Tribunners
Antara Data dan Realitas: Jaminan Hak Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas
Tantangan dalam mewujudkan pelayanan publik yang inklusif tidak hanya bersifat kebijakan, tetapi juga teknis dan struktural.
Oleh: Leny Suviya Tantri - Asisten Ombudsman Bangka Belitung
SETIAP warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, termasuk penyandang disabilitas. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa penyandang disabilitas berhak memperoleh kesejahteraan sosial.
Namun, kenyataannya belum sepenuhnya sejalan dengan semangat regulasi tersebut, masih banyak penyandang disabilitas yang belum mendapatkan haknya, terutama akses terhadap bantuan sosial. Bukan karena mereka tidak membutuhkan, melainkan karena sistem yang ada belum sepenuhnya mampu mengakomodasi kondisi dan kerentanan mereka dalam kriteria penerima manfaat.
Dalam banyak kasus, penyandang disabilitas tidak masuk dalam daftar penerima bantuan karena dianggap “mampu” berdasarkan penilaian ekonomi keluarga. Data dapat berfungsi untuk memetakan tingkat kemiskinan, namun tidak sepenuhnya merepresentasikan kompleksitas kerentanan sosial di lapangan. Jika keadilan sosial adalah hak setiap warga negara, mengapa sebagian penyandang disabilitas masih tertinggal hanya karena data tidak mampu membaca kerentanan mereka?
Menyoal akurasi peringkat kesejahteraan keluarga
Pemerintah menggunakan desil kesejahteraan atau peringkat kesejahteraan keluarga sebagai acuan untuk menentukan siapa yang berhak menerima program bantuan sosial seperti program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan nontunai (BPNT), penerima bantuan iuran (PBI) dan lain sebagainya. Pengelompokan kriteria desil tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Sosial Nomor 79 Tahun 2025 tentang Penetapan Peringkat Kesejahteraan Keluarga untuk Penyaluran Bantuan Sosial dan Bantuan Program Kesejahteraan Sosial di Lingkungan Kementerian Sosial.
Pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah menggunakan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) untuk melakukan pendataan terhadap masyarakat yang kurang mampu dan kelompok rentan. Namun, saat ini pemerintah telah melakukan penyempurnaan sistem dengan membentuk data tunggal sosial dan ekonomi nasional (DTSEN) sebagai basis data yang digunakan pemerintah untuk melakukan penyaluran bantuan sosial. Dengan DTSEN status desil atau peringkat kesejahteraan keluarga masyarakat akan teridentifikasi.
Desil membagi masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraannya, dari kelompok yang paling
rendah kesejahteraannya hingga yang tingkat kemakmurannya paling tinggi. Tujuannya tentu baik
agar bantuan tepat sasaran dan dikelola secara transparan. Namun, sistem ini menilai kesejahteraan berdasarkan kondisi ekonomi rumah tangga, bukan individu. Di sinilah letak persoalannya. Banyak penyandang disabilitas yang tinggal bersama keluarga berpenghasilan menengah atau keluarga yang dahulu tergolong mampu, dianggap tidak berhak menerima bantuan. Padahal, secara pribadi beberapa dari mereka tidak memiliki penghasilan, tidak bekerja, dan sepenuhnya bergantung pada orang lain. 
Dilema lain muncul ketika penyandang disabilitas tinggal di rumah permanen yang tampak layak, namun kondisi keluarganya sebenarnya telah berubah. Ada yang penanggung nafkahnya jatuh sakit, atau kehilangan penghasilan, tetapi karena kondisi rumah masih terlihat baik, desil kesejahteraannya tidak ikut turun. Akibatnya, mereka tetap tercatat sebagai keluarga “mampu” di atas kertas, meskipun realitasnya jauh berbeda.
Kondisi itu menunjukkan bahwa akurasi peringkat kesejahteraan keluarga masih menyisakan tantangan besar, terutama bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Data dan sistem seharusnya menjadi alat untuk menghadirkan keadilan, bukan justru menjadi sekat yang menghalangi hak mereka. Ketika indikator kesejahteraan hanya dilihat dari sisi fisik rumah, aset, atau penghasilan keluarga, maka aspek kerentanan personal dan keterbatasan fungsional penyandang disabilitas akan terus terpinggirkan.
Mewujudkan pelayanan publik inklusif
Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas miskin atau yang tidak memiliki penghasilan agar dapat memperoleh layanan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Ketentuan ini secara tegas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas, yang menegaskan bahwa jaminan sosial diberikan dalam berbagai bentuk, antara lain asuransi kesejahteraan sosial, bantuan langsung berkelanjutan, hingga bantuan khusus bagi yang membutuhkan. Namun, dalam praktiknya, implementasi kebijakan tersebut sering kali menghadapi kendala di tingkat pelaksana.
Salah satu tantangan utama muncul pada tahap pengusulan keluarga penerima manfaat (KPM) melalui mekanisme musyawarah desa. Di lapangan, masih banyak aparat desa yang belum memahami secara utuh regulasi terkait pengusulan KPM sehingga prosesnya lebih banyak dilakukan berdasarkan kebiasaan atau pertimbangan subjektif.
Di beberapa daerah di Bangka Belitung, misalnya, Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menemukan temuan di lapangan di mana pihak desa tidak mengetahui bahwa penyandang disabilitas termasuk dalam kategori pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial yang berhak diusulkan sebagai penerima manfaat PKH dengan alasan telah menerima bantuan sosial lain sehingga penyandang disabilitas tersebut tidak diusulkan sebagai penerima program bantuan sosial tersebut.
Padahal, bantuan sosial yang diterima oleh penyandang disabilitas memiliki karakter dan tujuan yang berbeda. Sebagian bersifat bantuan dasar untuk kelangsungan hidup, sebagian lain berbentuk dukungan rehabilitasi atau pemberdayaan sosial. Ketidaktahuan aparat desa terhadap perbedaan ini menunjukkan perlunya penguatan kapasitas dan sosialisasi regulasi di tingkat akar rumput, agar proses pengusulan benar-benar berjalan sesuai prinsip keadilan dan inklusivitas.

												      	
												      	
												      	
												      	
				
			
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.