Berita Pangkalpinang

Kesulitan Bayar Wisuda Rela Pinjam, Prof Ibrahim: Jika Dibiarkan Tren Ini Menjalar dan Sulit Tertata

Jika dibiarkan, tren ini akan menjalar dan akan sulit ditata. Seingat saya dulu hanya 1 atau 2 sekolah, itupun masih pakai kebaya dan jas

|
Penulis: Khamelia CC | Editor: khamelia
Bangkapos.com/Sela Agustika
Rektor Universitas Bangka Belitung, Prof Ibrahim 

"Keinginan untuk mengangkat sakralitas kelulusan oleh manajemen sekolah agar terlihat wah, keinginan sebagian kecil orangtua di beberapa sekolah untuk membuat ritus lebih besar, dan tentu juga gengsi antar sekolah.

Terakhir mungkin sisi market dari beberapa penyedia fasilitas wisuda yang mulai aktif menawarkan jasa," ujar Ibrahim, Senin (19/6/2023).

Dia menyebutkan dari sisi konten, sebenarnya sah-sah saja karena wisuda dan toga memang identik dengan upacara kelulusan, tak soal di jenjang mana. Tak ada larangan, apalagi jika dilakukan berdasarkan keinginan bersama.

"Upacara wisuda dan toganya identik dengan perayaan kelulusan. Soal dianggap mendegradasi esensi wisuda sarjana, saya kira itu tidak terlalu urgen.

Di kampus pun, wisuda bukan kewajiban. Mahasiswa yang telah diyudisium (dinyatakan lulus) boleh wisuda boleh tidak, ijasah menjadi haknya.

Bahkan, saat ini upacara wisuda di perguruan tinggi sudah mulai banyak disederhanakan. Di beberapa kampus luar negeri, bahkan ijasah dikirim ke alamat rumah masing-masing setelah dinyatakan lulus secara akademik dan administratif," jelasnya.

Menurutnya, secara psikologis, wisuda yang banyak digelar di kalangan sekolah adalah simbol keberhasilan, utamanya orangtua.

"Maka yang antusias umumnya orangtua. Anak-anak yang diwisuda tampaknya belum begitu paham hakikatnya, karena perjuangan soal drama skripsi tidak ada sehingga bagi siswa sendiri wisuda kurang ‘hore’.

Saya lebih melihatnya sebagai simbol kebahagiaan (sementara) orang tua. Agak naif memang jika pada pendidikan dasar semangat  wisuda, lalu justru anak tidak didorong kuliah dan ikut wisuda sesungguhnya," katanya.

Sementara menurut Ibrahim, wisuda di pendidikan menengah ke bawah adalah simulasi.

"Semacam gladi resik saja dari sebuah prosesi wisuda sesungguhnya. Ia tidak akan mampu menggantikan makna wisuda di bangku kuliah yang dengannya lalu seorang lulusan mendapatkan gelar, dilantik sebagai ilmuwan dan cendekia muda beserta atribut kehormatan dibaliknya, lalu bekerja dan kemudian menduduki posisi istimewa. Sampai disini, tak ada masalah," katanya.

Namun dia tak menampik akan menjadi masalah ketika wisuda digelar dengan ritual yang mahal. Ada toga, Gordon, ijasah, dan biaya sewa ruangan yang harus ditanggung. Belum lagi konsumsinya.

"Betul ini mendorong kebangkitan ekonomi karena ada penjahit, catering, dan balai pertemuan yang bersuka cita di momen kelulusan. Tapi ketika orangtua yang sebenarnya tidak siap harus menyesuaikan diri, disini empati kita harusnya muncul. Tak heran banyak ibu-ibu mengeluh meski banyak juga yang antusias mengantarkan anaknya wisuda lebih cepat," katanya.

Maka dia menekankan harus ada penegasan dari pihak berwenang untuk mengatur soal ini.

"Jika dibiarkan, tren ini akan menjalar dan akan sulit ditata. Seingat saya dulu hanya 1 atau 2 sekolah, itupun masih pakai kebaya dan jas. Ntah mengapa tiba-tiba berubah menjadi wah, barangkali sebentar lagi pun akan ada prosesi senat dan gending di dalamnya.

Sumber: bangkapos.com
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved