Usut Kasus Gagal Ginjal Akut, BPOM Tegaskan Jika Terbukti Itu Kejahatan Kemanusiaan
BPOM menggandeng Bareskrim Polri untuk menyelidiki tindak pelanggaran pidana dalam produksi obat sirop.
BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Kasus gagal ginjal akut yang sudah merenggut 157 jiwa anak Indonesia sedang diusut kepolisian.
Penyelidikan dilakukan untuk menguak kemungkinan adanya
tindak pidana terkait kejahatan pada produk obat yang beredar di masyarakat.
Seperti diberitakan, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan zat kimia berbahaya melebihi ambang batas pada produk obat sirop yang dikonsumsi pasien gagal ginjal akut.
Produksi obat sirop tersebut diduga mengandung zat kimia berbahaya seperti Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
Dua zat kimia ini disinyalir menjadi penyebab merebaknya kasus gagal ginjal akut terutama pada anak-anak.
BPOM telah menggandeng Bareskrim Polri untuk menyelidiki ada atau tidaknya tindak pelanggaran pidana dalam produksi obat sirop yang diduga mengandung zat kimia berbahaya seperti Etilen Glikol dan Dietilen Glikol.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengatakan jika ada tindakan yang berkaitan dengan kejahatan pada produk obat dan makanan, tentunya dianggap sebagai suatu kejahatan kemanusiaan.
Baca juga: Bareskrim Polri Dalami Dugaan Pidana Produksi Obat Sirop Pemicu Gagal Ginjal Akut Pada Anak
Baca juga: UPDATE Daftar 198 Obat Sirup Aman Dikonsumsi Hasil Pengujian BPOM
Hal itu karena kondisi ini berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara luas.
"Kalau dikaitkan dengan kejahatan obat dan makanan itu kami memang melihatnya menjadi bagian dari kejahatan kemanusiaan," ujar Penny, dalam konferensi pers bertajuk 'Hasil Pengawasan BPOM terkait Sirup Obat yang Tidak Menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol dan Gliserin atau Gliserol, Kamis (27/10/2022).
Terlebih jika nantinya ditemukan adanya pelanggaran terkait kadar kandungan berbahaya dalam produk tersebut yang akhirnya menyebabkan seseorang mengalami gagal ginjal akut hingga kematian.
"Apalagi kalau ini dikaitkan dengan apabila nanti terbukti memang pelanggaran dari persyaratan kandungan toxic di dalam produk tersebut ada kaitannya dengan kematian," jelas Penny.
Industri Farmasi
Penny mengatakan bahwa pihaknya memang telah menemukan adanya produk obat sirop yang memiliki kadar kandungan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol dan Gliserin atau Gliserol di atas ambang batas aman.
Perlu diketahui sederet zat tersebut biasa digunakan sebagai zat pelarut tambahan untuk obat-obatan cair seperti obat sirop.
Produk-produk obat sirup yang dibidik ini diantaranya tidak memenuhi persyaratan standarisasi dalam keamanan untuk kandungan obat serta memiliki kandungan zat yang sangat tinggi.
"Ada produk obat yang mempunyai konsentrasi di atas ambang batas persyaratan, itu sudah kita temukan dan itu sudah kami umumkan. Ada 5 produk yang tidak memenuhi persyaratan dan ada 3 produk yang betul-betul sangat tinggi sekali kandungannya," jelas Penny.
Adanya temuan obat sirop dengan kandungan berbahaya yang diduga menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut pada anak inilah yang akhirnya mendorong BPOM untuk menggandeng Bareskrim Polri dalam mengusut ada atau tidaknya unsur pidana yang dilakukan oleh 2 industri farmasi yang bertanggung jawab pada produk-produk tersebut.
"Sehingga ada 2 industri yang kami tindaklanjuti dengan upaya penindakan hukum, kami bekerja sama membentuk tim gabungan dengan Bareskrim Polri sedang menindaklanjuti. Dan ini tentunya akan kami laporkan apabila sudah ada kejelasan yang dikaitkan dengan perkara tersebut," kata Penny.
Sarjana Teknik Lingkungan lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini juga menjelaskan saat ini BPOM sedang melengkapi data terkait komponen obat sirop lainnya yang masuk dalam 102 obat yang dikonsumsi 156 pasien gagal ginjal akut.
"Kita sedang melengkapi dulu data-data apa yang ada di dalam list 102 itu, juga ada komponen produk-produk obat tradisional dan suplemen, vitamin yang cair," jelas Penny.
Sebelumnya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan bahwa masih ada obat sirop yang tidak menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan Gliserin atau Gliserol pada proses produksinya.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Dr M Syahril mengatakan obat ini pun dinyatakan aman 'sepanjang digunakan sesuai aturan pakai'. Selain itu, obat ini juga telah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Jenis obat yang boleh digunakan sesuai dengan rekomendasi Badan POM," kata dr. Syahril, dalam keterangan resminya.
Tenaga kesehatan (nakes) pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) dapat meresepkan 156 obat dengan sediaan obat cair atau sirop.
Hal ini tertuang dalam Surat Plt. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan No. SR.01.05/III/3461/2022 tanggal 18 Oktober 2022, tentang Petunjuk Penggunaan Obat Sediaan Cair/Sirup pada Anak dalam rangka Pencegahan Peningkatan Kasus Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA)/(Atypical Progressive Acute Kidney Injury).
Para nakes ini, kata dia, dapat meresepkan atau memberikan obat dalam bentuk sediaan cair atau sirop berdasarkan pengumuman dari BPOM RI terhadap 133 jenis obat dan 23 merk obat.
Ia juga menyampaikan bahwa tenaga kesehatan dapat pula meresepkan atau memberikan obat yang sulit digantikan dengan sediaan lain, seperti yang tercantum dalam lampiran 2 hingga nantinya diperoleh hasil pengujian dan diumumkan oleh BPOM RI.
Obat yang mengandung zat aktif asam valporat, sidenafil dan kloralhidrat dapat digunakan, namun tentunya harus dengan pengawasan tenaga kesehatan.
"12 merk obat yang mengandung zat aktif asam valporat, sidenafil, dan kloralhidrat dapat digunakan, tentunya pemanfaatannya harus melalui monitoring terapi oleh tenaga kesehatan," jelas dr. Syahril.
Sementara itu untuk apotek dan toko obat dapat menjual bebas atau bebas terbatas obat-obat itu kepada masyarakat.
Untuk meningkatkan pemahaman mengenai obat apa yang aman untuk dikonsumsi anak, ia menegaskan bahwa Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Fasyankes harus melakukan pengawasan dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan penggunaan obat sirup sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pihaknya pun akan terus melakukan update informasi terkini terkait hasil pengujian obat sirup dari BPOM.
"Kementerian kesehatan RI akan mengeluarkan surat pemberitahuan kembali setelah diperoleh hasil pengujian Badan POM RI atas jenis obat obatan sirup lainnya," pungkas Dr Syahril.
Komnas HAM: Harus Ada yang Bertanggung Jawab
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta harus ada pihak yang bertanggung jawab atas kasus gagal ginjal akut pada anak.
Wakil Ketua Komnas HAM, Munafrizal Manan menyebut, kasus yang menelan korban jiwa ratusan anak itu tergolong kejadian luar biasa.
"Karena ini bisa disebut kasus kejadian luar biasa, maka harus ada yang bertanggung jawab atas peristiwa ini," kata Munafrizal, Kamis (27/10/2022) dikutip dari youTube KompasTv.
Pihaknya mendorong setiap pihak yang terlibat atau terindikasi melanggar unsur pidana dalam kasus ini harus bertanggung jawab.
"Kami mendukung dan mendorong pihak yang memenuhi unsur pertanggung jawaban pidana, agar dituntut pertanggung jawabannya," ucap Munafrizal.
Munafrizal mengatakan, pihaknya mendukung arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyarankan agar pasien yang masih dirawat dibebaskan dari biaya perawatan.
"Terutama yang sekarang masih dirawat di rumah sakit agar digratiskan," tuturnya.
Pihaknya juga meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) agar selalu menyampaikan perkembangan kasus kepada publik.
Sebab, menurut Munafrizal hal itu menyangkut hak masyarakat luas.
"Tadi sudah kami sampaikan pada Ibu kepala BPOM untuk selalu menyampaikan update informasi ke publik atas peristiwa ini."
"Kami berharap penyampaian setransparan mungkin dan apa adanya tanpa ditutupi," ujarnya.
Kata Pakar Hukum Soal Pidana
Ramainya kasus gagal ginjal akut pada anak-anak mengakibatkan banyak orangtua waspada. Zat etilen glikol dalam obat sirup dari banyak perusahaan farmasi diduga penyebab penyakit ini.
Lalu, apakah kasus gagal ginjal ini bisa masuk ke dalam ranah hukum?
Pakar Hukum sekaligus Dosen UM Surabaya Satria Unggul Wicaksana mengatakan kasus gagal ginjal pada anak perlu dilihat dalam kacamata hukum, anak yang menjadi korban perlu dilindungi.
“Hal ini sejalan dengan Pasal 1 angka 12 jo. Pasal 4 UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dimana hak anak bagian dari HAM yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, dan pemerintah,” kata Satria dilansir dari laman UM Surabaya.
Satria menjelaskan sisi hukum bagi pelaku usaha produsen dan penyedia obat sirup.
Permasalahan dalam kasus ini adalah produk obat sirup yang diduga mengandung etilen glikol dan detilen glikol.
Kedua zat ini termasuk perusahaan farmasi menjadi detterent effect karena mengakibatkan kasus gagal ginjal.
Ia menyebut, perusahaan farmasi bisa melanggar Pasal 188 ayat (3) jo Pasal 196 UU Kesehatan.
Di dalamnya, tertulis jika setiap orang dengan sengaja memproduksi dan mengedarkan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak penuhi persyaratan keamanan di pidana paling lama 10 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Hal tersebut juga tertuang pada Pasal 8 jo. Pasal 62 UU No.8 tahun 1999 tentang kesehatan.
Pada pasal tersebut, tertulis perihal pertanggungjawaban perusahaan farmasi atas kerugian materiil dan immateril atas kerugian yang terjadi dengan pidana maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp 2 Miliar.
Dalam hal ini Satria memaparkan beberapa solusi bagi kasus gagal ginjal akut anak-anak.
Pertama perlindungan komprehensif dan efektif serta pemulihan bagi korban yang mengalami gagal ginjal akut.
Serta menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dengan melibatkan orang tua, keluarga, dan masyarakat.
Kedua, pemerintah harus menyiapkan substitusi obat cair yang aman bagi kesehatan ginjal anak.
“Terakhir melakukan penyelidikan bagi produsen penyedia obat cair yang diduga mengandung etilen glikol dan detilen glikol,” pungkas Satria.
Menkes: Ini Bukan Penyakit Menular
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB) tidak dirancang untuk penyakit tidak menular.
Oleh karena itu, kasus gangguan gagal ginjal akut misterius (acute kidney injury/AKI) yang ditemukan pada anak belum memenuhi syarat ditetapkan sebagai KLB.
"Ini didesain awalnya untuk penyakit menular, ini (gagal ginjal akut misterius) bukan penyakit menular," kata Budi usai mengelar konferensi pers terkait acara 1st G20 Joint Finance and Health Ministers’ Meeting (JFHMM) di Jimbaran, Badung, Bali, Jumat (28/10/2022).
Budi mengatakan, pihaknya telah mendapat obat penawar untuk mempercepat penanganan penyakit misterius pada anak itu.
Obat penawar yang dimaksud adalah antidotum fomepizole. Obat ini didatangkan dari Singapura sebanyak 30 vial dan Australia 16 vial.
Selanjutnya, pemerintah akan mendatangkan obat serupa dari Jepang sebanyak 100 hingga 200 vial.
Budi mengungkapkan, tujuh dari sepuluh anak yang dirawat di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, karena mengalami gangguan gagal ginjal langsung membaik usai mengonsumsi fomepizole. Sedangkan, tiga di antaranya berangsur membaik.
"Yang penting saya mau sampaikan begini obatnya sudah ditemukan obatnya sudah dites dari 10 orang anak yang kena di RSCM, tujuh itu totally sembuh dan tiga itu tidak memburuk.," kata dia.
Sebelumnya, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, pemerintah sedang mengkaji untuk menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) gangguan ginjal akut misterius (acute kidney injury/AKI).
"Kita ada aturannya (menetapkan KLB), ada kriterianya. Saya kira usulan itu (penetapan KLB) akan direspons oleh pemerintah dan sekarang sedang dikaji, apakah bisa memenuhi syarat standar bahwa ini darurat KLB atau ini baru semacam kejadian biasa," kata Ma'ruf Amin kepada wartawan di Ponpes An Nawawi, Serang. Jumat (28/10/2022).
Update Kasus Gagal Ginjal Akut
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Mohammad Syahril mengatakan per 26 Oktober 2022 tercatat sebanyak 269 kasus gangguan ginjal akut pada anak.
Jumlah kasus gangguan ginjal akut pada anak ini tersebar di 27 provinsi.
Dari kasus yang tercatat tersebut, sebanyak 73 pasien masih dirawat.
Kemudian 39 dinyatakan sembuh, dan 157 pasien meninggal dunia atau punya tingkat fatality rate 58 persen.
"Pada tanggal 26 oktober ini tercatat 269 kasus yang dirawat ada 73 kasus, meninggal 157 kasus berarti 58 persen, dan sembuh 39 kasus," kata Syahril, Kamis (27/10/2022) dilansir Tribunnews.
Namun Syahril menjelaskan dari tambahan 18 kasus sejak 24 Oktober 2022 lalu yang sebanyak 241 kasus, hanya 3 kasus yang benar-benar merupakan kasus baru.
Sedangkan 15 lainnya adalah kasus yang baru dilaporkan yang terjadi sejak akhir September hingga pertengahan Oktober 2022.
(Tribunnews.com/fit/wly/Milani Resti/Danang Triatmojo/Kompas.com/Sandra Desi Caesaria/Yohanes Valdi Seriang Ginta)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20221024-Ilustrasi-Obat-Sirop.jpg)