Profil Tokoh
Sosok Fahmi Mochtar, Eks Dirut PLN Era SBY Terjerat Korupsi PLTU Kalbar, Rugikan Negara Rp323,2 M
Fahmi Mochtar Eks Dirut PLN 2008–2009 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terjerat kasus korupsi PLTU Kalimantan Barat.
BANGKAPOS.COM - Fahmi Mochtar Eks Dirut PLN 2008–2009 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terjerat kasus korupsi PLTU Kalimantan Barat.
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri menetapkan empat tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat berkapasitas 2x50 megawatt di Kabupaten Mengkawah, Kalimantan Barat.
Satu diantara tersangka adalah Fahmi Mochtar.
Tiga tersangka lainnya adalah Halim Kalla (Direktur PT BRN), RR (Dirut PT BRN) dan HYL (Dirut PT Praba).
Baca juga: Profil Halim Kalla, Tersangka Korupsi PLTU 1 Kalbar, Pengusaha Lulusan USA Adik Eks Wapres JK
“Proyek PLTU diduga melawan hukum penyalahgunaan wewenang sehingga pekerjaan mengalami kegagalan alias mangkrak sejak 2016,” ujar Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).
Adapun dia ditaksir membuat rugi negara mencapai 62.410.523 dolar AS (62,4 juta dolar AS) serta Rp323.199.898.518 (Rp323,1 miliar).
Sosok Fahmi Mochtar
Fahmi Mochtar dikenal sebagai profesional sektor energi.
Pria kelahiran Plaju Sumatera Selatan, 2 Januari 1957 ini, merupakan jebolan Teknik Elektro ITB 1975.
Dia pernah menjabat Direktur Utama PLN (Perusahaan Listrik Negara) periode 2008–2009 menggantikan Eddie Widiono.

Sebelum jadi Dirut PLN, dia juga pernah menjabat General Manager (GM) PLN Distribusi Jakarta Raya & Tangerang (2003–2008).
Namanya melejit setelah menjabat GM Distribusi PLN, Jawa Timur.
Pada 2010 lalu, Fahmi Mochtar pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi proyek outsourcing Customer Information Service Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI).
Proyek ini berkaitan dengan pembangunan sistem komputerisasi layanan pelanggan.
Kasus PLTU Kalbar
Hari ini 6 Oktober 2025, Kortas Tipikor Bareskrim Polri menetapkan Fahmi Mochtar sebagai tersangka dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalbar (2x50 MW) di Jungkat, Mempawah, Kalimantan Barat.
Proyek ini dimulai sejak 2008 dengan nilai kontrak sekitar Rp1,2 triliun (USD 80 juta + Rp507 miliar).
Diduga terjadi penyalahgunaan wewenang sejak proses lelang, hingga proyek mangkrak sejak 2016 meski kontrak diaddendum 10 kali sampai 2018.
Kerugian negara menurut BPK sekitar USD 62,4 juta + Rp323,2 miliar dengan total sekitar Rp1,3 triliun.
Baca juga: Dua Mister X Muncul, Briptu Rizka Tak Sendiri Habisi Brigadir Esco & Alasan Polisi Rahasiakan Motif
Hingga kini, para tersangka belum ditahan masih dalam proses penyidikan.

PLTU 1 Kalbar berkapasitas 2x50 megawatt di Kabupaten Mengkawah, Kalimantan Barat, dimulai pada 2008 dengan pendanaan dari kredit komersial Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA).
Namun, proyek ini gagal dimanfaatkan sejak 2016 meski telah diaddendum sebanyak 10 kali hingga 2018.
“Proyek PLTU diduga melawan hukum penyalahgunaan wewenang sehingga pekerjaan mengalami kegagalan alias mangkrak sejak 2016,” ujar Cahyono.
Konsorsium KSO BRN ditunjuk sebagai pemenang lelang berdasarkan Surat Persetujuan Direksi PLN Nomor 178 Tahun 2008.
Penyidik menduga terdapat aliran dana dari KSO BRN melalui PT PI kepada sejumlah pihak sebagai bentuk suap dalam pelaksanaan proyek.
Kasus ini awalnya ditangani oleh Polda Kalbar sejak 2021, sebelum dilimpahkan ke Bareskrim Polri pada Mei 2024.
Rugikan Negara Rp323,2 miliar
Bareskrim Polri menetapkan Direktur Utama (Dirut) PLN 2008-2009, Fahmi Mochtar atau FM sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat yang berkekuatan 2x50 megawatt tahun proyek 2008-2018.
Adapun kasus ini merupakan take over dari Polda Kalbar yang telah melakukan penyelidikan sejak tahun 2021 lalu.
Kemudian, kasus korupsi tersebut dilimpahkan ke Bareskrim Polri pada Mei 2024.
Setelah itu, Bareskrim Polri baru menetapkan Fahmi Mochtar sebagai tersangka pada Jumat (3/10/2025).
Baca juga: Profil & Motif Meilanie Buitenzorgy Dosen IPB Berani Kuliti Ijazah Wapres Gibran, PhD Lulusan Sydney
"Kita lakukan penyelidikan hingga November 2024. Kemudian setelah berjalannya kemarin tanggal 3 Oktober 2025 melalui mekanisme gelar terhadap tersangka FM (Fahmi Mochtar), artinya yang bersangkutan Direktur PLN saat itu," kata Kakortastipidkor, Irjen Cahyono Wibowo dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (6/10/2025).
Cahyono menyebut adanya pihak swasta yang turut ditetapkan menjadi tersangka yakni berinisial HK dan RR.
HK merupakan Presiden Direktur (Presdir) PT Bumi Rama Nusantara dan RR adalah Direktur Utama (Dirut) PT Bumi Rama Nusantara.
Kemudian, tersangka lain yang ditetapkan yakni Dirut PT Praba Indo Persada berinisial HYL.
Akibat dugaan korupsi yang dilakukan, negara ditaksir mengalami kerugian mencapai 62.410.523 (62,4 juta) dolar AS serta Rp323.199.898.518 (Rp323,1 miliar).
Adapun kerugian di atas berdasarkan hitung-hitungan yang telah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Cahyono mengungkapkan proyek ini adalah kerjasama antara PLN dengan PT Bumi Rama Nusantara; perusahaan asal Singapura, Alton; serta perusahaan asal Rusia, OJSC.
"Nanti dari tim kami dari Hubinter akan menghubungi pihak-pihak mereka," ujarnya.
Di sisi lain, para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Duduk Perkara
Pada kesempatan yang sama, Direktur Penindakan Kortas Tipikor, Brigjen Totok Suharyanto, menjelaskan duduk perkara kasus korupsi ini.
Totok menuturkan pada tahun 2008, PLN mengadakan proyek PLTU yang berlokasi di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.
Lalu, saat proses lelang, Fahmi Mochtar yang saat itu menjabat sebagai Dirut PLN, melakukan pemufakatan jahat dengan memenangkan PT Bumi Rama Nusantara agar bisa mengerjakan proyek tersebut.
Padahal, kata Totok, perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat.
Baca juga: Moncernya Pendidikan Meilanie, Dosen IPB Sebut Gibran Hanya Lulusan SD, Gelar Doktor dari Australia
"Selanjutnya dalam pelaksanaan lelang, diketahui bahwa panitia pengadaan atas arahan Direktur Utama PLN tersangka FM telah meloloskan KSO BRN, Alton, dan OJSC meski tidak memenuhi syarat teknis administrasi."
"Selain itu diduga kuat bahwa perusahaan Alton OJSC tidak tergabung dalam KSO (Kerja Sama Operasi) yang dibentuk dan dikepalai PT BRN (Bumi Rama Nusantara)," kata Totok.
Totok mengatakan pada tahun 2009, ketika adanya penandatanganan kontrak, KSO BRN telah mengalihkan proyek PLTU ke PT Praba Indo Persada.
Selanjutnya, Dirut PT Praba Indo Persada yang juga tersangka berinisial HYL menjadi pemegang keuangan KSO BRN.
Padahal perusahaan yang dipimpin HYL tidak memiliki kompetensi untuk mengerjakan proyek PLTU tersebut.
Masih di tahun yang sama, Fahmi Mochtar melakukan tanda tangan kontrak dengan RR terkait proyek PLTU dengan total nilai mencapai 80,8 juta dolar AS dan Rp507.424.168 (Rp507,4 miliar).
"Kemudian pada tanggal 24 Juni 2009, dilakukan tanda tangan kontrak oleh tersangka FM selaku Dirut PLN dengan tersangka RR selaku Dirut PT BRN dengan nilai kontrak 80.488.341 USD dan Rp507.424.168 atau total kurs saat itu Rp1,24 triliun saat itu," ujar Totok.
Dalam kontrak tersebut, pengerjaan PLTU Kalbar dilakukan dari 28 Desember 2009-28 Februari 2012.
Namun, hingga akhir kontrak, KSO BRN dan PT Praba Indo Persada tidak mampu menyelesaikan proyek itu meski telah dilakukan 10 kali amandemen.
"Akan tetapi faktanya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,25 persen. Sehingga PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta dolar AS. Itulah yang merupakan total loss," katanya.
Dugaan Aliran Dana Suap
Polri juga mendalami dugaan aliran dana dari konsorsium BRN melalui PT PI kepada sejumlah pihak yang diduga menerima suap.
“Ada beberapa pihak yang menerima aliran uang. Untuk mendalami dan menyempurnakan kami perlu alat bukti tambahan,” ujar Cahyono.
Status Hukum dan Langkah Lanjutan
Kasus ini awalnya ditangani oleh Polda Kalimantan Barat sejak April 2021, lalu diambil alih oleh Bareskrim Polri pada November 2024 karena keterbatasan anggaran dan risiko kerawanan.
Hingga kini, belum ada penahanan terhadap para tersangka. Polri menyatakan masih berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum untuk kelengkapan berkas perkara.
“Kami sudah lakukan pencegahan agar tidak melarikan diri,” tegas Cahyono.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Halim Kalla maupun Fahmi Mochtar.
(Bangkapos.com, Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto, Kompas.com)
Profil Mochtar Riady, Konglomerat Pecat Anak Kandung Tanpa Ampun, Cuma Gegara Lihat Ini di Ruangan |
![]() |
---|
Profil Letjen Bambang Trisnohadi Komandan Upacara HUT ke-80 TNI, Perwira Borong Predikat Terbaik |
![]() |
---|
Profil & Karier Moncer 3 Anak Ahmad Dofiri, Dokter hingga CEO Startup, Tak Ikuti Jejaknya di Polri |
![]() |
---|
Profil Letjen Richard Tampubolon Kasum TNI Turun ke Babel Tertibkan Tambang Timah |
![]() |
---|
Profil dan Harta Irjen Nanang Avinto, Kapolda Jatim Kembalikan Buku Sitaan Aksi Demo, LHKPN Disorot |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.