KPK Pamer Uang Rampasan dari Ekiawan Heri Primaryanto Terkait Korupsi Investasi Fiktif di PT Taspen

KPK memamerkan uang senilai Rp 300 miliar yang disita dari terpidana Ekiawan Heri Primaryanto.

|
Penulis: Rusaidah | Editor: Rusaidah
KOMPAS.com/BAHARUDIN AL FARISI
UANG RAMPASAN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memamerkan uang hasil rampasan senilai Rp 300 miliar terkait kasus investasi fiktif PT Taspen (Persero) dari tersangka Ekiawan Heri Primaryanto pada Kamis (20/11/2025). 

BANGKAPOS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memamerkan uang sitaan sebanyak Rp 300 miliar dari terpidana kasus korupsi dana PT Taspen di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (20/11/2025).

Kasus korupsi dana tabungan hari tua ASN di Indonesia ini melibatkan dua orang yakni Direktur Utama (Dirut) PT Taspen Antonius Kosasih dan Direktur PT Insight Investment Management, Ekiawan Heri Primaryanto.

Uang yang dipamerkan KPK tersebut adalah sebagian dari uang rampasan dari Ekiawan Heri Primaryanto yang kasusnya sudah inkrah alias berkekuatan hukum tetap.

KPK menyita uang senilai Rp Rp 883 miliar dari terpidana Ekiawan Heri Primaryanto.

Sedangkan dari terpidana Antonius Kosasih sekitar Rp 160 miliar.

Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengungkapan, total kerugian negara dalam kasus investasi fiktif PT Taspen (Persero) senilai Rp 1 triliun.

Kerugian negara tersebut  berdasarkan laporan hasil pemeriksaan investigatif oleh Badan Keuangan Negara (BPK) Republik Indonesia pada 22 April 2025.

“Nah, dari hasil, perhitungan kerugian keuangan negara, diperoleh bahwa kerugian keuangan negaranya yang diderita oleh PT Taspen adalah sejumlah Rp 1 triliun,” ungkap Asep saat jumpa pers, Kamis.

Kendati demikian, KPK hanya menyerahkan uang senilai Rp 883 miliar kepada PT Taspen.

Dana tersebut telah disetorkan pada 20 November 2025 ke rekening giro Tabungan Hari Tua (THT) Taspen di BRI Cabang Veteran, Jakarta. 

Asep menjelaskan, uang senilai lebih dari Rp 883 miliar itu merupakan hasil rampasan dari terdakwa mantan Direktur PT Insight Investment Management, Ekiawan Heri Primaryanto, yang perkaranya kini telah berkekuatan hukum tetap.

Dalam perkara ini, ada terdakwa lain, yakni mantan Direktur Utama PT Taspen, Antonius NS Kosasih.

“Uang yang ada di belakang kami atau di depan rekan-rekan itu khusus untuk perkaranya Pak Ekiawan. Jadi tidak untuk yang Pak ANS,” ujar dia.

“Ya. Jadi Pak ANS ada lagi sekitar Rp 160 (miliar). Jadi kalau dihitung-hitung mungkin ya memang pas Rp 1 triliun, bahkan lebih ya mungkin ya,” sambung dia.

Dalam jumpa pers ini, KPK memamerkan uang Rp 300 miliar yang merupakan bagian dari lebih dari Rp 883 miliar uang rampasan dari Ekiawan Heri Primaryanto. 

Asep menyampaikan bahwa uang yang ditampilkan tidak bisa diperlihatkan seluruhnya karena keterbatasan tempat dan alasan keamanan.

Uang rampasan Rp 300 miliar dari Rp 883 miliar lebih dalam kasus investasi fiktif Taspen yang dipamerkan KPK ternyata adalah uang pinjaman dari bank dan harus dikembalikan lagi sore hari. 

Jaksa Eksekusi KPK, Leo Sukoto Manalu, mengungkapan bahwa lembaganya meminjam uang kepada salah satu bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang lokasinya tidak jauh dari KPK.

Peminjaman uang tersebut untuk keperluan jumpa pers terkait penyerahan uang senilai Rp 883 lebih dari KPK kepada PT Taspen.

“Kita tadi pagi masih bisa komunikasi dengan BNI Mega Kuningan, mohon dipinjami uang Rp 300 miliar. Jadi uang ini kami pinjam dari BNI Mega Kuningan,” ungkap Leo dalam jumpa pers di kantornya, Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (20/11/2025).

Leo memastikan bahwa pengamanan uang dari BNI Mega Kuningan pun berlangsung ketat.

“Jam 16.00 WIB sore, kita akan kembalikan lagi uang ini. Kita juga akan dibantu pengamanan dari kepolisian,” jelas dia.

Siapa Ekiawan Heri Primaryanto?

Sosok Ekiawan Heri Primaryanto jadi sorotan dalam kasus investasi fiktif dana PT Taspen.

Ekiawan adalah seorang profesional. Ia memiliki pengalaman dan karier yang panjang di dunia pasar modal.

Ekiawan mengawali perjalanan kariernya pada tahun 1999 setelah menyelesaikan pendidikan di Universitas Indonesia pada 1997.

Berbagai jabatan diembannya selama berkarier sebagai seorang profesional.

Hingga akhirnya ia terseret kasus korupsi investasi fiktif di PT Taspen.

Ekiawan masih menjabat Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM) saat kasus ini terjadi.

Sebagai Direktur Utama PT Insight Investments Management (IIM), Ekiawan terlibat dalam pengelolaan dana sebesar Rp 1 triliun di PT Taspen.

Pada 14 Januari 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Ekiawan untuk proses hukum lebih lanjut, mengingat posisinya yang strategis dalam perusahaan pengelola investasi.

Mantan Direktur Utama PT Insight Investment Management (PT IIM), Ekiawan Heri Primaryanto, divonis 9 tahun penjara pada perkara korupsi investasi fiktif Rp 1 T PT Taspen.

Adapun vonis itu dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Purwanto S. Abdullah dalam sidang putusan perkara tersebut di PN Tipikor Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025).

"Menyatakan Terdakwa Ekiawan Heri Primaryanto terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan pertama penuntut umum," kata Hakim Purwanto di persidangan.

Atas perbuatannya Ekiawan dihukum pidana penjara dan denda.

"Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 9 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta," putus Hakim Purwanto.

"Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," tambahnya.

Selain itu Ekiawan dihukum membayar uang pengganti sebesar 253,660 dolar AS. 

"Dengan ketentuan apabila terdakwa tidak dapat membayar uang pengganti tersebut paling lama 1 bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap. Maka harta benda terdakwa dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut," putus Hakim Purwanto.

"Dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti. Maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun," jelasnya.

Dalam pertimbangan perberat putusannya, Majelis Hakim menilai Ekiawan telah merugikan dana program tabungan hari tua (THT) yang merupakan iuran dari 4,8 juta ASN yang dipotong langsung dari gaji mereka sebesar 3,25 persen setiap bulan.

"Dana tersebut merupakan jaminan hari tua bagi para ASN yang telah mengabdi kepada negara dengan gaji yang terbatas namun berharap mendapatkan jaminan finansial yang layak di hari tua," jelas Hakim Purwanto.

Pada hari yang sama, eks Direktur Utama PT Taspen, Antonius NS Kosasih, divonis 10 tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan korupsi dalam kasus pengelolaan investasi fiktif. 

“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara,” ujar Hakim Ketua Purwanto S Abdullah saat membacakan amar vonis dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025).

Selain pidana penjara, Kosasih juga divonis untuk membayarkan uang pengganti senilai Rp 29,152 miliar, 127.057 Dollar Amerika Serikat (AS), 283.002 Dollar Singapura, 10.000 Euro, 1.470 Baht Thailand, 30 Poundsterling, 128.000 Yen Jepang, 500 Dollar Hong Kong, dan 1,262 juta Won Korea, serta Rp 2.877.000.

Jika uang pengganti ini tidak dibayarkan dalam waktu satu bulan setelah keputusan berkekuatan hukum tetap, harta dan aset Kosasih akan dirampas untuk negara dan dilelang untuk menutupi kerugian keuangan negara.

“Dan, dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama tiga tahun,” kata Hakim Purwanto.

Dalam pertimbangannya, hakim meyakini perbuatan Kosasih bersama Ekiawan telah memenuhi unsur melawan hukum.

Hal ini terlihat dari beberapa aspek. Mulai dari penunjukkan PT Insight Investment Management (PT IIM) sebagai pengelola yang ditugaskan untuk melakukan investasi reksadana I-Next G2, dilakukan melalui mekanisme penunjukkan langsung tanpa melakukan tender.

Proses penjualan aset PT Taspen berupa sukuk ijarah SIAISA02 dan investasi dana Rp 1 triliun ke reksadana I-Next G2 melalui broker PT IIM, KB Valbury Sekuritas Indonesia, juga dinilai merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak didahului dengan kajian yang memadai.

Hakim menilai keputusan Kosasih untuk membeli reksadana berisiko dan tergesa-gesa.

“Seharusnya terdakwa memilih opsi yang paling aman, yaitu mengikuti proposal perdamaian yang sudah dijamin pengadilan, bukan malah menciptakan risiko baru melalui reksadana yang tidak jelas prospeknya,” kata Hakim Anggota Sunoto saat membacakan pertimbangan.

Perbuatan kedua terdakwa dinilai merugikan keuangan negara hingga Rp 1 triliun.

Untuk melakukan perbuatannya, terdakwa menggunakan modus operandi yang kompleks dan berlapis demi menyamarkan langkah mereka.

Adapun perbuatan para terdakwa juga menurunkan kepercayaan publik, terutama dari para pensiunan aparatur sipil negara (ASN) yang gajinya setiap bulan sudah dipotong untuk dana pensiun.

Hakim menilai perbuatan terdakwa juga melukai 4,8 juta pensiunan ASN yang terdaftar sebagai penerima manfaat Taspen.

Para penerima manfaat ini seharusnya dapat menggunakan dana tabungan mereka untuk membiayai kehidupan di masa tua.

Namun, dana ini justru disalahgunakan dan dikorupsi. 

Kedua terdakwa dinilai terbukti melanggar dakwaan primair JPU sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(Tribunnews.com/Kompas.com)

 

Tags
PT Taspen
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved