Pembunuh Hafiza Ditangkap

Soal Hukuman untuk Tersangka Pembunuhan Hafiza yang Masih Dibawah Umur, Ini Kata Akademisi Hukum

Secara prinsip ini yang menjadi lex specialis dari KUHP, karena pelakunya anak-anak. Jadi punishment setengah dari maksimum pidana orang

Penulis: Rizki Irianda Pahlevy | Editor: Iwan Satriawan
Dok/Ndaru Satrio
Dosen Hukum Univeristas Bangka Belitung (UBB), Ndaru Satrio 

BANGKAPOS.COM,BANGKA- Akademisi Dosen Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB), Ndaru Satrio membeberkan AC yang masih berusia 17 tahun atau dibawah umur secara regulasi untuk ancaman hukumannya maksimal 10 tahun penjara. 

Hal ini pun diungkapkan Ndari Satrio merujuk Undang-undang nomor 11 tahun 2012, tentang sistem peradilan pidana anak. 

"Secara prinsip ini yang menjadi lex specialis dari KUHP, karena pelakunya anak-anak. Jadi punishment setengah dari maksimum pidana orang dewasa, jadi kita paham perlakuan ini berbeda dengan orang dewasa," ujar Ndaru Satria. 

Selain itu Ndaru juga mengatakan dari sisi hukum pidana, dalam kasus AC yang diduga membunuh Hafizah yang juga masih berusia 8 tahun dipastikan tidak dapat dilakukan diversi. 

"Karena ancaman sanksinya lebih dari 7 tahun, saya pikir untuk tindak pidana ini tidak bisa dilakukan diversi, karena diversi ada persyaratannya yakni ancamannya dibawah tujuh tahun atau bukan residivis," jelasnya. 

Lebih lanjut untuk pertanggungjawaban pidana kepada anak pelaku tindak pidana, diungkapkan Ndaru Satrio memang tidak bisa sembarangan.

Pemberian pertanggungjawaban pidana, harus memperhatikan asas kepentingan terbaik bagi anak. 

"Memang dengan perkembangan teknologi, tidak menutup kemungkinan anak lebih cepat belajar segala hal, baik itu belajar tentang sesuatu yang baik maupun belajar terkait sesuatu yang tidak baik atau dengan kata lain anak lebih cepat dewasa," ucapnya. 

Ndaru Satrio berharap untuk kasus Hafiza penyidik harus melihat fakta secara utuh dari terjadinya tindak pidana, apakah terdapat tekanan atau dorongan tertentu dalam melakukan tindak pidana tersebut.

"Bahkan perlu adanya bantuan dari ilmu pengetahuan lain selain ilmu hukum, untuk menelaah bahwa mengapa terjadi hal yang demikian. Misalnya psikologi hukum masuk untuk melihat, adakah gangguan kejiwaan yang dimiliki oleh si pelaku atau tidak," ungkapnya. (Bangkapos.com/Rizky Irianda Pahlevy). 

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved