Buaya Diduga Diracun di Jerambah Gantung

Satgas TSL Babel Gelar Rapat Khusus, Dua Buaya Mati di Jerambah Gantung

Rapat dihadiri sejumlah instansi, antara lain KKP, DKP Babel, BKSDA, ALOBI, BPBD, Bappeda, serta unsur masyarakat peduli satwa.

|
Editor: Hendra
Bangkapos.com/Erlangga
Nelayan di kawasan Jerambah Gantung, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menemukan buaya yang mati di aliran sungai, Minggu (9/11/2025). Diduga buaya itu sengaja dipancing dan diracun. 

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Lonjakan kasus interaksi negatif antara buaya dan manusia di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mendorong Satuan Tugas Tumbuhan dan Satwa Liar (Satgas TSL) menggelar rapat khusus.

Rapat dilaksanakan di Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Selasa (18/11).

Selain membahas soal konflik buaya, rapat yang berlangsung dua jam tersebut juga menyoroti penyesuaian struktur Satgas dengan UU Nomor 32 Tahun 2024 yang mengubah kewenangan pengelolaan satwa perairan.

Baca juga: Buaya Seruni Dibiarkan Pecah dan Tenggelam, Dua Bangkai Buaya Jerambah Gantung Terabaikan

Satwa perairan, termasuk buaya, kini berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“Dengan aturan baru, KKP akan memiliki kewenangan penuh dalam struktur Satgas. Karena itu perlu segera disesuaikan,” ujar Hassanudin, perwakilan Bidang Pengendalian Lingkungan Hidup DLHK Babel.

Rapat dihadiri sejumlah instansi, antara lain KKP, DKP Babel, BKSDA, ALOBI, BPBD, Bappeda, serta unsur masyarakat peduli satwa.

Baca juga: Hingga September 2025, Sudah 8 Warga Babel Tewas Diterkam Buaya, 6 Orang Mengalami Luka-luka

DLHK menyebut pertemuan ini bersifat strategis mengingat Bangka Belitung kini menjadi provinsi dengan tingkat konflik buaya tertinggi ketiga di Indonesia.

Selama ini, penanganan cepat di lapangan banyak dilakukan BKSDA dan ALOBI karena memiliki personel serta fasilitas teknis yang memadai.

Satgas juga memprioritaskan edukasi masyarakat mengenai kawasan rawan, prosedur keselamatan, serta penempatan buaya hasil evakuasi ke lokasi aman atau penangkaran.

Hassanudin menegaskan meningkatnya interaksi negatif manusia dan buaya disebabkan perubahan habitat akibat aktivitas tambang, pembukaan lahan, dan perubahan badan air menjadi kolong, sehingga buaya bergerak mendekati permukiman.

“Buaya memasuki area aktivitas warga karena ruang hidupnya menyempit,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa seluruh jenis buaya, termasuk buaya muara yang dominan di Babel, merupakan satwa dilindungi.

Temuan bangkai dua buaya di Jerambah Gantung baru-baru ini telah ditindaklanjuti melalui koordinasi dengan BKSDA.

Menurut data ALOBI, konflik buaya terjadi hampir setiap bulan dengan sebaran kasus di Bangka Selatan, Belitung, hingga Pangkalpinang.

Banyak insiden terjadi ketika warga beraktivitas di sungai atau kolong yang tampak aman tetapi ternyata menjadi habitat buaya.

Sumber: bangkapos
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved