Tapera

Buruh Siapkan Aksi Besar Tolak Potong Gaji Untuk Tapera

KSPI dan Partai Buruh menolak kebijakan pemerintah Jokowi soal pemotongan upah buruh untuk Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.

Editor: fitriadi
DYLAN APRIALDO RACHMAN/KOMPAS.com
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal 

BANGKAPOS.COM, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak kebijakan pemerintah Jokowi soal pemotongan upah buruh untuk Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.

KSPI menilai program pemerintah terebut tidak tepat.

Penolakan terhadap program Tapera untuk buruh juga disuarakan oleh Partai Buruh.

Partai Buruh dan KSPI menolak program Tapera dijalankan saat ini karena akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh, PNS, TNI, Polri dan peserta Tapera.

"Partai Buruh dan KSPI sedang mempersiapkan aksi besar-besaran untuk menolak Tapera, Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan program KRIS dalam jaminan kesehatan yang kesemuanya membebani rakyat," kata
Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI, Said Iqbal dalam keterangannya, Rabu (29/5/2024)

Presiden Partai Buruh yang juga Presiden KSPI, Said Iqbal, menyampaikan di dalam UUD 1945, negara diperintahkan untuk menyiapkan dan menyediakan perumahan sebagai hak rakyat.

Karena rumah adalah hak rakyat, maka prinsipnya, kewajiban negara untuk menyediakannya. Hal ini juga masuk dalam 13 Platform Partai Buruh, di mana jaminan perumahan adalah jaminan sosial yang akan diperjuangkan.

“Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera,” ujar Said.

Menurut Said Iqbal, setidaknya ada beberapa alasan mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini.

Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.

“Secara akal sehat dan perhitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi buruh untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tegasnya.

Sekarang ini, upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp 3,5 juta per bulan. Bila dipotong 3 persen per bulan maka iurannya adalah sekitar Rp 105.000 per bulan atau Rp 1.260.000 per tahun. Karena Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000.

“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga Rp 12,6 juta atau Rp 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah.

“Jadi dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” ujar Said Iqbal.

Alasan kedua mengapa Tapera tidak tepat dijalankan saat ini adalah, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30 persen.

Sumber: Tribunnews
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved