Dokter Ratna Uji Materil UU Kesehatan
Forkom IDI Kaji Kasus Dokter Ratna Terkait Permohonan Uji Materil UU Kesehatan
Permohonan uji materil yang diajukan Dokter Ratna Setia Asih menjadi topik pembahasan dalam pertemuan Forum Komunikasi (Forkom) IDI.
BANGKAPOS.COM, BANGKA - Permohonan uji materil yang diajukan Dokter Ratna Setia Asih, seorang dokter spesialis anak di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menjadi topik pembahasan dalam pertemuan Forum Komunikasi (Forkom) Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Minggu (26/10/2025) malam.
Pertemuan yang dilakukan secara daring, melalui Zoom Meeting itu berlangsung hingga hampir tengah malam. Bahkan Dokter Ratna, yang mengajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) masih menerima pesan WhatsApp dari rekan-rekan dokter hingga dini hari setelah pertemuan Zoom Meeting ditutup.
“Teman-teman dokter masih banyak yang bertanya perihal apa yang menjadi gugatan saya ke MK,” kata Ratna saat dibincangi Bangka Pos, Senin (27/10/2025).
Diberitakan sebelumnya, Ratna bersama tim penasihat hukum dari Firma Hukum Hangga OF mengajukan permohonan uji materil Pasal 307 sepanjang frasa “putusan dari majelis” dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan.
Permohonan uji materil itu sendiri bermula dari rekomendasi yang dikeluarkan Majelis Disiplin Profesi (MDP) Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) yang menyatakan Dokter Ratna telah melanggar standar profesi sebagai dokter spesialis anak.
Rekomendasi itu berlanjut penetapan tersangka oleh Polda Kepulauan Bangka Belitung terhadap Dokter Ratna dalam kasus dugaan malapraktik kematian Aldo Ramdani (10), seorang pasien anak di RSUD Depati Hamzah, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada akhir tahun lalu.
Baca juga: Dari Ruang Rawat ke Ruang Sidang, Dokter Ratna Perjuangkan Keadilan hingga ke MK
Kematian Aldo dilaporkan orang tuanya, Yanto, warga Desa Terak, Kecamatan Simpang katis, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ke Polda Babel pada 12 Desember 2024.
Dalam penangan laporan itu, Dokter Ratna sudah beberapa kali menjalani pemeriksaan hingga ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Juni 2025.
Dalam penetapan tersangka tersebut, Dokter Ratna disangkakan atas Pasal 440 ayat 1 atau Pasal 2 Undang-undang nomot 17 tahun 2023 tentang kesehatan. Dia diduga lalai hingga menyebabkan kematian Aldo.
“Sejak awal saya sudah melakukan hal yang benar dan sesuai SOP. Tapi entah kenapa, lama-lama arah kasus ini seperti menyudutkan saya,” ujar Ratna sedikit menyinggung kasus hukum yang dihadapinya di Polda Babel.
Keyakinan itu pula yang membuat Ratna merasa keberatan dengan rekomendasi MDP KKI. Sayangnya, upaya untuk mendapat penjelasan lebih lanjut dari MDP KKI tidak berujung jawaban hingga akhirnya Ratna mengajukan permohonan uji materil ke MK RI.
Tunggu Putusan
Permohonan uji materil yang diajukan Ratna sudah berjalan hingga sidang kedua di Gedung MK RI, Jakarta. Kini dia menunggu sidang ketiga yang dikabarkan bakal diisi pembacaan putusan dari majelis hakim MK.
Hangga Oktafandy, penasihat hukum Ratna, mengatakan sidang perdana digelar pada 10 Oktober 2025. Mereka kemudian bersidang lagi pada Kamis, 23 Oktober 2025 kemarin.
“Dari sidang kedua kemarin, kami optimistis permohonan kami akan dikabulkan majelis hakim. Di sidang kedua kemarin, kami menyampaikan perbaikan permohonan uji materil,” kata Hangga saat ditemui Bangka Pos, Minggu (26/10/2025).
Hangga menegaskan rekomendasi MDP KKI telah melanggar hak asasi kliennya sebagai warga negara dan bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu yang mendasari pihaknya mengajukan permohonan uji materil ke MK. “Berbicara sederhananya, klien kami dinyatakan melanggar standar profesi sementara yang namanya standar profesi untuk dokter anak itu belum ada karena belum rampung,” ujarnya.
Dilanjutkan Hangga, rekomendasi MDP KKI juga dinilai janggal karena hanya merujuk pada Dokter Ratna saja. Sementara ada delapan dokter yang katanya diperiksa MDP KKI. Berbeda dengan Dokter Ratna, nasib dokter lainnya itu tidak diketahui secara pasti.
“Apakah mereka tidak melanggar atau bagaimana, itu tidak diketahui,” kata Hangga.
“Klien kami sendiri merasa keberatan karena merasa tidak ada yang dilanggar. Sayangnya, ketika ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut ke MDP KKI, permohonan itu tidak pernah berbalas sampai saat ini,” tambahnya.
Diminta Forkom IDI
Perihal pertemuan bersama Forkom IDI, Ratna mengaku dihubungi perwakilan Forkom IDI pada Jumat (24/10) atau sehari setelah bersidang di Gedung MKRI, Jakarta. Dia diminta berbicara dalam forum yang mengangkat pembahasan tentang permohonan uji materi yang diajukannya ke MKRI.
“Saya hadir bersama pengacara saya juga. Saya jadi yang pertama bicara di pertemuan itu,” kata Ratna.
Perempuan yang sudah berkecimpung di dunia medis selama kurang lebih 17 tahun itu juga kembali menyinggung kasus dugaan malapraktik yang membuatnya mendapat rekomendasi MDP KKI hingga berujung ke penetapan tersangka oleh pihak kepolisian.
Ratna tetap berkeyakinan telah melakukan prosedur pelayanan terhadap pasien sebagaimana mestinya.
“Beberapa teman dokter mengira saat ini SIP (Surat Izin Praktik-red) saya dicabut karena kasus itu. Saya jawab tidak, SIP saya masih ada,” ujarnya.
Di akhir pertemuan tersebut, menurut Ratna, Forkom IDI memberikan dukungan kepadanya dengan bakal bersurat ke Kejaksaan Agung (Kejagung) perihal penanganan kasus yang membelitnya. “Katanya begitu. Tapi kita lihat saja nanti seperti apa,” kata Ratna.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Pangkalpinang, dr Eva Lestari mengakui pertemuan Forkom IDI pada Minggu (26/10) malam diinisiasi rekan-rekan IDI di tingkat pusat. Eva diminta membantu pelaksanaan pertemuan yang berlangsung secara daring tersebut.
“Pertemuan itu mendadak juga. Kita kayak kejar-kejaran mempersiapkannya,” kata Eva, Senin (27/10).
“Ya isinya membahas pengajuan uji materil ke MK dan juga kasus yang menimpa rekan kita, Dokter Ratna,” lanjutnya.
Eva menjelaskan pertemuan serupa kerap digelar Forkom IDI. Meski bisa dibilang tidak rutin dalam waktu tertentu, Forkom IDI rutin menggelar pertemuan seperti yang ikut dihadirinya pada Minggu (26/10) malam kemarin.
“Itu yang hadir teman-teman dari seluruh Indonesia. Jadi pertemuan itu diinformasikan ke IDI masing-masing di daerah, dan semua bisa hadir,” kata Eva.
Informasi yang dihimpun Bangka Pos, pertemuan Forkom IDI pada Minggu (26/10) kemarin masih berkenaan dengan peringatan 75 tahun IDI yang jatuh pada 24 Oktober 2025. Pertemuan dimulai pada pukul 18.30 WIB melalui Zoom Meeting.
Hormati Hak Dokter Ratna
Yanto, ayah almarhum Alda, mengaku tidak terlalu pahal soal hukum saat ditanya perihal permohonan uji materil yang diajukan dokter Ratna ke MKRI. Meski begitu, dia menghormati langkah tersebut sebagai hak pribadi dokter yang bersangkutan.
“Untuk kemarin, dokter Ratna kan mengajukan banding ke MK dan konstitusi. Saya tidak mengerti hukum ya, cuma saya dengar ini semua masalah hukum. Baik pun pemeriksa dan penuntut, semua tidak ada hak untuk menilai. Ya saya pikir itu hak dia, hak dokter Ratna. Tapi kita lihat nanti sama-sama, bagaimana hasil akhirnya,” kata Yanto saat ditemui Bangka Pos, Senin (27/10/2025).
Yanto berharap proses hukum ini bisa berjalan dengan jujur dan transparan tanpa intervensi dari pihak mana pun. Ia hanya ingin agar kematian anaknya menjadi pelajaran agar ke depan, tidak ada lagi orang tua yang mengalami hal serupa.
“Saya hanya ingin keadilan. Anak saya sudah nggak bisa kembali, tapi kalau ini bisa memperbaiki sistem, saya ikhlas. Yang penting jangan ada lagi nyawa anak kecil yang hilang karena kelalaian,” pungkasnya.
Meski berusaha menahan emosi, Yanto tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia mengaku sangat terpukul atas kehilangan anaknya yang dikenal aktif dan ceria itu.
“Saya sebagai orang biasa sangat sakit hati. Saya cuma berharap tidak ada lagi Aldo-Aldo lain yang mengalami hal sama. Kita maaf, tapi harus ada efek jera. Dokter atau siapa pun yang terlibat, semua harus terbuka. Keadilan jangan hanya di atas kertas,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa perjuangannya bukan untuk mencari popularitas atau uang ganti rugi, melainkan agar tidak ada lagi nyawa yang hilang karena kelalaian dan buruknya sistem pelayanan kesehatan.
“Apakah ini untuk ramai-ramai? Saya bukan jual-jualan anak saya. Saya tidak mau hanya kata-kata ‘ya sudah’. Saya cuma mau kebenaran. Jangan sampai kasus ini hilang begitu saja,” tegas Yanto.
“Saya tidak mau nanti kasus ini dibilang selesai tanpa sidang. Kalau memang ada yang salah, tanggung jawab lah. Jangan biarkan masyarakat kecil seperti kami terus kalah di rumah sakit besar seperti ini,” imbuhnya. (mun/x1)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.