Tribunners

Sumber Daya Alam, Berkah atau Kutukan?

Sumber daya alam sering kali menciptakan peluang bagi praktik korupsi karena nilai ekonomi yang sangat tinggi.

Editor: suhendri
istimewa
Darol Arkum - Rektor Institut Pahlawan 12 Sungailiat Bangka Belitung 

Oleh: Darol Arkum - Rektor Institut Pahlawan 12 Sungailiat Bangka Belitung

PERTANYAAN apakah sumber daya alam ekstraktif merupakan berkah atau kutukan telah menjadi topik perdebatan dalam studi pembangunan ekonomi. 

Pertama perspektif berkah, pandangan ini menganggap sumber daya alam sebagai berkah karena memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran masyarakat. Sumber daya alam menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi negara, menghasilkan pendapatan dari ekspor, investasi, dan pajak. Pengelolaan yang bijaksana dari sumber daya alam dapat memberikan manfaat jangka panjang dalam bentuk pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kedua, perspektif kutukan, berpandangan bahwa sumber daya alam menjadi kutukan bagi negara-negara yang mengandalkan terlalu banyak pada ekstraksi sumber daya alam. Ini dikenal dengan hipotesis "kutukan sumber daya alam" di mana eksploitasi berlebihan atau tidak berkelanjutan, sumber daya alam telah menyebabkan masalah ekonomi, sosial, dan kerusakan lingkungan yang serius, termasuk ketergantungan berlebihan pada sektor tertentu, ketimpangan ekonomi yang meningkat, degradasi lingkungan, konflik sumber daya, dan perilaku korupsi sumber daya alam.

Ketiga, perspektif tengah, berpendapat sumber daya alam menjadi berkah atau kutukan tergantung pada bagaimana sumber daya dikelola dan didistribusikan. Pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana dan berkelanjutan yang memperhitungkan kepentingan jangka panjang masyarakat dan lingkungan, dapat mengubah kutukan menjadi berkah. Ini melibatkan pengelolaan kebijakan sumber daya alam yang inklusif, transparan, dan akuntabel, serta partisipasi aktif masyarakat sipil dalam pengambilan keputusan.

Tragedi Negara dan Daerah Kaya SDA

Penemuan terhadap kekayaan sumber daya alam selalu memunculkan impian tentang kekayaan dan kemakmuran pembangunan di negara-negara berkembang di dunia. Beberapa negara seperti Angola, Irak, Iran, Indonesia, Kongo, Kolombia, Meksiko, Nigeria, Sierra Leone, Sudan, dan Venezuela merupakan contoh beberapa negara yang mengalami berbagai hambatan (barriers) untuk melakukan diversifikasi ekonomi, rendahnya capaian dan prestasi indikator-indikator kesejahteraan sosial, tingkat kemiskinan yang parah, munculnya ketidakadilan dan pengangguran, perilaku korupsi yang merajalela, pengelolaan tata kelola yang buruk, pelaksanaan peraturan yang otoriter, lemahnya penegakan hukum, merebaknya budaya dan perilaku perburuan rente, kerusakan lingkungan hidup yang parah, tingginya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan munculnya risiko konflik kepentingan dan menimbulkan perang yang lebih besar (Humphreys et al. 2007). 

Sebaliknya beberapa negara seperti Tanzania, Argentina, Madagaskar, Mongolia, Kyrgistan, Armenia, Brunei, Argentina, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, Zambia, Ghana, Chili, Botswana, Meksiko, dan Norwegia berhasil dalam pengelolaan sumber daya alamnya yang menimbulkan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan rakyatnya dilihat dari tingkat pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Gejala ini disebut juga sebagai “Dutch Disease” atau “Wabah Belanda” (Acemoglu, 2019).

Fenomena Pembangunan Bangka Belitung

Sebagai daerah yang kaya dengan sumber daya alam, Bangka Belitung menghadapi permasalahan mendasar pembangunan. Data empiris menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung tahun 2023 terendah ke-7 nasional diantara 38 provinsi di Indonesia (BPS, 2024). Pada tahun 2024 triwulan II, posisi pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung kembali melorot terendah se-Indonesia yaitu hanya 1,03 persen. Ketergantungan ekonomi Bangka Belitung sangat tinggi terhadap satu komoditas timah menjadi salah satu kontributornya. 

Indeks Pembangunan Manusia Bangka Belitung tahun 2023 berada di peringkat ke-17 nasional sebesar 72,85 berada di bawah angka nasional yaitu 73,55 (BPS, 2024). Rendahnya kinerja pembangunan sumber daya manusia diperparah dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi Bangka Belitung terendah se-Indonesia yaitu hanya 18,19 jauh di bawah angka nasional yaitu sebesar 31,45 (BPS, 2024). 

Rata-rata lama sekolah Bangka Belitung juga jauh berada di bawah angka nasional dan terbawah ke-8 hanya sebesar 8,66 (BPS, 2024). Angka ini menunjukkan rata-rata penduduk Bangka Belitung belum menamatkan program pendidikan dasar 9 tahun. Sementara itu, persentase penduduk umur 10 Tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah masih cukup signifikan sebesar 1,98 persen (BPS, 2023). Tingginya anak putus sekolah di Bangka Belitung disebabkan antara lain tingginya tenaga kerja anak sebesar 2,92 persen (terbesar ke-7 nasional) yang sebagian besar bekerja di sektor pertambangan timah.

Konflik pertambangan timah antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat telah berlangsung sejak tata kelola timah di era otonomi daerah. Pertambangan telah memberikan konsekuensi negatif bagi pemerintah dan dalam tata kelola pembangunan ekonomi makro. Bahkan, pendapatan fiskal berasal dari pertambangan timah belum signifikan sebagai penopang ekonomi.

Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi timah di darat dan laut memiliki dampak jangka panjang yang serius bagi ekosistem, keanekaragaman hayati, kesehatan manusia, dan stabilitas iklim. Eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab atau tidak berkelanjutan menyebabkan kerusakan lingkungan makin serius, termasuk deforestasi, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati dan terganggunya sektor unggulan ke depan. Ini dapat mengancam keberlanjutan lingkungan hidup dan menghambat pembangunan berkelanjutan jangka panjang.

Bahkan tata kelola salah satu sumber daya alam Bangka Belitung, timah, sangat buruk. Sejak Kejaksaan Agung melakukan penegakan hukum terhadap tata kelola timah tahun 2015-2022 dan telah ditetapkan sejumlah tersangka. Hasil perhitungan ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, negara mengalami kerugian mencapai Rp300 triliun dari nilai ekologis, ekonomi dan pemulihan lingkungan (Kompas, 30 Mei 2024).

Halaman
12
Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved