Berita Pangkalpinang
Anggota DPR Ini Tak Setuju Wacana Larangan Ekspor Timah : Pemerintah Mesti Paham Pertambangan Timah
Dengan wacana penghentian ekspor timah, timah yang sebagai komoditas Bangka Belitung tentu akan memengaruhi perekonomian daerah.
Penulis: Cici Nasya Nita | Editor: Novita
BANGKAPOS.COM, BANGKA - Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Patijaya menanggapi soal wacana pemerintah untuk menghentikan ekspor timah.
Pria yang kerap disapa BPJ ini, merasa pemerintah harus memahami kondisi soal pertambangan timah sebelum mengambil kebijakan tersebut.
Dengan wacana ini, timah yang sebagai komoditas Bangka Belitung tentu akan memengaruhi perekonomian daerah.
"Ada dua pendapat, pro dan kontra. Ada yang setuju, kalau saya ini masuk tidak setuju dengan pelarangan ekspor. Pengambil kebijakan tidak memahami situasi yang ada pada pertimahan, jadi menggeneralisasi situasi yang mereka lihat pada mineral lain. Itu masalahnya," kata BPJ saat dihubungi Bangkapos.com, Senin (17/10/2022).
Dia menegaskan, perlu dilakukan dan dipahami perbandingan antar mineral seperti timah, nikel dan bauksit.
"Perlu diketahui, apa yang disampaikan oleh Menteri BKPM yang bangga dengan hilirisasi nikel dalam memberi nilai tambah, itu tidak masalah, kita apresiasi, memang harus seperti itu. Ingat, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap nikel, itu betul-betul sangat awal sekali, nikel itu baru tahun 2021 dilarang ekspor," jelasnya.
Dia menilai, pengambil kebijakan tidak paham dengan kondisi yang berada pada pertimahan berbeda dengan mineral lain.
"Bahkan Menteri ESDM pun tidak paham. Dia mengatakan timah masih dalam bentuk raw material, enggak paham. Timah itu diekspor dalam kadar 99,9 persen, sudah terjadi industrialisasi. Yang dimaksud Menteri BKPM, upgrade raw material nikel menjadi feronikel, itu kadarnya 20-45 persen. Ada lagi Matte, itu diproduksi oleh Vale Indonesia, kandungan 75-78 persen," bebeer BPJ.
Untuk timah ini sendiri, tambanya, sejak tahun 2003, sesuai kebijakan pemerintah tidak boleh diekpor dalam bentuk pasir.
"Apa yang terjadi industri nikel, itu sudah dijalani sejak tahun 2003, nikel baru tahun kemarin setop ekspor raw materialnya. Menteri ESDM tidak paham. Di dalam negeri sudah ada hilirisasi, tin chemical, tin solder itu ada, semua industri berkembang tanpa difasilitasi oleh pemerintah tentang perkembangan industrinya," kata BPJ.
Menyikapi ini, Komisi VIII DPR RI akan berusaha melakukan pembahasan dan menyampaikan pehamanan ini kepada pemerintah.
"Para menteri ini kan asal ngomong, ini menurut saya, menggeneralisasi tanpa paham apa yang terjadi. Belum soal (pembahasan soal ini, red). Saya mengusulkan kepada pihak-pihak belum mengerti apa yang ada dipertimahan, jangan menambah kekisruhan," tegasnya.
Menurutnya, soal hilirisasi akan beda lagi pembahasannya bila disandingkan dengan larangan ekspor timah.
"Kalau izin usaha industri, kebijakan regulasi yang ada tentang pertimahan tidak mendukung terjadi hilirisasi, lalu bagaimana pemerintah meminta hilirisasi dengan menyetop ekspor timah?" ucapnya.
"Ketika orang ekspor timah, maka itu mereka mengikuti harga timah dunia, bayar royalti ketika di bursa. Tapi kalau hilirisasi, misal PT Timah ada tin chemical dijual di bursa JFX, dia bayar royalti, untuk kebutuhan timah industri, bayar lagi PPN 11 persen. Bagaimana serapan dari indusri dalam negeri kalau disetop? Apa yang terjadi kemarin pada sektor minyak goreng, jangan terjadi pada pertimahan," kata BPJ.
