Tribunners
Antara Pertumbuhan dan Ketergantungan
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada triwulan III-2025 mencatat angka 3,21 persen (y-on-y).
Oleh: Ridho Ilahi - Statistisi Madya BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
PERTUMBUHAN ekonomi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada triwulan III-2025 mencatat angka 3,21 persen (y-on-y). Di balik statistik yang tampak tenang, dorongan ekonomi Babel sesungguhnya masih mencerminkan ketergantungan pada sumber daya alam, ekspor komoditas primer, dan konsumsi domestik.
Struktur ekonomi yang didominasi oleh tiga sektor utama industri pengolahan sebesar 20,91 persen, pertanian dan perikanan sebesar 20,20 persen, serta perdagangan besar dan eceran sebesar 15,31 persen, menunjukkan wajah ekonomi yang belum bertransformasi signifikan sejak satu dekade terakhir.
Dari sisi lapangan usaha, sektor-sektor tersier memang menghasilkan geliat yang kuat. Penyediaan investasi dan makan minum tumbuh spektakuler 13,77 persen , diikuti jasa perusahaan sebesar 13,23 persen dan informasi dan komunikasi sebesar 13,09 persen.
Akan tetapi, perlu diingat pertumbuhan tinggi di sektor tersier bersifat siklis karena berbasis konsumsi sesaat, bukan peningkatan produktivitas jangka panjang. Program bantuan sosial dan subsidi upah memang memperkuat daya beli masyarakat tetapi efeknya mirip injeksi jangka pendek daripada mesin ekonomi berkelanjutan.
Sebaliknya, sektor konstruksi dan jasa keuangan yang terkonstraksi masing-masing sebesar 1,44 persen dan 0,20 persen mencerminkan dua masalah serius akibat terbatasnya proyek infrastruktur baru dan kehati-hatian lembaga keuangan dalam ekspansi kredit. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga turun 0,12 persen per tahun, bahkan realisasi investasinya menyusut drastis dari Rp4,7 triliun di triwulan III 2024 menjadi Rp1,8 triliun di triwulan III 2025. Ini bisa menjadi sinyal krisis kepercayaan investor terhadap iklim usaha lokal yang belum efisien.
Di sektor industri pengolahan, pertumbuhan positif 1,03 persen memang patut diapresiasi. Jika ditelisik lebih dalam, peningkatan ini berasal dari subsektor makanan dan minuman, terutama minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya. Produksi CPO meningkat seiring naiknya harga tandan buah segar (TBS) hingga Rp3.416/kg dan harga kernel di atas Rp12.000/kg.
Sebaliknya, produksi logam timah justru menurun akibat penertiban penambangan ilegal dan pengetatan tata kelola ekspor. Artinya, perekonomian Babel tengah mengalami perubahan dari penambangan ke agribisnis, tetapi fondasi industri hilirnya belum kuat. Selama ekspor masih berbasis bahan mentah, nilai tambah akan tetap bocor ke luar daerah. Ketika harga timah turun dan pasar global melemah, efek domino langsung terasa pada kontraksi ekspor Babel yang anjlok 12,36 persen (y-on-y).
Konsumsi jadi penopang
Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga tetap menjadi tulang punggung pertumbuhan dengan kontribusi sebesar 54,56 persen. Aktivitas masyarakat meningkat berkat momentum pilkada ulang, tahun ajaran baru, dan perayaan hari besar nasional. Program pangan murah dan bantuan sosial juga membantu menjaga daya beli di tengah kenaikan harga beberapa komoditas.
Ketergantungan terhadap konsumsi tanpa dukungan investasi dan ekspor yang kuat menjadikan ekonomi Babel rentan tumbuh tanpa tenaga. Ketika pengeluaran pemerintah terkontraksi 4,19 persen akibat efisiensi dan pemotongan tunjangan aparatur sipil negara (ASN), roda pembangunan melambat. Ekspor turun, investasi turun, konsumsi naik sedikit sehingga komposisi ini menciptakan pertumbuhan semu yang tidak berdaya mendorong jangka panjang.
Ironisnya, Babel menjadi provinsi dengan pertumbuhan ekonomi terendah di seluruh Sumatra, jauh di bawah rata-rata Sumatra sebesar 4,90 persen dan bahkan tertinggal dari Kepulauan Riau yang mencatat 7,48 persen. Jika tren ini berlanjut, ketimpangan antarwilayah di Sumatra akan makin melebar dan Babel berisiko kehilangan momentum kompetitifnya.
Pasar kerja membaik, kualitas hidup meningkat
Satu kabar baik datang dari sisi ketenagakerjaan. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) naik menjadi 69,38 persen. Jumlah pekerja juga meningkat 19.639 orang dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) turun menjadi 4,45 persen. Namun, euforia ini perlu dibaca hati-hati karena 51,29 persen tenaga kerja masih di sektor informal dan hanya 13,49 persen pekerja yang berpendidikan diploma ke atas.
Dengan kata lain, pasar kerja Babel memang membaik secara kuantitas, tetapi kualitasnya belum berkembang jauh. Fenomena ini menampilkan jebakan klasik daerah sumber daya alam. Perluasan lapangan kerja di daerah ini tidak diikuti peningkatan produktivitas. Pengangguran terpelajar mulai bermunculan di sektor jasa dan industri pengolahan yang padat karya, tetapi minim penyerapan.
Disamping itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Babel tahun 2025 naik menjadi 75,26 menandakan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Usia harapan hidup meningkat menjadi 74,46 tahun, rata-rata lama sekolah menjadi 8,65 tahun , dan pengeluaran per kapita mencapai Rp13,84 juta per tahun.
Secara spasial, seluruh kabupaten dan kota menunjukkan peningkatan IPM Pangkalpinang mencapai 81,64 menjadikan satu-satunya daerah yang berstatus “sangat tinggi.” Akan tetapi, kenaikan IPM tidak sejalan dengan produktivitas ekonomi. Peningkatan pendidikan belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi inovasi dan efisiensi sektor riil. Peningkatan IPM hanya akan memperlebar jurang antara kemampuan dan peluang tanpa reformasi struktural di dunia kerja dan investasi riset.
| Menyatukan Nalar dan Rasa: Filsafat Tata Kelola Kebudayaan |
|
|---|
| Hidayatus Salikhin dan Problematika Pendidikan Karakter Kontemporer |
|
|---|
| Pendidikan Nonformal dan Kesejahteraan Tutor |
|
|---|
| Memahami Perubahan Mukosa Mulut pada Lansia: Tantangan dan Perawatannya |
|
|---|
| Antara Data dan Realitas: Jaminan Hak Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.