KUHAP Terbaru Soal Penyitaan Picu Polemik, DPR Sebut Lebih Ketat, Koalisi Sipil Soroti Subjektif

Pasal penyitaan dalam RUU KUHAP terbaru menuai kritik. Koalisi sipil menilai aturan keadaan mendesak rawan subjektivitas, DPR klaim lebih ketat

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
(KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)
Pemandangan Kompleks DPR/MPR/DPD, di Senayan, Jakarta.(KOMPAS.com/Nabilla Tashandra) 

Ringkasan Berita:
  • RUU KUHAP terbaru kembali menuai polemik.
  • Pasal soal penyitaan dinilai membuka ruang subjektivitas penyidik lewat alasan “keadaan mendesak”,
  • DPR menyebut aturan ini lebih ketat dibanding KUHAP lama.

 

BANGKAPOS.COM--Ketentuan mengenai penyitaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terbaru menuai perdebatan tajam antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP.

Pasal-pasal yang mengatur mekanisme penyitaan dinilai berpotensi membuka ruang penyalahgunaan wewenang, khususnya dalam situasi yang dikategorikan sebagai “keadaan mendesak”.

Dalam draf terbaru, pengaturan penyitaan tercantum antara lain dalam Bagian Keenam tentang Penyitaan.

Pasal 44 menyebutkan bahwa setiap tindakan penyitaan harus didahului dengan penunjukan tanda pengenal dan surat izin penyitaan dari ketua pengadilan negeri kepada pemilik atau pihak yang menguasai barang tersebut.

Selain itu, Pasal 119 mengatur bahwa penyidik wajib mengajukan permohonan izin kepada ketua pengadilan negeri sebelum melakukan penyitaan.

Permohonan tersebut harus memuat informasi rinci mengenai objek yang akan disita, mulai dari jenis, jumlah, nilai, lokasi, hingga alasan penyitaan.

Ketua pengadilan diberi waktu maksimal dua hari untuk meneliti permohonan dan mengeluarkan penetapan persetujuan atau penolakan.

Namun, Pasal 120 membuka pengecualian dalam kondisi mendesak.

Dalam situasi tertentu, penyidik diperbolehkan melakukan penyitaan tanpa izin pengadilan terlebih dahulu, terbatas pada benda bergerak.

Meski demikian, penyidik tetap diwajibkan meminta persetujuan kepada ketua pengadilan negeri paling lambat lima hari kerja setelah penyitaan dilakukan.

Keadaan mendesak yang dimaksud mencakup berbagai kondisi, seperti wilayah yang sulit dijangkau, tertangkap tangan, potensi perusakan atau penghilangan barang bukti, benda yang mudah dipindahkan, hingga adanya ancaman serius terhadap keamanan nasional atau nyawa seseorang.

Bahkan, dalam salah satu poin juga disebutkan bahwa situasi dapat ditentukan berdasarkan “penilaian Penyidik”.

Pasal soal penyitaan dalam KUHP termutakhir itu ada di sejumlah pasal, termasuk pada Bagian Keenam soal Penyitaan. 

Berikut adalah sebagian pasalnya:

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved