Berita Pangkalpinang

Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Meningkat, Psikolog Jelaskan Ini Faktor Penyebabnya

DP3AKB Kota Pangkalpinang menduga jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan akan lebih besar karena ada yang tidak melapor

Penulis: Andini Dwi Hasanah | Editor: Hendra
bangkapos.com/Sela Agustika
Dosen prodi psikologi IAIN SAS Babel, Wahyu kurniawan 

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Pangkalpinang pada tahun 2023 terjadi sebanyak 89 kasus.

Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut disampaikan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Pangkalpinang.

Bahkan DP3AKB Kota Pangkalpinang menduga jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan akan lebih besar karena ada yang tidak melapor.

Baca juga: Tahun 2023 Ada 89 Perempuan dan Anak Alami Kekerasan, DP3AKB Pangkalpinang Yakin Banyak Tak Melapor

Dosen Psikologi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung, Wahyu Kurniawan menyebut, rentang kekerasan terhadap anak dan perempuan tentunya mengalami peningkatan yang tinggi. 

Hal ini pula, kata Wahyu, dipastikan banyak yang mengalami korban tidak melaporakan kejadian itu. 

"Kekerasan terhadap anak dan perempuan mungkin saja di terjemahkan sebagian hanya berujung pada fisik, seksual belaka. dan banyak kekerasan yang seperti verbal, ekonomi tidak begitu menjadi perhatian," sebut Wahyu kepada Bangkapos.com, Selasa (23/4/2024).

Wahyu memaparkan, merujuk pada bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak diatur dalam UUD sendiri pada Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004 (UU PKDRT) disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara atau bentuk kekerasan berikut, lekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran rumah tangga. 

Diakuinya, banyak faktor penyebab kekerasan pada perempuan dan anak. Pertama mengenai budaya patriarki yang menganggap bahwa lelaki penguasa, mempunyai power disegala lini keluarga, ekonomi, cara berpikir tentang membina keluarga harus dengan kekerasan, masalah dengan kesehatan mental yang rendah, kesadaran yang kurang atas dampak kekerasan itu sendiri.

"Dari sisi lain boleh jadi pula di karenakan teknologi hari ini yang memudahkan seseorang menjalani hubungan dengan yang lain yang mengakibatkan kecemburuan yang lebih, hal ini di buktikan dibeberapa kasus misalkan," terangnya.

Dia menyebut, berbagai upaya yang bisa dilakukan pertama mengedukasi kepada pasangan muda, pasangan yang penuh akan resiko KDRT untuk mendapatkan pelatihan akan bentuk dan bahaya KDRT, konseling keluarga pasca pernikahan, membangun kesadaran masyarakat harus peduli tentang KDRT sehingga ketika ada hal tersebut masyarakat bisa andil dalam memediasi kasus. 

"Menjelaskan kepada masyarakat tentang SOP jika ditemukan kasus KDRT, sehingga masyarakat pun tidak merasa takut jika ada masalah tersebut. Hal lain pula perlu adanya pembinaan pemberdayaan perempuan sehingga bisa mandiri secara ekonomi sehingga perempuan berdaya dan tidak menjadi objek kekerasan tersebut," pungkasnya.

(Bangkapos.com/Andini Dwi Hasanah)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved