paling terasa di tingkat daerah, termasuk di Bangka Belitung.

Pemerintah daerah telah berupaya mempercepat digitalisasi, mulai dari layanan publik berbasis daring, pemberdayaan UMKM melalui e-commerce, hingga penerapan teknologi di sektor pariwisata dan kelautan.

Meski begitu, masih terlihat ketimpangan literasi digital antara wilayah perkotaan dan pesisir. Maka, kepemimpinan yang mampu mendorong perubahan pada budaya kerja dan pembelajaran masyarakat menjadi hal yang sangat dibutuhkan.

Kepemimpinan transformatif hadir sebagai jawaban. Model ini menempatkan manusia sebagai inti perubahan, bukan sekadar objek kebijakan. Seperti dijelaskan Bass dan Riggio (2006), pemimpin transformatif berfokus pada motivasi intrinsik, stimulasi intelektual, dan perhatian individual untuk menumbuhkan budaya kerja yang adaptif dan inovatif.
 
Pemimpin yang Menyalakan Inovasi

Kepemimpinan transformatif, menurut Bass dan Avolio (1994), berakar pada empat pilar utama: keteladanan (idealized influence), motivasi inspiratif (inspirational motivation), stimulasi intelektual (intellectual stimulation) dan perhatian individual (individualized consideration). Dalam konteks inovasi, dimensi stimulasi intelektual menjadi kunci. 

Pemimpin yang transformatif bukan hanya mengelola, tetapi juga menginspirasi anggota organisasi untuk berpikir kritis, berani berbeda, dan tidak takut gagal. Mereka membangun lingkungan yang aman secara psikologis (psychological safety), di mana gagasan baru dihargai dan kegagalan dianggap bagian dari proses belajar (Edmondson, 2019).

Seperti ditegaskan Bass (1990), pemimpin transformasional “meningkatkan kesadaran bawahannya akan nilai dan tujuan organisasi serta menginspirasi mereka untuk melampaui kepentingan pribadi demi kepentingan bersama.” Prinsip ini sangat relevan bagi organisasi publik maupun swasta di Bangka Belitung yang tengah beradaptasi dengan era digital tanpa meninggalkan nilai-nilai lokal.
 
Membangun Jejaring dan Kolaborasi di Daerah

Tak ada transformasi yang tumbuh dalam ruang hampa. Inovasi lahir dari kolaborasi. Dalam teori Triple Helix Collaboration yang dikemukakan Etzkowitz dan Leydesdorff (2000), sinergi antara pemerintah, akademisi, dan dunia usaha menjadi fondasi penting dalam membangun ekosistem inovasi.

Bangka Belitung memiliki potensi besar untuk menerapkan model ini. Pemerintah Provinsi dapat berperan sebagai fasilitator kebijakan, Universitas Bangka Belitung (UBB) sebagai pusat riset dan pengembangan ilmu, serta sektor swasta sebagai pelaku penerapan teknologi di lapangan.

Kolaborasi ini penting terutama di sektor kelautan, pariwisata digital, dan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal.

Data Global Innovation Index (WIPO, 2023) menunjukkan bahwa Indonesia masih lemah dalam indikator innovation linkages. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin yang visioner dan terbuka, yang mampu memecah sekat birokrasi serta menciptakan ekosistem pertukaran pengetahuan dan riset berbasis kebutuhan lokal.

Bagi Bangka Belitung, ini berarti membangun jejaring inovasi yang berakar pada potensi wilayah kepulauan dan masyarakatnya yang dinamis.
 
Kepemimpinan Digital dan Pemberdayaan Manusia

Transformasi digital sejatinya bukan tentang alat, tetapi tentang manusia. Pemimpin transformatif harus menjadi teladan dalam menumbuhkan digital mindset terbuka pada teknologi baru, memanfaatkan data dalam pengambilan keputusan dan menumbuhkan budaya belajar terus-menerus (Northouse, 2021). 

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved