Berita Pangkalpinang

34 Desa di Babel Rawan Air, Sumur Kering Warga di Pangkalpinang Ini Terpaksa Nyuci Baju di Sungai

Sungai kini menjadi andalan warga di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk mendapatkan air di saat-saat musim kemarau seperti saat ini. 

Penulis: Nurhayati CC | Editor: M Zulkodri
Bangkapos.com/Andini Dwi Hasanah
Suasana sungai didalam gang Hj Saleh IV, Jalan Depati Hamzah, Air Itam Pangkalpinang, Selasa (22/8/2023). 

Sebelumnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bangka Belitung sudah mendata desa-desa di Bangka Belitung yang rawan kekeringan saat musim kemarau. 

Hal ini disampaikan Kepala BPBD Bangka Belitung, Mikron Antariksa, Rabu (2/8/2023).

“Saat ini musim kemarau hanya saja posisinya ada hujan dikarenakan pengaruh siklon tropis. Kami telah menginventarisasi desa-desa terawan air dan sudah kita teruskan ke kabupaten untuk diantisipasi,” ungkap Mikron.

Pihaknya mendata, dari total 309 desa, ada sekitar 34 merupakan desa rawan air. 

“Desa rawan air rata-rata tidak memiliki sumber air. Di tujuh kabupaten/kota terdapat desa rawan air. Misalnya di Bangka Barat ada 12 desa yang rawan air, Bangka Tengah ada 7 desa rawan air,” katanya.

Menurutnya, upaya antisipasi dengan mendekatkan air-air embung, menyiapkan mobil tangki dan juga menyiapkan tempat penampungan air di desa-desa rawan air tersebut. 

“Sementara itu, sama dengan kebakaran hutan kita pantau dari titik hotspot yang dikeluarkan oleh BMKG yang mana 1 hari keluar 5 sampai 10 titik. Dan setelah dicek memang rata-rata bukan kebakaran tapi pantulan panas dari pasir, laut, atau air. Musim kemarau ini ada 2 bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan dan kekeringan,” jelasnya.

Diketahui, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bangka Belitung juga menerima laporan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). 

Dalam sehari BPBD Babel selalu melakukan pengawasan di beberapa titik hotspot.

“Titik hotspot per hari rata-rata 7 titik yang kita terima dan harus kita pantau. 

Mayoritas di Bangka Barat,” ujar Kepala BPBD Bangka Belitung, Mikron Antariksa, Selasa (1/8).

Diakuinya, cakupan bermuara dari titik hotspot yang dikirimkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). 

“Dari titik hotspot tersebut kita mengecek lapangan untuk melihat titik hotspot tersebut kebakaran atau bukan. Memang dari rata-rata laporan dari masyarakat peduli api sekitar 70 persen kebakaran, 30 persen karena titik panas yang lain. Nah itu semua akibat dari pembakaran lahan dalam upaya pembukaan lahan. Yang paling murah itu adalah membuka lahan dengan membakar sehingga masyarakat melakukan pembakaran,” jelas Mikron.

Ia berharap, masyarakat agar tak membuka lahan dengan cara membakar, jika pun melakukan diharap untuk dikendalikan.

“Memang budaya masyarakat kita membuka lahan saat kemarau karena mudah membakar, kemudian setelah membakar dapat humus, kemudian tanam padi, kemudian dari tanam padi dia menanam dengan holtikultura oalawija dan segala macem. Tapi kami juga mengingatkan kepada masyarakat yangbmembakar untuk mengendalikan apinya dan pembakaran terkendali,” katanya.

Sumber: bangkapos.com
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved