Aksi Tolak Revisi UU Pilkada

Gelombang Protes Revisi UU Pilkada Bermunculan, Mahasiswa dan Buruh Demo Besar-besaran di DPR

Pihak akademisi, mahasiswa, ormas Islam hingga buruh mengambil sikap untuk mengawal putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) soal aturan Pilkada.

|
Editor: fitriadi
Kolase Tribunnews.com
Seruan aksi massa kawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK). BEM sejumlah kampus di Indonesia akan menggelar aksi demo untuk mengawal putusan terkait pencalonan kepala daerah di Pilkada 2024. 

Menurut mereka, tidak ada dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah persyaratan usia calon kepala daerah termasuk besaran kursi parpol melalui revisi UU Pilkada.

"Perubahan-perubahan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa antarlembaga tinggi negara seperti MK versus DPR sehingga kelak hasil Pilkada justru akan merugikan seluruh elemen masyarakat karena bersifat kontraproduktif dan akan menimbulkan kerusakan kehidupan bernegara," tegas mereka.

Konsekuensinya adalah runtuhnya kewibawaan negara, lembaga-lembaga tinggi negara, dan hukum akan merosot ke titik nadir bersamaan dengan runtuhnya kepercayaan Masyarakat.

Karenanya, mereka meminta; pertama, DPR menghentikan revisi UU Pilkada. Kedua, bertindak arif, adil, dan bijaksana dengan menjunjung nilai-nilai kenegarawanan.

Ketiga, meminta KPU segera melaksanakan putusan MK No. 60 dan No. 70 tahun 2024 demi terwujudnya kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila.

Keempat, negara harus didukung penuh agar tetap tegar dan kuat dalam menjalankan konstitusi sesuai dengan perundang- undangan, serta mengingatkan secara tegas bahwa kedaulatan rakyat adalah berdasarkan Pancasila.

Muhammadiyah: DPR harus Hormati Putusan MK Bukan Bertentangan

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga bereaksi menanggapi RUU Pilkada yang bergulir di Badan Legislasi (Baleg DPR RI).

Melalui Sekretaris Umum atau Sekum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti, pihaknya kecewa dengan forum tersebut dimana putusan yang dihadirkan malah berseberangan dengan hasil Mahkamah Konstitusi (MK).

‘Kami sulit memahami langkah dan keputusan DPR yang bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga legislatif, DPR seharusnya menjadi teladan dan mematuhi undang-undang,” kata dia dalam keterangannya, Kamis (22/8/2024).

Menurut dia, sudah seharusnya DPR sebagai lembaga negara yang merepresentasikan kehendak rakyat  menghayati betul dasar-dasar bernegara yang mengedepankan kebenaran, kebaikan, dan kepentingan negara dan rakyat dibanding dengan kepentingan politik kekuasaan semata.

“DPR sebagai pilar legislatif hendaknya menghormati setinggi-tingginya lembaga yudikatif, termasuk Mahkamah Konstitusi,” tegas Mu’ti.

DPR tidak boleh berseberangan, berbeda, dan menyalahi  keputusan MK dalam masalah persyaratan  calon  kepala daerah  dan ambang batas pencalonan kepala daerah dengan melakukan pembahasan RUU Pilkada 2024.

Pihaknya khawatir langkah DPR tersebut dapat menimbulkan ketidakharmonisan yang panjang.

Selain dapat menimbulkan masalah disharmoni dalam hubungan sistem ketatanegaraan, juga akan menjadi benih permasalahan serius dalam Pilkada 2024.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved