Ramadan 2023

Epistemologi dan Aksiologi Puasa bagi Orang Beriman

Ramadan hanya dirindukan oleh orang-orang yang beriman karena bulan tersebut sarat dengan kemuliaan dan keagungan serta penuh rahmat

Penulis: Cici Nasya Nita | Editor: khamelia
IST
KH Ahmad Ja’far Shidik 

Epistemologi dan Aksiologi Puasa bagi Orang Beriman

Oleh Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Hidayatussalikin, KH Ahmad Ja’far Shidik

LANDASAN teologis ihwal kewajiban berpuasa bagi umat Islam tercandrakan dalam surah Al-Baqarah ayat 183 “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Az-Zuhaili (2005) menandaskan bahwa dalam surah Al-Baqarah ayat 183 Allah mewajibkan puasa kepada orang-orang orang-orang beriman. 

Dia menyeru mereka dengan atribut iman yang menuntut untuk melaksanakan puasa di bulan Ramadan. 

Pernyataan tersebut mencandrakan bahwa ramadan hanya dirindukan oleh orang-orang yang beriman karena bulan tersebut sarat dengan kemuliaan dan keagungan serta penuh rahmat dan berkah bila kita melaksanakan perintah Allah di antaranya berpuasa.

Sesungguhnya epistemologi ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab mendapatkan ampunan dosa, pelipatgandaan kebaikan, dan pengangkatan derajat dari Allah SWT. Bahkan, Allah SWT telah menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya dari amal-amal ibadah lainnya. 

Hal ini dipertegas dengan hadis riwayat Imam Bukhari, Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. 

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. 

Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi. 

Secara substansi, hadis qudsi tersebut ingin menyampaikan bahwa ibadah puasa memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah SWT.

Oleh karena itu, ibadah puasa dipilih langsung oleh Allah sebagai milik-Nya. Sebab, orang yang berpuasa itu tidak melakukan sesuatu, kecuali meninggalkan syahwatnya (kesenangan nafsunya). 

Dengan puasa, ia meninggalkan hal-hal yang dicintainya, semata hanya karena cintanya kepada Allah. Selain itu, puasa di bulan ramadan mampu memupuk jiwa rasa takut kepada Allah SWT pada saat sepi dan ramai, sebab tidak ada yang mengawasi orang yang berpuasa kecuali Tuhannya. 

Kalau ia merasa amat lapar atau haus dan ia mencium aroma makanan yang lezat atau melihat air yang jernih menggiurkan, namun ia tidak mau menyentuh perkara yang membatalkan puasanya itu karena dorongan imannya dan takutnya kepada Tuhannya, maka ia telah mengejawantahkan makna takut kepada Allah.

Namun, ihwal penting puasa di bulan ramadan tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus. sebab jika hanya menahan lapar dan haus semata, maka seseorang hanya akan terjebak pada aspek dimensi fisik belaka. Padahal, para peneliti memadahkan bahwa puasa merupakan salah satu ibadah wajib yang meliputi dimensi fisik, psikologis, dan spritual secara simultan. Bahkan, esensi puasa itu sendiri bisa dipahami di antaranya sebagai integrasi dari nilai-nilai spiritual, moral, psikologis, dan sosial.

Ihwal puasa sebagai dimensi sosial setakat ini menjadi persoalan yang harus diaktualiasasikan dalam kehidupan sehari-hari secara kontinu, apalagi sekarang Indonesia menuju pemulihan pasca pandemi dan terus-menerus dilanda bencana alam, gempa, banjir, longsor, dan lain-lain.

Sekaitan dengan hal tersebut, secara aksiologis, puasa di bulan Ramadhan memiliki tiga pokok. 

Pertama, puasa mengajarkan kita agar memiliki sikap kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial sekitar. 

Kedua, puasa Ramadhan mengajarkan kita untuk merajut hubungan antara kesalehan pribadi dengan kesalehan sosial atau kelompok. 

Ketiga, memungkinkan lahirnya jiwa keagamaan yang inovatif, kreatif, dan efisien.

Nasri (2020) memadahkan bahwa puasa seyogianya memunculkan perasaan yang peka dan melahirkan rasa kasih sayang yang mendorong seseorang untuk memberi kepada sesama yang membutuhkan. 

Dimensi sosial puasa dapat dilihat dari ikatan kemanusiaan yang dilakukan oleh umat Islam dalam kehidupan sosial masyarakat. Selama bulan puasa, orang kaya secara langsung atau tidak langsung mengalami apa yang dirasakan orang-orang miskin. Hal tersebut mencandrakan bentuk pelatihan kepekaan sosial secara imani.

Karena itulah spirit puasa di bulan ramadan harus terus-menerus kita hidupkan,“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no.38 & Muslim No. 860). Prakarsa dalam memperoleh karunia ini, puasa ramadan yang kita lakukan hendaknya didasari dengan iman dan hanya mengharap rida Allah SWT.

Bangkapos.com/Cici Nasya Nita

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved