Tribunners
Dari Timur Babel hingga Slovenia: Refleksi Guru tentang AI dalam Pendidikan
Jika kita melihat AI sebagai partner, bukan lawan, maka teknologi ini akan menjadi alat yang memberdayakan guru dan murid, membuka peluang baru
Oleh: Winda Ari Anggraini, M.A. - Guru Bahasa Inggris dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Hubungan Masyarakat di SMAN 1 Manggar, Belitung Timur
DARI jendela kelas saya di ujung timur Provinsi Bangka Belitung, laut lepas membentang tanpa batas. Di tempat ini, kata “timur” sering menjadi sinonim dari “tertinggal”, ”terpinggir”. Namun, siapa sangka bahwa dari sini, dari sebuah sekolah di sudut paling timur Bangka Belitung, tepatnya SMA 1 Manggar, Belitung Timur, saya berkesempatan melintasi benua untuk hadir di Slovenia—sebuah negara cantik di jantung Eropa—untuk berbicara tentang masa depan pendidikan bersama para pendidik dari 35 negara.
Ini bukan sekadar perjalanan biasa. Dari banyaknya sekolah dan ratusan ribu guru di Indonesia, saya terpilih menjadi salah satu perwakilan untuk mengikuti konferensi internasional yang membahas penggunaan kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI) dalam pendidikan.
Kesempatan ini langka, nyaris mustahil—seperti jembatan yang tiba-tiba menghubungkan
pinggiran dengan pusat diskusi global. Dan di sini, duduk dalam ruangan bersama para pendidik dari berbagai belahan dunia, saya menyadari satu hal: geografis mungkin menempatkan kita di “timur”, tetapi ide, semangat, dan komitmen untuk pendidikan berkualitas tidak mengenal batas wilayah.
Di negeri Balkan dengan mayoritas penduduk beragama Katolik ini, kami para guru yang datang dengan beragam latar belakang, setiap hari dalam konferensi ini membahas tentang bagaimana AI dapat digunakan secara efektif, etis, dan juga inklusif. Di tengah diskusi yang hangat tentang potensi dan risiko AI, sebuah kalimat dari salah satu pembicara begitu melekat di pikiran saya: “AI will not change education – people will.” (Mitja Jermol)
Kalimat itu seolah menjadi pengingat bagi guru-guru yang hadir bahwa sudah saatnya kita tidak melihat sesuatu yang baru (AI) sebagai sebuah ancaman. Betul bahwa ketika AI muncul, para guru dari belahan dunia merasakan hal yang sama yakni curiga. Curiga bahwa AI akan membuat murid semakin malas berpikir, melakukan tindakan plagiasi tak terbatas, atau bahkan menurunkan tingkat kreativitas dan kemampuan berpikir kritis.
Namun, AI sendiri bukanlah ancaman bagi dunia pendidikan. Perubahan sejati tetap berada di tangan kita, para pendidik. Yang berubah bukanlah guru atau murid karena teknologi baru, tetapi cara kita mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan teknologi itu dalam proses belajar-mengajar.
Selain itu, selama sesi konferensi, banyak pertanyaan muncul tentang apakah AI akan
menggantikan guru atau mengurangi peran manusia dalam pendidikan. Kita terbiasa melihat AI sebagai mesin canggih yang bisa menjawab pertanyaan, menulis teks, bahkan menganalisis data yang diinput murid dalam hitungan detik. Memang, kemampuan AI menakjubkan, tetapi perlu diingat: AI tidak memiliki empati, pemahaman akan hubungan guru-murid atau pemahaman konteks sosial budaya yang kompleks—hal-hal yang justru menjadi kekuatan guru dalam membimbing murid.
Melihat AI sebagai alat pendukung (AI as a tool), bukan pengganti, membuka banyak peluang. Misalnya, AI bisa membantu guru dalam menilai tugas-tugas yang repetitif, membantu tugas administratif yang membebani seperti menyusun rencana pembelajaran misalnya, menyediakan sumber belajar tambahan, atau bahkan memberi umpan balik cepat kepada murid. Dengan demikian, guru punya waktu lebih banyak untuk mendampingi murid secara personal, mengajarkan berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan sosial-emosional yang tidak bisa digantikan oleh mesin. AI menjadi partner kerja, bukan musuh yang harus ditakuti.
Di sisi lain, konferensi juga menekankan pentingnya penggunaan AI secara etis dan inklusif. Tidak semua murid memiliki akses yang sama terhadap teknologi, dan AI yang digunakan tanpa pertimbangan bisa memperlebar kesenjangan pendidikan. Sebagai guru, kita perlu memastikan bahwa setiap inovasi digital mendukung semua murid, bukan hanya mereka yang sudah terbiasa dengan teknologi. Ini berarti memilih aplikasi AI yang mudah diakses, aman, dan relevan dengan kebutuhan murid, serta selalu mengajarkan literasi digital agar murid bisa menggunakan AI dengan bijak. Terkait keamanan data (data protection), guru hendaknya memastikan bahwa murid memahami ada aturan-aturan dalam mengakses AI, seperti tidak memublikasikan data pribadi secara serampangan, atau percaya seratus persen dengan respons dari AI.
Pedadogi lebih penting dari teknologi
Hal lain yang menarik dari konferensi ini adalah bagaimana AI bisa membantu guru menjadi lebih reflektif. Dengan data dan analisis yang diberikan AI, guru dapat melihat pola belajar murid yang sebelumnya tersembunyi, misalnya bagian materi yang paling sulit dipahami atau jenis tugas yang paling efektif. Data ini bukan untuk menggantikan intuisi guru, tetapi untuk memperkaya keputusan pedagogis. Guru tetap menjadi pusat proses belajar, sementara AI memberi mata tambahan yang memperluas wawasan.
Selain itu, AI juga mendorong kita untuk berinovasi dalam metode pengajaran. Guru bisa menciptakan proyek kolaboratif yang melibatkan penggunaan AI untuk simulasi, eksperimen virtual, atau analisis masalah dunia nyata. Dalam konteks ini, AI bukan sekadar alat teknologi, tetapi medium yang memungkinkan pembelajaran menjadi lebih interaktif, kreatif, dan relevan dengan tantangan zaman.
Yang paling penting dari semua diskusi ini adalah mindset. Banyak guru masih melihat AI dengan kecemasan: takut digantikan, takut kehilangan relevansi, atau takut gagal mengikuti perubahan teknologi. Namun, konferensi ini menegaskan bahwa kekuatan kita tetap ada: guru yang memahami AI bisa menjadikannya alat pemberdayaan, bukan ancaman. Seperti kata pembicara tadi, perubahan terjadi karena orang, bukan mesin. Dengan sikap terbuka, kita dapat memanfaatkan AI untuk membuat pembelajaran lebih efektif, inklusif, dan menyenangkan bagi murid.
Kita mulai harus percaya bahwa AI dalam pendidikan bukan soal siapa yang lebih pintar antara manusia dan mesin. Ini tentang bagaimana guru mengintegrasikan AI secara bijak untuk mendukung tujuan utama pendidikan: membimbing murid menjadi pribadi yang kritis, kreatif, dan empatik. Jika kita melihat AI sebagai partner, bukan lawan, maka teknologi ini akan menjadi alat yang memberdayakan guru dan murid, membuka peluang baru, dan mempersiapkan generasi muda menghadapi dunia yang terus berubah.
Dan bagi saya, perjalanan dari Belitung Timur ke Slovenia ini membuktikan satu hal: tidak ada yang terlalu jauh atau terlalu terpinggir untuk berkontribusi dalam percakapan global tentang masa depan pendidikan. Kita semua, di mana pun berada, adalah bagian penting dari transformasi ini. (*)
Saatnya Kesehatan Harus Masuk Kurikulum Pendidikan |
![]() |
---|
Kothekan Lesung: Ketika Alat Dapur Menjadi “Senjata” Perempuan |
![]() |
---|
Selamat Jalan Faturrahman, Arsitek Lahirnya Buku Cerita Rakyat Negeri Serumpun Sebalai |
![]() |
---|
Mengenal Batik: Edukasi Budaya untuk Anak Usia Dini |
![]() |
---|
Sektor Pariwisata dan Kemampuan Berbahasa Asing dalam Penguatan Ekonomi Wilayah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.