Pemerintah Putuskan Harga Minyak Goreng Naik
Keputusan soal minyak goreng ini setelah pemerintah memperhatikan distribusi dan kenaikan harga komoditas di tingkat global
BANGKAPOS.COM, JAKARTA -
Pemerintah memutuskan menaikkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah, dari sebelumnya Rp 11.500 per liter menjadi Rp 14.000 per liter.
Sedangkan untuk minyak goreng jenis lain yakni kemasan sederhana dan kemasan premium akan mengikuti harga keekonomian dari produk tersebut.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan HET minyak goreng curah Rp11.500 per liter sejak 1 Februari 2022 lalu.
Sedangkan minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter.
Kebijakan menaikkan HET minyak goreng diiringi kebijakan pemerintah memberikan subsidi terhadap minyak goreng.
"Untuk kemasan lain menyesuaikan nilai keekonomian minyak sawit agar tersedia di pasar modern dan tradisional," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, seusai mengikuti rapat kabinet terbatas, Selasa 15/3/2022) dilansir dari Kontan.co.id.
Baca juga: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Perintahkan Seluruh Kapolda Segera Atasi Kelangkaan Minyak Goreng
Dengan begitu, harga minyak goreng kemasan akan mengikuti harga pasar.
Namun, dia tidak menyebutkan apakah HET untuk minyak goreng kemasan akan dicabut atau tidak.
Keputusan soal minyak goreng ini setelah pemerintah memperhatikan situasi penyaluran dan distribusi di lapangan. Termasuk juga memperhatikan situasi global di mana terjadi kenaikan harga-harga komoditas.
Airlangga mengatakan pemerintah memberikan subsidi terhadap minyak goreng.
"Termasuk minyak minyak nabati dan di dalamnya juga termasuk minyak kelapa sawit maka pemerintah akan menyubsidi harga minyak kelapa sawit curah itu (jadi) sebesar Rp 14.000 per liter," kata Airlangga dalam keterangan pers secara virtual pada Selasa.
Dia menjelaskan, subsidi akan diberikan berbasis kepada dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Untuk itu Bapak Kapolri (Jenderal Listyo Sigit Prabowo) akan menjamin ketersediaan dan kelancaran pasokan (minyak goreng)," tambahnya.
Baca juga: Fadli Zon Angkat Bicara, Minyak Goreng Langka Rugikan Jokowi, Copot Saja Menteri Perdagangan
Pada kesempatan yang sama, Kapolri Jenderal Listyo Sigit menjelaskan pihaknya sudah melakukan pengecekan secara langsung di pasar untuk mengetahui mekanisme pasar terkait perkembangan situasi harga minyak goreng. Dia menyatakan, kepolisian siap mengawal kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah sebesar Rp 14.000.
"Kami dari kepolisian siap mengawal sehingga jaminan distribusi dan ketersediaan di pasar betul-betul riil di lapangan," ujar Listyo.
"Kami akan bekerja sama dengan seluruh stakeholder yang ada untuk memastikan minyak curah dan kemasan semua ada di pasar," tambah Sigit.
Distribusi mesti terjamin
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan, seharusnya penerapan subsidi minyak goreng curah dibarengi dengan sistem distribusi yang baik.
Sehingga, subsidi minyak goreng curah tersebut dalam proses penyalurannya bisa tepat sasaran.
Untuk diketahui, pemerintah memutuskan untuk menyubsidi harga minyak goreng curah.
Dengan subsidi tersebut, maka harga minyak goreng curah yang tadinya ditetapkan lewat HET Rp 11.500, naik jadi Rp 14.00 per liter.
"Sampai sejauh mana subsidi diberikan kalau tata laksana sistem distribusinya tidak dilihat secara bai. Negara tidak akan subsidi terus menerus. Jadi sebetulnya subsidi boleh dilakukan tapi dibarengi dengan sistem distribusi yang baik, sehingga bisa sampai masyarakat, tidak salah sasaran," kata pengurus harian YLKI Agus Suyatno saat dihubungi Kompas.com, Selasa (15/3/2022).
Ia pun menjelaskan, kebijakan pemerintah untuk menerapkan HET sebelumnya tak berjalan efektif lantaran pedagang di pasar telah mendapatkan harga beli yang cukup tinggi.
Hal tersebut pun menyebabkan harga minyak goreng curah di pasar lebih tinggi dari HET yang telah ditentukan.
"Di pasar tradisional ada minyak goreng tapi tidak dengan harga HET yang ditentukan pemerintah akrena pedagang belinya sudah mahal. Ini yang kemudian harus ditelusuri lebih jauh, kenapa mereka bisa beli lebih mahal," kata Agus.
HET dinilai tidak efektif
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta menilai kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif mengatasi kenaikan harga minyak goreng.
Sebab kata dia, kebijakan ini berpotensi mendistorsi perdagangan, mengurangi reliabilitas perusahaan Indonesia bagi partner dagang luar negeri dan mengundang retaliasi dari negara lain yang dapat merugikan kepentingan Indonesia di pasar internasional.
Baca juga: Walau Lagi Mahal, Ibu-ibu Jangan Memasak dengan Minyak Goreng Berulang Kali Ya, Ini Bahayanya
Sementara itu, HET merugikan pedagang dan berpotensi memunculkan pasar gelap.
“Kebijakan DMO dan HET berangkat dari asumsi bahwa permasalahan minyak goreng di Indonesia adalah kelangkaan CPO atau crude palm oil yang merupakan input penting di pasar domestik. Kebijakan ini juga berangkat dari asumsi bahwa petani lebih suka ekspor karena harganya lagi tinggi. Ini asumsi yang sangat masuk akal tapi tidak diikuti fakta di lapangan,” ujar Krisna Gupta kepada Kompas.com, Selasa (15/3/2022).
Menurut Krisna, DMO bisa dipakai untuk mengatasi kelangkaan pasokan CPO. Namun saat ini, stok CPO dalam negeri justru berlebih dan minyak goreng tetap saja langka.
“Harga CPO domestik yang naik bisa saja didorong oleh penggunaan CPO yang lain yaitu biodiesel. Selama pengguna CPO untuk biodiesel tidak dipertimbangkan, maka harga domestik pasti akan tetap naik. Pemaksaan penerapan HET justru akan merugikan produsen minyak goreng atau penjual minyak goreng retail dan malah menyebabkan kelangkaan di pasar,” jelas Krisna.
Krisna juga mengatakan, saat ini, BPDPKS masih memberi subsidi biodiesel. Minyak goreng tidak bisa bersaing dengan biodiesel karena biodiesel disubsidi dan penjualan minyak goreng dikenakan HET.
Selain itu, HET minyak goreng dinilai akan membuat pedagang enggan melepas stok minyak goreng ke pasar dan memperbesar terjadinya kelangkaan. HET juga dinilai dapat memunculkan pasar gelap karena selisih harga yang cukup besar antara HET dengan harga jual yang sebenarnya.
“Untuk menghindari CPO diberi ke industri non minyak goreng (spillover), maka akibatnya kewajiban DMO dibuat semakin luas dan mencakup industri turunan CPO yang tidak ada hubungannya dengan minyak goreng," jelasnya.
"Kebijakan DMO tidak akan berpengaruh ke biodiesel karena biodiesel kebanyakan dikonsumsi secara domestik. Kebijakan ini malah dapat berpengaruh ke industri oleokimia yang jadi tidak bisa ekspor juga, padahal produsen oleokimia tidak memproduksi minyak goreng,” sambungnya.
Baca juga: Minyak Goreng Mahal dan Langka, Bolehkah Ganti Pakai Mentega? Ini Kata dr Feni Nugraha
Ia melanjutkan, produksi CPO domestik kemungkinan tidak akan bisa mengikuti kenaikan konsumsi, terutama yang datang dari biodiesel. Ongkos transportasi yang mahal juga membuat implementasi DMO semakin sulit.
Krisna menyatakan, kebijakan ini akan memperparah keadaan jika terjadi kenaikan demand biodiesel, berkurangnya produksi CPO, kekurangan buyer domestik dan besaran ongkos produksi dan logistik yang jumlahnya sudah melebihi HET.
Seperti yang diketahui, Kementerian Perdagangan resmi menaikkan DMO yang sebelumnya hanya 20 persen menjadi 30 persen sebagai salah satu upaya yang dinilai bisa menyelesaikan kelangkaan minyak goreng. (Kontan.co.id/Kompas.com)