Tribunners

Hidayatus Salikhin dan Problematika Pendidikan Karakter Kontemporer

Kita berharap agar lahirlah generasi umat masa depan yang tidak hanya berilmu tinggi, tetapi juga kaya akan akhlakul karimah.

Editor: suhendri
Dokumentasi Yanuar Anoseputra
M. Yanuar Anoseputra, S.Pd.I.,Gr.,C.T - Guru SDN 14 Pangkalanbaru, Wasek PD Pemuda Muhammadiyah Kota Pangkalpinang Bidang Pendidikan & Kaderisasi 

Oleh: M. Yanuar Anoseputra, S.Pd.I.,Gr.,C.T - Guru SDN 14 Pangkalanbaru, Wasek PD Pemuda Muhammadiyah Kota Pangkalpinang Bidang Pendidikan & Kaderisasi

PENDIDIKAN karakter merupakan sebuah bahasan yang masih sangat relevan untuk dibahas di zaman pendidikan teknologi seperti sekarang ini. Dunia pendidikan terus berkembang, dari zaman kapur menuju zaman spidol menuju ke zaman proyektor dan sekarang tiba di zaman tv digital di dalam kelas. Di zaman belajar menggunakkan sapu lidi sebagai media matematika, hingga sekarang menggunakan berbagai platform digital seperti quizizz, google, canva dan lain sebagainya. Dimulai dari zaman ketika murid dihukum guru biasa saja, takut mengadu ke orangtua, hingga sekarang zaman guru diadukan dan viral di media sosial.

Namun, pendidikan karakter tetaplah menjadi tujuan utama sistem pendidikan nasional kita. Tujuan pendidikan nasional kita dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Secanggih apa pun media pembelajaran dan metode terbaru yang dilaksanakan hari ini, namun dalam tujuan pendidikan itu sendiri selalu menekankan kepada pendidikan karakter. Membentuk watak orang Indonesia. Watak seperti apa? Di antaranya adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Seperti pepatah mengatakan, orang berilmu tanpa adab akan menjadi sombong, meremehkan orang lain, serta bisa menggunakan ilmunya untuk merugikan orang lain bahkan bangsa dan negara. Maka yang baik adalah orang yang beradab juga berilmu sehingga bertambah berkah ilmu itu untuk kemaslahatan ummat bangsa dan negara. 

Pendidikan karakter ini dalam agama Islam adalah misi utama dari diutusnya nabi akhir zaman yaitu Muhammad Saw. Sebelum masa kenabian Muhammad Saw, Makkah berada dalam suatu masa yang disebut masa kegelapan atau masa jahiliah/ kebodohan. Orang-orang berbuat maksiat, minum khamr, membunuh, zina, perbudakan, dan segala perbuatan yang tidak beradab.

Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw, ketika tiba masa kenabiannya mengatakan bahwa ia datang adalah untuk memperbaiki akhlak manusia sehingga di masa-masa awal kenabian itu, banyak sekali ajaran tentang karakter/akhlak, salah satunya yang turun di Kota Makkah kepada Nabi Muhammad Saw. Setelah ayat-ayat tentang karakter/akhlak, barulah bertahap turun ayat-ayat bertema fikih dan lain sebagainya. Ajaran tentang karakter/akhlak ini masih sangat relevan dari zaman kenabian Muhammad Saw hingga zaman modern sekarang ini untuk kita terapkan dan ajarkan bagi peserta didik. 

Kitab Hidayatus Salikhin merupakan sebuah kitab yang ditulis oleh ulama besar Melayu abad ke -18. Hidayatus Salikhin merupakan kitab tasawuf yang ditulis pada 1778 Masehi.  Penulisnya bernama Syekh Abdus Somad al Palimbani, seorang ulama Melayu yang berkibar namanya di Haramayn. Setiap orang Melayu ke Haramayn belum lengkap keilmuannya apabila belum belajar dengan beliau.

Syekh Abdus Somad sempat pulang e Nusantara untuk berdakwah bersama ketiga sahabatnya sesama Bani Jawi. Mereka membentuk kumpulan perserikatan orang yang berasal dari Nusantara belajar di Haramayn. Syekh Abdus Somad al Palimbani lahir di masa kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam yaitu 1737 Masehi di keraton Kuto Cerancangan. Pada abad ke -17 hingga 18 Masehi, Kesultanan Palembang Darussalam mencapai puncak kejayaan. Menjadi salah satu tempat kajian Islam terbesar di Nusantara. Setelah Aceh mengalami kemunduran abad 17 Masehi, Palembang mengambil alih sebagai pusat kajian berkisar tahun 1750-1820 Masehi. Lalu berpindah ke Banjarmasin dan Padang secara  bergiliran.

Dalam Kitab Hidayatus Salikhin ini, terdapat nilai-nilai budi pekerti/akhlak yang dibahas Syekh Abdus Somad al Palimbani sejak abad ke-18 untuk pengajarannya, namun tetap relevan dengan problematika pendidikan karakter kontemporer. Menurut Mustofa dalam buku Akhlak Tasawuf (2010), menjelaskan bahwa kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku  atau tabiat.

Lalu menurut Abudin Nata dalam Akhlak Tasawuf (2014), beliau menjelaskkan ciri-ciri akhlak, di antaranya perbuatan yang tertanam kuat menjadi kepribadiannya, perbuatan yang dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran, perbuatan yang timbul dalam diri seseorang, perbuatan yang dilakukan secara sesungguhnya/bukan sandiwara, perbuatan yang dilakuan ikhlas karena Allah Swt semata. 

Dalam Hidayatus Salikhin oleh Syekh Abdus Soma al Palimbani mengikuti dari Bidayatul Hidayah mili Imam Al Ghazali, membahas tentang adab/akhlak anak kepada orang tua. Adab terhadap orang tua ini merupakan sebuah problematika pendidikan karakter kontemporer. Kita diperlihatkan dengan kejadian anak melawan orang tuanya, tidak patuh lagi kepada orang tua. Apalagi jika kita korelasikan dengan guru, maka guru adalah orang tua peserta didik di sekolah. Nilai-nilai budi pekerti yang dijelaskan dalam Hidayatus Salikhin ini relevan dengan fenomena adanya peserta didik yang tidak mendengarkan guru, bahkan kasus melaporkan guru ke polisi. 

Ada sepuluh hal yang harus dilakukan seorang anak kepada orang tua, baik ibu bapak maupun gurunya, dalam Hidayatus Salikhin. Namun, penulis hanya akan membahas lima poin saja karena keterbatasan tempat dan waktu. 

  • Mendengar dan patuh kepada perkataan orang tua 

Seorang anak wajib menuruti kata orang tuanya, baik ibu bapak ataupun guru, selagi itu tidak melanggar syariat agama. Dalam dunia pendidikan sekarang, begitu banyak guru sudah diabaikan oleh peserta didik. Hal ini tentu berbeda dengan zaman dahulu ketika penulis menempuh pendidikan.

  • Jangan meninggikan suara lebih dari orang tua

Sebagai orang yang beradab, kita harus mulai belajar aagar melembutkan suara jika berbicara dengan orang tua. Di dunia pendidikan saat ini, banyak kejadian anak bicara kurang sopan dengan orang tua dan gurunya. 

  • Apabila orang tua memanggil hendaklah dijawab dengan kalimat yang sopan

Kita kerap melihat ketika pembelajaran atau di luar pembelajaran, ada saja peserta didik yang menjawab guru dengan nada yang kurang pantas. Begitu juga di rumah, ada saja kejadian seperti itu. Bahkan belakangan ada kasus anak membunuh orang tuanya karena suatu hal yang tidak masuk akal.

  • Bersungguh-sungguh dalam menuntut keridaan orang tua dengan perkataan atau perbuatan serta merendahkan diri
Sumber: bangkapos
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved