Berita Pangkalpinang

Pulihkan Harga TBS Sawit Usai Keran Ekpor CPO Dibuka, Akademisi Sarankan Pemerintah Lakukan Hal Ini

Pemerintah membuka kembali keran ekspor Crude Palm Oil (CPO) pada Senin, (23/5/2022). 

Penulis: Cici Nasya Nita | Editor: nurhayati
Bangkapos.com/Edwardi
Kegiatan panen kelapa sawit di Dusun Bokor Desa Air Duren Kecamatan Pemali. 

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Pemerintah membuka kembali keran ekspor Crude Palm Oil (CPO) pada Senin, (23/5/2022). 

Hal ini disambut gembira para petani sawit, setelah empat pekan mengalami tekanan pendapatan, lantaran harga jual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang rendah bahkan anjlok. 

Sejak adanya pengumuman diperbolehkan ekspor, harga TBS berangsur merangkak dalam kisaran di atas Rp1.900-an dan harga ini terus mengalami trend perbaikan. 

Dosen STIE Pertiba Pangkalpinang, Suhardi, mengatakan perbaikan harga TBS ini pun tentu tidak sekedar membuat lega para petani, Namun tentunya dapat menggairahkan perekonomian. 

"Khususnya bagi sekitar 26 Provinsi yang memiliki lahan perkebunan sawit, dengan diperbolehkannya ekspor ditambah harga komoditas CPO di pasaran dunia juga sedang bagus, tentu akan menambah dana segar yang masuk ke perekonomian dan tentu akan mendorong konsumsi masyarakat dan produksi serta pada akhirnya menggerakkan pertumbuhan ekonomi," jelas Suhardi, Kamis (26/5/2022). 

Baca juga: Terungkap Alasan Pedagang di Arab Saudi Suka Liburan ke Puncak Bogor, Ternyata Karena Hal Ini

Baca juga: PNS Siap-siap Cek Rekening Karena Gaji ke-13 2022 Segera Masuk

Lebih lanjut, dia menyebutkan dari sisi lain, ekspor akan memberikan pemasukan kepada negara dalam bentuk devisa. 

Dengan diperbolehkannya ekspor minyak sawit mentah ini, setidaknya juga dapat menggairahkan perekonomian daerah dari sisi konsumsi. 

"Bagaimanapun sejak pandemi covid-19, perekonomian, khususnya daerah mengalami koreksi yang cukup dalam, dan setidaknya momentum kebangkitan ekonomi ini juga di barengi dengan amunisi atau dana segar yang cukup, agar perekonomian dapat pulih dengan sepenuhnya," ungkap Suhadi.

Menurutnya  dari asosiasi petani sawit bahwa ongkos produksi (HPP) per kilogram yang ditanggung petani mengalami kenaikan yaitu sebesar Rp1.950,00/kilogram, karena selain tenaga kerja dan perawatan, para petani juga mengalami tekanan harga pupuk dan pestisida yang cukup tinggi. 

"Maka idealnya harga sawit harus berada di atas Rp2.000-an atau pulih sekitar harga Rp3.000-an agar petani dapat menutupi biaya produksi dan memperoleh margin keuntungan. Belum dapat dipastikan, sampai berapa lama harga Rp3.000-an akan pulih, walaupun trend harga terus mengalami peningkatan," katanya. 

Hal ini juga sangat tergantung pada perubahan aturan turunan yang akan disusun sebagai konsekuensi diperbolehkan ekspor CPO tersebut. 

Namun setidaknya, sampai pada bulan Agustus 2022, diharapkan harga TBS sawit di tingkat petani dapat mendekati atau melebihi Rp3.000-an. 

Meskipun ekspor diperbolehkan, pemerintah tetap mengawasi dan memantau agar pasokan minyak goreng dalam negeri terpenuhi dan terjangkau," ungkap Suhadi.

Untuk itu  semua pihak termasuk pengusaha atau eksportir dapat menerjemahkan keinginan presiden dan keinginan pasar secara seimbang. 

"Perlu didesak komitmen kenegaraan para pengusaha sawit dan eksportir tidak hanya dalam rangka penyerapan TBS dari petani namun juga komitmen mereka untuk memenuhi pasokan minyak goreng dalam negeri. Pemerintah dari sisi regulasi perlu memperbaiki aturan-aturan yang dapat memayungi semua pemangku kepentingan baik pasar, petani, pengusaha dan pemerintah," jelas Suhadi.

Ia itu tersedianya pasokan minyak goreng dengan harga terjangaku di pasar, terserapnya TBS petani, bagusnya kinerja ekpsor dan bertambahnya devisa negara. 

Baca juga: Ketua MK Resmi Mempersunting Adik Presiden Jokowi, Ini Panggilan Sayang dan Mas Kawin yang Diberikan

Baca juga: Menikah, Inilah Godaan Lucu Ketua MK Anwar Usman ke Idayati Adik Jokowi yang Bikin Panitia Tertawa

Menurut Suhadi, pemerintah mestinya menyadari, adaftif dan solutif, bahwa kelapa sawit selain sebagai komoditas yang banyak ditanam dan menggunakan sumberdaya dalam negeri.

Namun disisi lain sawit sebagai komoditas yang diperdagangkan termasuk dalam perdagangan dalam negeri dan internasional, sehingga pengaturan pemenuhan kebutuhan dalam negeri tidak dapat sepenuhnya diserahkan dengan mekanisme pasar.

Untuk itu menurutnya, namun perlu adanya intervensi, dampaknya ketika harga pasaran internasional melambung tinggi, maka para eksportir cenderung untuk memburu rente dan mengabaikan pemenuhan pasokan dalam negeri. 

"Di sisi lain, tata kelola serta mata rantai produksi dan distribusi di industri minyak goreng cukup panjang, dengan demikian jumlah para pelaku di industri ini cukup banyak. Mata rantai yang panjang tentunya perlu penyederhanaan, agar tidak memunculkan ekonomi biaya tinggi, belum lagi ditambah dugaan pelanggaran dan penyelewengan dalam distribusi, pemerintah sekali lagi perlu tegas dalam aturan hukum dan memberikan sanksi dan memproses pelakunya," saran Suhadi.

(Bangkapos.com/Cici Nasya Nita)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved