Prosesi Langka Mumi Mayat di Papua Berbeda dengan Mumi Mesir Kuno

Suku Anga di Papua Nugini dikenal sebagai suku yang memumikan anggota sukunya ketika meninggal.

Editor: fitriadi
Ulla Lohmann via nationalgeographic.com
Tujuh orang dari keluarga Gemtasu dalam melaksanakan proses mumifikasi. Dalam tahap ini, jenazah ditempatkan di atas api. 

BANGKAPOS.COM - Ketika Ulla Lohman pertama kali bertemu dengan suku Anga di Papua Nugini pada 2003, sesepuh dari suku Anga itu memintanya untuk pergi meninggalkan desa.

Suku Anga tidak terbiasa dengan keberadaan orang asing di desanya, dan mereka juga tidak suka ketika budaya mereka dilihat oleh orang luar.

Suku Anga dikenal sebagai suku yang memumikan anggota sukunya ketika meninggal. Itulah yang menjadi alasan Lohman ingin mengunjungi suku yang berada di dataran tinggi bagian barat Papua Nugini ini.

Baca: Jokowi: Urusan Ahok Kok Malah yang Dituntut Pelengseran Presiden

Baca: Ini Respons Jokowi Tanggapi Maraknya Seruan Bunuh dan Bantai di Medsos

Baca: JK Semprot Fahri di Depan 2.000 Aktivis KAMMI: Jangan Hanya Berpikir Bagaimana Pemerintah Jatuh

Suku ini memiliki sejarah yang panjang di balik proses mumifikasi. Mereka menggantung mumi tinggi-tinggi, seolah-olah orang tua mereka sedang mengawasi prosesi ini.

Saat itu Lohmann ditolak ketika meminta izin kepada anggota suku. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali lagi secara teratur selama satu dekade, demi mendapatkan izin.

Dia hanya ingin mempelajari suku tersebut, melihat bagaimana para anggota suku hidup dan bagaimana mereka ketika menghadapi kematian.

Selama beberapa kunjungan pertamanya, dia mendapat akses tambahan untuk mempelajari budaya suku tersebut.

Setelah menempuh lintasan menuju dataran tinggi, salah satu tetua suku, yang bernama Gemtasu, menceritakan satu hal kepadanya: Ketika ia meninggal, ia ingin dimumikan.

Baca: Lorenzo Sempurna di Valencia Balapan Terakhir bersama Yamaha

Baca: Valentino Rossi Serempet Wanita saat Asyik Selfie

Suku Anga terdiri atas 45.000 orang. Mereka memiliki proses mumifikasi yang jauh berbeda dengan cara Mesir kuno.

Masyarakat Mesir kuno biasanya membongkar tubuh bagian dalam mayat dan kemudian menghilangkan organ, lalu dibungkus dengan sebuah kain.

Sedangkan dalam mumifikasi suku Anga, tubuh mereka didudukkan di atas asap selama tiga bulan. Asap membantu mengawetkan mayat dalam budaya tropis.

Metode mumifikasi terdiri atas struktur yang ketat. Tubuh yang tergantung di atas api, karena menggembung, mayat akan disodok menggunakan tongkat secara lembut guna melebarkan anus.

Tujuannya, untuk mengalirkan cairan dan membantu untuk merontokkan organ di dalam tubuh. Bagian terpenting dari proses ini bertujuan untuk menjaga wajah mayat tersebut tetap utuh.

Baca: Warga Berbondong-bondong Datangi Pohon Nangis di Magelang

Baca: Febri Tewas Bakar Diri di Kamar saat Keluarga Sibuk Persiapkan Pernikahan Saudara Kembarnya

Dalam budaya mereka, satu-satunya cara untuk melestarikan sosok seseorang yang meninggal adalah dengan melihat secara fisik wajah abadinya. “Jika kita memiliki foto, mereka (suku Anga) memiliki mumi,” kata Lohmann.

”Suku Anga percaya bahwa roh-roh akan berkeliaran secara bebas pada siang hari dan kembali ke dalam tubuh mumi mereka pada malam hari. Tanpa melihat wajah mereka, roh-roh tersebut tidak dapat menemukan tubuh mereka sendiri dan berkeliaran selamanya.”

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved