Tribunners
Refleksi Sejarah 317 Tahun Toboali dalam Trilogi 3H "Hekaban, Hekawan, Heberuyot"
Trilogi Hekaban, Hekawan, Heberuyot memiliki sebuah konstruksi filosofis yang secara profound merefleksikan evolusi sosial-historis masyarakat Toboali
Oleh: Dwikki Ogi Dhaswara, S.Sos.,M.M. - Pamong Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bangka Selatan
"Hekaban, Hekawan, Heberuyot : Melambangkan persatuan, pertemanan, persaudaraan tanpa batas, dan kekeluargaan yang erat, menjadi landasan bagi Kota Toboali untuk terus berkembang seiring setiap kemajuan yang dicapai." Lembaga Adat Melayu Kabupaten Bangka Selatan.
PERINGATAN hari jadi sejatinya tidak berhenti pada dimensi seremonial, melainkan menjadi momentum reflektif untuk menelisik kembali tapak tilas perjalanan panjangnya. Toboali, yang akar historinya telah tertanam sejak awal abad ke-18, menyajikan narasi perkembangan yang kompleks dan menarik untuk dikaji.
Berawal dari adanya kebijakan strategis Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago pada 25 Oktober 1708, menandai dimulainya perkembangan Toboali (OudToboali). Dalam naskah akademis Hari jadi Kota Toboali oleh Dato’ Drs Akhmad Elvian, pembangunan tobo (lubang) atau parit di selatan Sungai Tagak memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai infrastruktur pertambangan timah dan benteng pertahanan permukiman. Penggalian atau pelubangan pada saat itu dilakukan berpindah-pindah atau dialihkan (Melayu: “alih” berarti pindah atau geser, dalam dialek Toboali disebut “ale”) bila tidak dijumpai lagi timah dalam jumlah atau deposit yang banyak.
Seiring waktu, perkembangan Toboali menunjukkan evolusi strategis yang signifikan. Pendirian benteng tersebut menciptakan sebuah entitas politik-ekonomi yang terintegrasi dan berfungsi sebagai pusat administrasi. Namun, setelah itu OudToboali direlokasikan ke Tanjung Sabang (Toboali baru/penduduk asli dan orang Cina menyebutnya Sabang) pada tahun 1757. Relokasi ini diikuti dengan pembentukan Pangkal Toboali oleh Sultan Ahmad Najamudin I, yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan fungsi strategis kawasan sekaligus meminimalisasi potensi ancaman eksternal.
Berbagai fase kemudian berlangsung, hingga ditandai oleh intervensi kolonial. Toboali sempat berada di bawah kekuasaan Inggris, sebelum akhirnya diduduki oleh pemerintah Hindia Belanda yang melakukan pembaruan dan pembangunan kembali benteng pada tahun 1820 dan 1825. Benteng ini kemudian dikenal dengan nama Het Fort Toboaly.
Rangkaian perkembangan Toboali sejak 1708 hingga 1825 merefleksikan dinamika transisi kekuasaan dan perubahan fungsi. Dari entitas kesultanan menuju rezim kolonial, namun tetap menegaskan nilai strategis kawasan tersebut meskipun dalam bingkai kepentingan politik yang berbeda.
Sejarah Toboali juga diwarnai oleh tradisi perlawanan terhadap kolonialisme yang melahirkan banyak tokoh pejuang pada abad ke-19. Tokoh-tokoh seperti Raden Keling, Raden Ali, Batin Tikal, Batin Pa Amien, dan Batin Ganing tercatat dalam sejarah perjuangan di berbagai peristiwa peperangan melawan kekuasaan kolonial, catatan pertempuran mereka membentuk identitas Toboali sebagai wilayah yang berjiwa merdeka.
Semangat perjuangan tersebut juga berlanjut hingga era pascakemerdekaan. Toboali menjadi salah satu tujuan kunjungan para pemimpin Republik Indonesia yang diasingkan ke Bangka. Pada 2 Februari 1949, rombongan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengunjungi Toboali, disusul oleh Soekarno pada 30 Maret 1949. Kunjungan ini untuk membangkitkan dan menunjukkan dukungan rakyat terhadap perjuangan kemerdekaan
Terdapat juga tokoh-tokoh lokal Toboali pada era itu seperti Kapten Alising (TKR), Suhaili Toha (TKR), Abdullah Sani Hasim (Angkatan Pemuda Indonesia), M Saleh Mahmud (BPKI), Djailani Akin (tokoh seni), Homsiah (tokoh pendidikan), mereka menjadi saksi perjuangan yang ada di Toboali.
Oleh karena itu, adalah tepat dan strategis jika ke depan dirumuskan suatu kebijakan onomastika (tata nama) yang sistematis. Pemberian nama jalan, gedung pemerintahan, atau fasilitas publik lainnya kepada para tokoh tersebut. Langkah ini akan mentransformasi warisan sejarah dari sekadar teks naratif menjadi elemen aktif dalam pembangunan karakter dan budaya daerah.
Hal lainnya juga dapat dilihat pada dinamika yang telah terekam di berbagai peninggalan sejarah, termasuk dokumen-dokumen kartografis masa kolonial. Salah satu bukti material yang signifikan dalam memahami pola tata kelola wilayah Toboali pada era kolonial yaitu Peta Residentie Bangka enOnderhoorgheden No. 25/XXVIIId yang diterbitkan oleh Dinas Topografi Hindia Belanda pada tahun 1934. Peta ini tidak hanya mempresentasikan lanskap geografis, tetapi lebih jauh, menjadi cerminan dari kebijakan penataan ruang dan stratifikasi sosial-ekonomi pada masanya.
Peta tersebut mengungkapkan bahwa wilayah Toboali telah dikelola secara terstruktur dengan pembagian menjadi beberapa kawasan fungsional utama, seperti kawasan pertahanan, pemerintahan, perdagangan, permukiman, dan administrasi penambangan.
Secara spesifik, peta itu menunjukkan bahwa kawasan perdagangan terkonsentrasi di sepanjang jalur utama yang menghubungkan pelabuhan, administrasi pemerintahan, kompleks Bangka Tin Winning (BTW) dengan jalur menuju Pangkalpinang. Pola spasial ini mengindikasikan sebuah model Linear Commercial Strip yang lazim pada kota-kota kolonial, di mana aktivitas ekonomi tumbuh mengikuti koridor transportasi primer.
Lebih menarik lagi, peta tersebut juga merekam dominasi arsitektur Cina di kawasan perdagangan ini, di mana bangunan berfungsi ganda sebagai unit usaha (shophouse) dan tempat tinggal komunitas Tionghoa. Pola serupa, sebagaimana ditemukan di pusat perdagangan Belinyu dan Koba yang juga terletak di tepi jalan utama. Konfigurasi ini tidak hanya mencerminkan efisiensi logistik, tetapi juga politik penataan ruang yang memisahkan sekaligus mengintegrasikan berbagai kelompok etnis dalam sebuah struktur ekonomi yang teratur.
Berdasarkan fondasi historis tersebut, Toboali kini mengalami transformasi spasial dan sosial yang signifikan. Perkembangan pesat tata kota yang berpusat di Himpang Lime Habang, serta menguatnya kohesi sosial yang terejawantahkan dalam semboyan “Junjung Besaoh” merupakan dua fenomena interpenden yang sangat menarik.
Pergeseran pusat gravitasi kota dari koridor perdagangan kolonial yang linear menuju sebuah roundpoint atau kawasan Himpang Lime Habang yang dahulunya adalah kawasan administrasi pemerintahan, mempresentasikan sebuah evolusi dalam perencanaan tata kota. Jika pada era kolonial, pola tata ruang bersifat linear dan mengikuti jalur transportasi komoditas (dari pelabuhan ke darat), maka Himpang Lime Habang menandai transisi menuju tata ruang yang lebih nodal dan terintegrasi.
Pemusatan ini menjadi landmark baru yang tidak hanya bernilai fungsional, tetapi juga simbolis menandai kemajuan, dinamisme, dan integrasi wilayah Toboali ke dalam jaringan yang terpadu. Hal ini juga merefleksikan semboyan daerah “Junjung Besaoh” yang berperan sebagai perekat, dengan nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang erat, hingga membentuk sebuah “komunitas imajiner” yang inklusif, di mana semua suku tidak hanya hidup berdampingan, tetapi telah melebur dalam sebuah kesatuan sosial yang kohesif.
Dari perkembangan yang progresif ini, terdapat juga satu dimensi kritis yang tidak boleh terabaikan yaitu pelestarian bangunan, dan kawasan bersejarah yang berada di sekitar simpul strategis tersebut.
Konsep adaptivereuse atau alih fungsi yang adaptif merupakan pendekatan yang tepat. Bangunan-bangunan bersejarah tidak harus dibekukan fungsinya, tetapi dapat dihidupkan kembali dengan fungsi baru yang relevan dengan konteks kekinian dan tetap menghormati karakter aslinya.
Rumah Dinas Controlleur (Wedana Toboali), Rumah Kepala Gudang (WoningMagazijnmeester) saat ini difungsikan Pojok Baca Digital, Gudang Beras, dan Gedung Nasional, misalnya, dapat direvitalisasi menjadi menjadi museum literasi sejarah, galeri seni, perpustakaan digital dan tema sejarah, atau museum komunitas yang memamerkan foto-foto sejarah Toboali. Pendekatan ini mentransformasi warisan dari sekadar objek pasif menjadi ruang publik yang produktif secara ekonomi kultural.
Hal ini akan menghubungkan titik-titik bersejarah di sekitar Himpang Lime Habang, menciptakan sebuah narasi berjalan (walking narrative) yang memungkinkan pengujung dan generasi muda untuk memahami lapisan-lapisan sejarah kota, mulai dari masa kolonial, hingga pembentukan identitas kotemporer.
Selaras dengan transformasi spasial dan upaya pelestarian sejarah, lapisan identitas lain yang menandai kekayaan Toboali adalah heterogenitas budaya yang telah lama menjadi DNA sosial masyarakatnya. Keragaman dalam bahasa, kuliner, seni, dan tradisi bukanlah fenomena baru, melainkan hasil dari akumulasi interaksi sosiokultural yang intens antar-berbagai kelompok etnis selama berabad-abad. Proses akulturasi dan amalgamasi ini telah melahirkan suatu mosaik kebudayaan yang unik dan dinamis, menjadikan Toboali tidak hanya kaya secara historis, tetapi juga secara kultural,
Di tahun ini, pemilihan tema “Hekaban, Hekawan, Heberuyot” pada peringatan hari jadi ke-317 oleh Lembaga Adat Melayu dan Pemerintah Kabupaten Bangka Selatan, menjadi sangat signifikan dan patut mendapatkan apresiasi. Tema ini bukan sekadar slogan, namun juga sebuah kontruksi sosial yang secara cerdas memaknai ulang realitas heterogen menjadi sebuah kekuatan kolektif.
Pemilihan trilogi Hekaban, Hekawan, Heberuyot memiliki sebuah konstruksi filosofis yang secara profound merefleksikan evolusi sosial-historis masyarakat Toboali. Ketiga konsep ini membentuk sebuah kerangka perkembangan berjenjang yang selaras dengan temuan historis dan tantangan kotemporer.
Hekaban, menggambarkan sekumpulan orang atau serombongan yang membentuk suatu kesatuan dalam komunitas atau masyarakat. Konsep hekaban ini merupakan respons transformatif dimulai dari adanya pembangunan benteng pertahanan permukiman masyarakat, aksi kesatuan perjuangan, hingga pola tata ruang kolonial 1934 yang cenderung segregatif.
Hekaban mentransendensi warisan ini dengan menegaskan bahwa meski terkumpul dalam keberagaman, masyarakat Toboali telah membentuk satu kesatuan komunitas yang utuh dari sejak dahulu. Konsep ini adalah fondasi pertama untuk membangun integrasi sosial dari sebuah masyarakat majemuk.
Hekawan, menggambarkan pertemanan, kawan atau saudara dalam kehidupan sehari-hari, meskipun berbeda suku, agama, atau ras, tetap dianggap sebagai saudara di mana pun dan kapan pun. Konsep ini secara langsung merefleksikan realitas sejarah dan hibriditas budaya di Toboali yang telah lama terbentuk.
Keberagaman bahasa, kuliner, arsitektur bukanlah fenomena yang terpisah-pisah, melainkan telah melebur dalam interaksi keseharian yang setara. Dalam teori sosial, hubungan semacam ini menghasilkan modal sosial berbasis bridging (bridging social capital), yaitu jaringan yang menjembatani perbedaan latar belakang. Hekawan adalah kristalisasi dari modal sosial ini, yang menjadi pengikat horizontal antarwarga.
Heberuyot, menggambarkan kekeluargaan yang tercermin dalam kesatuan masyarakat yang erat, dengan ikatan yang kuat. Konsep ini merepresentasikan puncak dari kohesi sosial, yaitu terbentuknya komunitas solidaristik. Ikatan yang kuat ini merupakan faktor kunci dalam membangun ketahanan sosial Toboali. Sejarah panjang selama 317 tahun, dengan segala dinamika politik, ekonomi, dan sosial, hanya dapat dilalui oleh sebuah masyarakat yang memiliki perekat sosial yang kuat seperti yang digambarkan pada heberuyot.
Trilogi ini juga merupakan sebuah continuum logis dalam pembentukan masyarakat. Hekaban (dari sekumpulan menjadi satu), hekawan (dari satu menjadi pertemanan), heberuyot (dari pertemanan menjadi sekeluarga). Dalam kerangka filsafat angka 3, ketiganya membentuk landasan kokoh yaitu masa lalu (diwakili oleh akumulasi sejarah dan keberagaman yang telah ada), masa kini (diwujudkan dalam hubungan persaudaraan yang hidup dan dinamis hari ini), masa depan (ditujukan untuk mempertahankan dan menguatkan ikatan keluarga besar sebagai fondasi membangun masa depan).
Selamat hari jadi Kota Toboali yang ke-317, 25 Oktober 2025, semoga pembangunan Kota Toboali terus makin maju tanpa meninggalkan akar sejarahnya, serta dengan tema "Hekaban, Hekawan, Heberuyot" dapat memperkuat semboyan daerah “Junjung Besaoh” Kabupaten Bangka Selatan, dan menjadi motor penggerak utama untuk mewujudkan kota yang tidak hanya maju secara fisik, tetapi juga tangguh dan berbudaya. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.