Virus Corona

KISAH 'Manusia Gerobak' saat Pandemi Covid-19, Rongsokan Tak Laku Tunggu Kebaikan Pengguna Jalan

Kesulitan cari kerja di kampung, Tatang (38) pilih jadi manusia gerobak. Tatang merupakan bapak dua anak asal Karawang, Jawa Barat.

TribunJakarta.com/Nur Indah Farrah Audina
Tatang bersama istri dan anaknya menjelang buka puasa saat ditemui di Jalan Raya Jatiwaringin, Pondok Gede, Kota Bekasi, Rabu (29/4/2020) 

"Saya cerita sama saudara saya, penghasilan kecil sementara anak nambah lagi, ada Ikbal sama Alin. Nah dari situ kakak ipar saya nawarin jadi manusia gerobak," katanya.

"Awalnya saya enggak ngerti apaan. Dia jelasin kalau kerjanya jadi pemulung barang bekas pakai gerobak. Bagusnya enggak tidur di situ, kita disiapin bedeng ua semacam rumah ala kadarnya dari pengepul," ungkapnya.

Tawaran tersebut pun diambilnya, sejak tahun 2017,Tatang memboyong keluarganya kecuali Ikbal ke Kota Bekasi. Sementara ia bekerja sebagai pemulung.

"Kalau sekarang sudah jarang yang tidur di gerobak. Sebab rata-rata disediakan rumah sama pengepulnya atau bosnya. Meskipun enggak bagus tapi masih bisa buat tidur. Jadi wajar aja makin banyak jumlahnya tiap tahun," jelasnya.

"Ibarat kata kita enggak sewa rumah di kota orang. Tapi masih bisa cari uang lebih biar kata diawal pasti malu karena jadi pemulung atau disebut orang manusia gerobak," jelasnya.

2 Bulan Rongsokan Tak Laku

Tatang bersama istri dan anaknya menjelang buka puasa saat ditemui di Jalan Raya Jatiwaringin, Pondok Gede, Kota Bekasi, Rabu (29/4/2020)
Tatang bersama istri dan anaknya menjelang buka puasa saat ditemui di Jalan Raya Jatiwaringin, Pondok Gede, Kota Bekasi, Rabu (29/4/2020) (TribunJakarta.com/Nur Indah Farrah Audina)

Selama di Kota Bekasi, Enung membantu ekonomi suaminya dengan menjadi buruh cuci.

Tiap bulan ia diupah sebesar Rp 700 ribu.

Sayangnya, sejak pandemi Covid-19, ia tak menerima gaji full karena bekerja hanya sampai siang.

Sementara sejumlah rumah memberhentikan jasanya dengan alasan mencegah penyebaran atau penularan Covid-19.

Keadaan pun semakin diperparah ketika seluruh barang bekas yang dikumpulkan tak bisa dijual.

"Sudah dua bulan enggak ada pemasukan. Kita sudah enggak nimbangin barang di bos. Sebab banyak pabrik yang biasa daur ulang tutup," katanya.

"Makanya dua bulan terakhir saya pusing mikirin makan sama uang buat anak istri. Padahal biasanya sekali nimbang itu sebulan bisa dapat Rp 600 ribu," lanjutnya.

Untuk itu, saat ini ia bersama Enung memilih untuk mengemper di pinggir jalan dan mengharapkan dapat bantuan sembako dari pengguna jalan.

"Sejak dua bulan saya ubah pola keluar rumah. Biasanya habis subuh sekarang jadi siang sampai sore. Kita begini supaya dapat sembako aja dari orang lewat. Sebab kalau enggak begitu, kita enggak makan," ungkapnya.

"Sebenarnya malu, tapi daripada anak kelaparan mendingan ngemper begini sambil nunggu yang bagi-bagi sembako gratis demi kita makan. Apalagi sekarang banyak manusia gerobak musiman, jadi kitanya benar-benar harus cepat datang ketika ada pengguna jalan yang bagiin sembako," tandasnya. (*)

https://jakarta.tribunnews.com/2020/04/29/cerita-manusia-gerobak-saat-pandemi-covid-19-rongsokan-tak-laku-berharap-dari-pengguna-jalan?page=all

 
Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved