Resonansi

Turun Kelas

8,5 juta jiwa kelas menengah turun kelas ke kelompok calon kelas menengah dan rentan.

Penulis: Ade Mayasanto | Editor: fitriadi
Bangkapos.com
Ade Mayasanto Editor In Chief Bangka Pos dan Pos Belitung 

Ade Mayasanto, S.Pd., M.M.
Editor in Chief 
Bangka Pos/Pos Belitung


Pekik naik kelas diam-diam meredup. Lima tahun terakhir, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia justru jungkir balik.

Data Susenas Badan Pusat Statistik (BPS), semula kelas menengah di Indonesia sebanyak 60 juta jiwa atau setara 23 persen dari total populasi pada 2018.

Terkini, data jumlah penduduk kelas menengah di Tanah Air menjadi 52 juta jiwa atau setara 18,8 persen dari total populasi pada 2023.

Itu berarti, sebanyak 8,5 juta jiwa kelas menengah turun kelas ke kelompok calon kelas menengah dan rentan.

Catatan BPS lainnya, laju kenaikan kelas menengah mulai tersendat setelah 2018.

Uniknya, kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah tersebut juga mengalami penurunan tingkat pertumbuhan pengeluaran per kapita terparah di antara kelas ekonomi lainnya.

Padahal, saat ini lebih dari separuh populasi Indonesia termasuk kategori calon kelas menengah.

Kontribusi calon kelas menengah dan kelas menengah mencakup 72.2 persen dari total populasi Indonesia, dan berkontribusi terhadap 82,3 persen konsumsi rumah tangga nasional.

Penurunan daya beli kelas menengah itu dipicu pandemic Covid-19.

Namun, analisa lain menyebut bahwa kelas menengah Indonesia cenderung rentan turun kelas lantaran memiliki pekerjaan yang tidak layak, upah rendah dan tak ada kepastiaan masa kerja.

Pada tahun 2023, sebesar 72,4 persen dari pekerja kelas menengah bekerja di sektor dengan produktivitas rendah, umumnya di sektor jasa yang bernilai tambah rendah.

Serupa, 72,3 persen dari pekerja calon kelas menengah bekerja di sektor berproduktivitas rendah, yakni pertanian dan sektor jasa bernilai tambah rendah.

Mirisnya, pemerintah masih minim kebijakan untuk kelas menengah. Kebijakan pemerintah lebih banyak memperhatikan masyarakat miskin, seperti bansos atau lebih banyak menguntungkan masyarakat kelas atas.

Bak gayung bersambut. Dampak melambatnya kelas menengah ini menggerus pertumbuhan ekonomi nasional selama tiga triwulan atau Sembilan bulan terakhir, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh di Bawah lima persen.

Pada triwulan IV-2023 (Oktober-Desember), konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,47 persen.

Pada triwulan I-2024 (Januari-Maret), konsumsi tumbuh 4,91 persen.

Terakhir, konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,93 persen pada triwulan II-2024 (April-Juni).

Momentum ramadan, Idul Fitri, liburan sekolah hingga pemilu seolah tak berdaya untuk mengerek naik kelas menengah di Indonesia.

Bahkan, banyak pengamat menyebut kelas menengah ini akan berhadapan pada masa tak enak kembali. Sebabnya, dari sisi lapangan usaha, industri manufaktur juga mengalami perlambatan pada triwulan III.

Pada Juli 2024, Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers’ Index/PMI) Manufaktur yang dirilis oleh lembaga S&P Global menunjukkan, performa industri manufaktur Indonesia telah masuk ke zona kontraksi di level 49,3.

Ini performa terendah dalam tiga tahun terakhir.

Sebelumnya, selama 34 bulan berturut-turut, PMI Manufaktur RI ada di zona ekspansif.

Kondisi ini tidak bisa diremehkan. Sebab, dilihat dari kontribusinya, industri pengolahan memiliki peran terbesar di antara lapangan usaha lainnya.

Distribusi industri manufaktur terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai 18,52 persen, di atas sektor andalan lain seperti pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan.

Hal lain yang bisa menjadi ancaman adalah pertumbuhan ekonomi China yang pada triwulan II-2024 yang saat ini sudah di bawah 5 persen.

Pelemahan ekonomi China akan berdampak pada permintaan ekspor Indonesia sehingga menurunkan kinerja industri pengolahan.

Kondisi itu bakal membaik bila Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve memangkas suku bunga acuan Fed Fund Rate atau FFR pada September 2024.

Pemangkasan suku bunga acuan The Fed yang lebih cepat itu akan menjadi stimulus positif bagi perusahaan manufaktur.

Sebab, ada indikasi rupiah menguat dan suku bunga kredit menurun menyusul kebijakan moneter The Fed yang lebih longgar. Itu bisa membantu meringankan beban biaya produksi industri manufaktur.

Itu bila The Fed berbaik langkah. Bila tidak, perlu antisipasi pemerintah dalam Waktu dekat.

Pasalnya, bila tidak diantisipasi, keresahan ekonomi yang mulai terbiasa berlangsung di kelas menengah bisa berkembang menjadi krisis sosial, bahkan memicu terjadi konflik

Lihat saja keresahan di Chile atau Gerakan protes di Perancis dalam aksi Yellow Vest-nya.

Namun demikian, kita perlu memvalidasi kembali data-data BPS perihal kelas menengah yang turun kelas.

Apalagi disebutkan penurunan itu mulai berlangsung sejak covid datang.

Pertanyaan mendasar, apakah bila kelas menengah tidak turun kelas, tingkat konsumsi rumah tangga baik-baik saja atau tumbuh secara signifikan?

Rasa-rasanya, kita juga perlu menghitung ulang perihal perubahan teknologi yang tumbuh secara terstruktur, sistematis dan massif di belahan negara sana.

Kita telah merasakan ketika teknologi berubah, platform ekonomi dan bisnis berubah cepat.

Perubahan ini telah mengubah budaya dan kebiasaan kita sehari-hari.

Walhasil, ada perubahan peta permintaan yang tanpa kita sadari hal itu berjalan secara senyap dan tak terlihat.

Hingga akhirnya kita sadar bahwa ada asap, dan kemudian semua berpikir bahwa akan ada kebakaran hebat atas tanda asap tersebut. (*)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved