Profil Halim Kalla, Tersangka Korupsi PLTU 1 Kalbar, Pengusaha Lulusan USA Adik Eks Wapres JK

Halim Kalla, Direktur PT BRN ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1.

Penulis: Rusaidah | Editor: Rusaidah
Istimewa
TERSANGKA KORUPSI - Halim Kalla Direktur PT BRN yang ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat berkapasitas 2x50 megawatt di Kabupaten Mengkawah.  

Sementara, baterainya menggunakan lithium ion berkapasitas 15,4 kwh.

Erolis mengadopsi bentuk passenger car berukuran mini macam Wuling Air EV.

Erolis menggunakan motor listrik berdaya 4 kw, yang dipadukan dengan baterai lithium ion berkapasitas 7,6 kwh.

Adapun Trolis punya bentuk layaknya motor tiga roda. 

Menggunakan motor listrik berdaya 5 kw, dengan baterai lithium ion berkapasitas 7,6 kwh.

Duduk Perkara

PLTU Kalbar-1 dilelang pada 2008 dengan pendanaan dari PT PLN (Persero), bersumber dari kredit komersial Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA).

Pemenang lelang ditetapkan sebagai konsorsium Kerja Sama Operasi (KSO) BRN, yang dipimpin oleh Halim Kalla.

Namun, konsorsium dinilai tidak memenuhi sejumlah persyaratan prakualifikasi dan teknis. 

Baca juga: Tangis Pecah Istri Praka Zaenal Mutaqim, Hamil 7 Bulan, Suami Gugur Terjun Payung & Kronologinya

Mereka tidak memiliki pengalaman membangun pembangkit tenaga uap minimal 25 MW, tidak menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2007, dan tidak menyampaikan dokumen SIUJKA.

“Penetapan pemenang lelang dilakukan meski konsorsium tidak memenuhi syarat teknis dan administratif. Ini menjadi titik awal rangkaian pelanggaran yang berujung pada kerugian negara,” ujar Irjen Cahyono Wibowo.

Kontrak pekerjaan senilai USD 80 juta dan Rp507 miliar ditandatangani pada 11 Juni 2009 antara RR dan Fahmi Mochtar.

Seluruh pekerjaan kemudian dialihkan kepada pihak ketiga, yakni PT PI dan QJPSE, perusahaan energi asal Tiongkok.

“Seluruh pekerjaan dialihkan ke pihak ketiga tanpa dasar hukum yang jelas. Proyek mangkrak, tapi uang sudah mengalir,” tambah Cahyono.

Pembangunan PLTU gagal dimanfaatkan sejak 2016, meski kontrak telah direvisi sepuluh kali hingga 2018.

Menurut laporan investigatif BPK RI, proyek ini menimbulkan indikasi kerugian negara sebesar USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved