Berita Viral

Awal Mula Bakso Babi di Bantul Viral, Puluhan Tahun Jualan Tanpa Keterangan Non-halal

Awal mula bakso babi di Bantul viral setelah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ngestiharjo memasang spanduk non-halal.

Penulis: Fitri Wahyuni | Editor: Dedy Qurniawan
Kolase: Kanal YouTube Tribunnews Bogor
BAKSO BABI -- Penampakan warung bakso babi yang viral di wilayah Ngestiharjo, Kapanewon Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 
Ringkasan Berita:
  • Warung bakso babi terletak di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
  • Awal mula warung bakso babi di Bantul viral setelah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ngestiharjo memasang spanduk non-halal
  • Pemilik warung bakso berinisial S. Ia telah berjualan bakso keliling kampung sejak 1990-an

 

BANGKAPOS.COM -- Warung bakso babi di Bantul, Yogyakarta, viral lantaran jualan tanpa memasang keterangan non-halal.

Warung bakso babi tersebut beralamat di Desa Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Warung bakso tersebut telah buka sejak puluhan tahun yang lalu, tepatnya pada 1990an.

Namun penjual tak kunjung memasang spanduk bahwa baksonya mengandung babi.

Kini warung bakso babi tersebut menjadi sorotan dan viral.

Lantas bagaimana awal mula bakso babi di Bantul tersebut viral?

Baca juga: Profil Biodata Irjen Pol Viktor Theodorus, Kapolda Babel Pengganti Irjen Hendro, Dilantik Hari Ini

Awal mula bakso babi di Bantul viral setelah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ngestiharjo memasang spanduk non-halal.

Spanduk tersebut kemudian viral di media sosial dan menimbulkan beragam persepsi publik.

DMI Ngestiharjo pun memberikan klarifikasi untuk meluruskan maksud dari pemasangan spanduk itu agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Dilansir dari Tribunnews.com, Sekretaris DMI Ngestiharjo, Akhmad Bukhori, membenarkan bahwa pihaknya memang memasang spanduk di warung tersebut.

Langkah itu dilakukan karena pemilik warung tidak kunjung mencantumkan keterangan bahwa bakso yang dijual berbahan non halal, meski sudah beberapa kali diingatkan oleh perangkat wilayah.

“Cuma dari penjual merasa keberatan atau bagaimana gitu, karena kalau ditulis bakso babi kan pembelinya otomatis berkurang, kan begitu,” kata Bukhori, dikutip dari Tribun Jogja pada Senin (27/10/2025).

Ia mengungkap bahwa DMI telah melayangkan beberapa kali teguran, sementara sang pemilik usaha juga telah mengiyakan untuk memasang tanda secara mandiri.

“Jadi, penjual hanya bilang iya-iya gitu saja. Setelah beberapa kali teguran, penjual hanya memasang tulisan B2 di kertas HVS. Tulisan itu pun kadang dipasang, kadang enggak,” ujarnya. 

Baca juga: Biodata Angbeen Rishi Gugat Cerai Adly Fairuz, Dulu Nikah Tak Direstui, Ortu Dilapor ke Polisi

Menurut Bukhori, pemasangan spanduk dilakukan sebagai langkah akhir agar masyarakat mengetahui produk yang dijual bersifat non-halal.

Bukhori menjelaskan, keputusan itu juga diambil karena banyak konsumen beragama Islam yang makan di warung tersebut tanpa mengetahui bahan bakunya. 

Beberapa pelanggan perempuan yang mengenakan hijab bahkan terlihat makan di sana.

“Beberapa orang yang tinggal di daerah sana ada yang tahu kalau itu bakso memiliki kandungan non-halal. Tapi, kadang orang di sana bisa memberitahu dan kadang tidak bisa memberitahu ke pelanggan,” tuturnya.

Untuk menghindari kesalahpahaman di kemudian hari, DMI akhirnya memasang spanduk “Bakso Babi” disertai logo lembaga mereka di depan warung.

Namun, langkah itu justru membuat publik salah paham terhadap maksud sebenarnya.

Bukhori menjelaskan, setelah spanduk dipasang, beredar video yang membuat publik salah menafsirkan maksud pemasangan tersebut.

Sebagian warganet menilai warung itu memiliki keterkaitan dengan DMI Ngestiharjo, padahal tidak demikian.

“Begitu dipasang, akhir-akhir Oktober ini ada seorang yang membuat video dan viral karena ada logo DMI. (Ada yang berpendapat) itu bakso babi kok ada logo DMI, apakah DMI support atau malah jualan babi? Ternyata ada mispersepsi, jadi viral dan sebagainya,” tutur Bukhori.

Untuk menghindari kesalahpahaman yang lebih luas, DMI Ngestiharjo kemudian mengganti desain spanduk dengan menambahkan logo Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Upaya Klarifikasi DMI dan Penyesuaian Spanduk

Langkah pergantian spanduk dilakukan agar masyarakat lebih mudah memahami konteks sebenarnya, yaitu memberi informasi, bukan promosi atau dukungan.

Bukhori menjelaskan bahwa aturan mengenai pencantuman label non-halal juga sudah diatur dalam perundang-undangan.

“Dan mungkin, kalau satu kampung itu ngerti. Kalau beda padukuhan kan enggak tahu, apalagi masyarakat luas,” katanya.

“Apalagi dalam Pasal 93 dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, telah mengatur tentang kewajiban bagi pelaku usaha untuk mencantumkan keterangan tidak halal pada produk yang berasal dari bahan yang diharamkan,” tutur Bukhori.

Lebih lanjut, Bukhori menambahkan bahwa penjualan bakso babi tersebut sebenarnya sudah lama ada di wilayah mereka.

Pemilik warung diketahui telah berjualan sejak tahun 1990-an dengan cara berkeliling sebelum akhirnya menetap di lapak tetap sekitar sembilan tahun terakhir.

Keberadaan usaha ini pun sudah dikenal warga sekitar, namun baru ramai diperbincangkan setelah kasus spanduk viral di akhir Oktober.

Sosok Penjual Bakso Babi di Bantul

Viral di media sosial warung Bakso di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta dipasang spanduk bertuliskan 'Bakso Babi'.

Pemasangan itu dilakukan lantaran pemilik usaha tak memberikan keterangan nonhalal di warung yang terletak di Kalurahan Ngestiharjo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul itu.

Pemilik warung bakso itu berinisial S. Ia telah berjualan bakso keliling kampung sejak 1990-an.

Kemudian, pada 2016, S membuka lapak di Padukuhan Dukuh IV Cungkuk, Kalurahan Ngestiharjo. Tempat usaha itu disewa S dari warga setempat.

Sementara S tinggal di Cebongan, Kalurahan Ngestiharjo, berjarak sekira 300 meter dari lokasi usahanya.

Yang bersangkutan disebut warga asli Ngestiharjo.

Warga sekitar telah mengetahui S menjual bakso menggunakan bahan nonhalal.

Namun, masyarakat di luar kampung belum mengetahui bakso buatan S mengandung bahan nonhalal.

"Selama ini enggak ada (masyarakat setempat yang menegur pembeli bakso buatan S saat sebelum diberi lebel nonhalal)."

"Apalagi, saya sendiri kan tidak pernah di rumah (jarang di rumah dikarenakan memiliki kesibukan lain).

"Saya sebagai RT di sini jarang di rumah. Kemudian, pantauan saya tidak begitu ketat," kata Ketua RT 4, Padukuhan Dukuh IV Cungkuk, Bambang Handoko saat dijumpai TribunJogja.com, Senin (27/10/2025).

Handoko menyebut, usaha bakso itu dijalankan oleh S dan saudara iparnya.

Sementara istri S telah meninggal dunia beberapa waktu lalu.

Handoko menerangkan, komunikasi S dengan warga setempat terjalin sekadarnya.

S disebut tak pernah kumpul dengan warga setempat. Sehari-hari, S ke warung hanya untuk membuka usahanya. Setelah tutup, S langsung kembali ke kediamannya.

"Kalau bersapa atau saat saya lewat gitu, ya sering sapa dengan mereka. Tapi, ya mereka enggak pernah ke sini. Komunikasi kami tetap baik. Tapi, kalau sama warga setempat malah acuh tak acuh," papar Handoko.

Handoko menambahkan, sebenarnya ia pernah menyampaikan kepada S untuk memasang tulisan nonhalal di warung baksonya agar tak meresahkan masyarakat.

S pun sempat memasang tulisan itu, namun dihilangkan lagi.

"Pernah tulisan nonhalal itu dipasang, tapi dengan tulisan kecil. Terus saya tegur, tulisannya dipasang agak besar. Tulisannya pakai karton gitu," tandas dia.

Kini keengganannya memberi label nonhalal menjadi 'bumerang' untuk usahanya.

Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ngestiharjo akhirnya turun tangan memasang spanduk 'Bakso Babi' di warung S.

Sekjen DM Ngestiharjo, Ahmad Bukhori mengatakan, pemasangan ini dilakukan lantaran masyarakat sudah resah.

"Nah, kami baru masuk pembahasan kepengurusan dan diskusi di organisasi DMI sekitar Desember 2024 atau awal Januari 2025."

"Lalu muncul isu keresahan di wilayah Ngestiharjo ada penjual bakso non halal yang tidak mencantumkan informasi bahwa produk bakso itu nonhalal," kata dia saat dikonfirmasi TribunJogja.com, Senin.

Ahmad menyebut, kebanyakan pelanggan tak mengetahui bakso yang mereka beli di warung S merupakan nonhalal.

"Beberapa orang yang tinggal di daerah sana ada yang tahu kalau itu bakso memiliki kandungan nonhalal."

"Tapi, kadang orang di sana bisa memberitahu dan kadang tidak bisa memberitahu ke pelanggan," ungkap dia.

Dari keresahan yang muncul, DMI Ngestiharjo mengambil sikap melakukan pendekatan.

Pendekatan itu dilakukan sejak awal 2025 melalui dukuh setempat, pihak RT, hingga penjual bakso tersebut.

Dari perangkat pemangku wilayah setempat pun sudah menyarankan agar penjual bakso memberi keterangan nonhalal.

Akan tetapi, pemilik bakso merasa keberatan lantaran takut warungnya menjadi sepi.

"Cuma dari penjual merasa keberatan atau bagaimana gitu, karena kalau ditulis bakso babi kan pembelinya otomatis berkurang. Kan begitu."

"Jadi, penjual hanya bilang iya-iya gitu saja. Setelah beberapa kali teguran, penjual hanya memasang tulisan B2 di kertas HVS. Tulisan itu pun kadang dipasang, kadang enggak," jelasnya.

Akhirnya, DMI Ngestiharjo mengambil sikap untuk memasang spanduk bertuliskan 'Bakso Babi'.

Proses pemasangan dilakukan atas izin pemilik usaha.

"Begitu dipasang, akhir-akhir Oktober ini ada seorang yang membuat video dan viral karena ada logo DMI."

"(Ada yang berpendapat) itu bakso babi kok ada logo DMI, apakah DMI support atau malah jualan babi? Ternyata ada miss persepsi, jadi viral dan sebagainya," tuturnya.

Pemasangan spanduk versi satu dipasang pada Februari 2025 lalu.

Setelah spanduk itu viral pada Oktober 2025, spanduk diganti dengan logo dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan DMI Ngestiharjo pada Jumat (24/10/2025).

(Bangkapos.com/Tribunnews.com/TribunJogja.com/Kompas.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved