Ponpes Al Khoziny Sidoarjo Ambruk
Profil Aaron Franklyn, Dokter TNI Siap Mati Saat Amputasi Santri di Runtuhan, Merangkak Celah Puing
Ambruknya bangunan mushala Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur pada Senin (29/9/2025) lalu menyisakan kisah heroik.
Setelah memastikan kondisi pasien, Dokter Aaron lantas keluar untuk kembali berdiskusi dengan tim yang terdiri dari tim dokter senior.
Setelah persiapan matang, tindakan amputasi tangan Nur Ahmad akhirnya dilakukan.
Proses amputasi berjalan sekitar 10 menit.
Nur Ahmad akhirnya berhasil dievakuasi, distabilisasi dan selanjutnya dirujuk ke rumah sakit.
Dokter Aaron bersyukur pasien berhasil dievakuasi, distabilisasi dan selanjutnya dirujuk ke rumah sakit.
"Kita bawa keluar itu less tidak banyak yang darah yang keluar," ungkapnya.
Hal senada disampaikan Dokter Spesialis Ortopedi dan Traumatologi RSUD RT Notopuro Sidoarjo, dr Larona Hydravianto.
Larona mengungkapkan soal keputusan amputasi tangan Ahmad dilakukan langsung di bawah reruntuhan Musala Ponpes Al Khoziny.
Menurut Larona, tindakan itu merupakan upaya penyelamatan nyawa karena kondisi korban terjepit beton.
“Jadi memang ini sesuatu yang sangat berat ya secara pertimbangan. Kita harus melakukan amputasi atau menghilangkan bagian tubuh. Tapi ada prinsip life saving is number one. Nyawa menjadi prioritas pertama dibanding anggota tubuhnya,” kata Larona, Jumat (3/10/2025).
Sebelumnya, Direktur Utama RSUD R.T. Notopuro, Dokter Atok Irawan mengatakan, terpaksa amputasi lengan kiri korban saat proses evakuasi, meski ada pihak keluarga yang protes.
"Sempat yang diamputasi di tempat, keluarga sempat protes, enggak setuju. Ya gimana kalau kondisi darurat, sempat nanya 'Siapa yang mengizinkan?'," kata Atok, di RSUD R.T. Notopuro, Selasa (30/9/2025).
Namun, berkat penjelasan dokter, pihak keluarga pun menerimanya.
Baca juga: Profil Halim Kalla, Tersangka Korupsi PLTU 1 Kalbar, Pengusaha Lulusan USA Adik Eks Wapres JK
"Untungnya dokter kami menjelaskan dengan lembut, dengan sabar, Alhamdulillah bisa menerima. Karena situasinya sempit, ini juga sebenarnya membahayakan jiwa nakes kami," tambahnya.
Selanjutnya, dokter yang bertugas langsung melakukan penanganan pertama setelah proses amputasi. Korban dibawa untuk mendapatkan perawatan di RSUD R.T. Notopuro.
"Jadi tetap pertolongan, (korban) dibius di sana, lukanya (amputasi) ditutup cuma akhirnya dilakukan pembersihan lagi, dijahit ulang sampai pukul 01.30 WIB baru selesai," ucap Atok.
Kisah Santri Tangannya Terpaksa Diamputasi
Sementara itu, Nur Ahmad (16), santri yang menjadi korban ambruknya bangunan musala di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, mengaku tidak mampu melarikan diri setelah sejumlah batu dan beton menimpa tubuhnya.
Diceritakan Nur Ahmad, awalnya ia tidak merasakan tanda-tanda kejanggalan sebelum bangunan tiga lantai ambruk saat salat Asar pada Senin (29/9/2025).
Namun, tiba-tiba Musala Ponpes Al Khoziny runtuh dan menimpa para santri.
"Rakaat kedua kejadiannya. Langsung jatuh betonnya,” kata Ahmad saat dirawat di RSUD RT Notopuro Sidoarjo, Jumat (3/10/2025).
Kondisi itu, menyebabkan lengan kirinya tertimpa beton dan tidak lagi bisa digerakkan.
“Enggak bisa (menyelamatkan diri), langsung kena tangan. Enggak (tahu sebelah ada siapa), enggak melihat mukanya. Jadi waktu ruku, langsung tiarap setelah ada reruntuhan,” ujarnya.
Saat terjebak, Ahmad berusaha bertahan hingga mendengar suara petugas evakuasi.
Ia langsung berteriak meminta tolong hingga dilakukan proses evakuasi.
Kronologi Musala Ponpes Al Khoziny Ambruk
Bangunan musala di Ponpes Al Khoziny itu ambruk pada Senin (29/9/2025) pukul 15.00 WIB. Saat kejadian, para santri Al Khoziny sedang bersiap melaksanakan salat Ashar.
Mulanya, Basarnas turun untuk melakukan evakuasi secara manual.
Namun, pada hari ke-4, Basarnas mulai menggunakan alat berat seperti crane untuk mengangkat puing-puing bangunan.
Kepala Sub Direktorat Pengarahan dan Pengendalian Operasi Bencana dan Kondisi Membahayakan Manusia Basarnas, Emi Freezer, menjelaskan mengapa pihaknya akhirnya mengerahkan alat berat.
Menurutnya, keputusan itu diambil setelah pencarian korban dengan metode manual tidak lagi membuahkan hasil.
Basarnas telah melakukan reassessment sebanyak tiga kali, namun semuanya nihil.
Reassessment dalam konteks ini berarti evaluasi ulang atau pengecekan kembali kondisi reruntuhan untuk memastikan ada atau tidaknya tanda-tanda korban yang masih hidup.
“Kenapa metode search space atau fase pencari penyelamatan ini kita alihkan ke fase pengambilan reruntuhan (dengan crane)? Adalah sudah tiga kali kami melakukan reassessment,” kata Emi dalam konferensi pers, Kamis (2/10/2025).
(Bangkapos.com, TribunJateng.com, TribunJatim.com, Tribunnews.com, Surya.co.id, Kompas.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.