Tribunners
Melestarikan Nilai-nilai Pengetahuan Tradisional
Dalam sebuah pengetahuan tradisional, ada nilai-nilai luhur sarat makna yang harus diketahui, dipahami, dan dijadikan pedoman generasi kini
Oleh: Darwance - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Anggota Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual (APHKI)
SECARA historis, konsep hak kekayaan intelektual atau HKI muncul sebagai rezim untuk memberikan perlindungan secara hukum terhadap hasil karya intelektual seseorang atau beberapa orang. Sebagaian besar literasi menyebutkan, perlindungan HKI dimulai dari 3 cabang utama HKI, yakni merek, paten, dan hak cipta. Pada saat itu, produk yang diperdagangkan dibedakan dengan kata/simbol tertentu, atau tanda resmi (hallmark).
Secara formal, dimulai sejak aturan HKI di Venice, Italia, pada tahun 1470 yang kemudian diadopsi oleh Kerajaan Inggris pada tahun 1500-an, melahirkan Statute of Monopolies (1623). Pada tahun 1791, UU Paten lahir di Amerika Serikat, disusul pada tahun 1883, lahir Paris Convention (paten, merek dagang, dan desain) dan pada tahun 1886, lahir Bern Convention (masalah hak cipta/copyrights).
Jauh sebelum konsep HKI ini muncul, dalam ranah praktik, masyarakat sudah memiliki beragam pengetahuan, jika muncul sekarang (atau setidak-tidaknya pada saat rezim HKI ada secara formal), bisa didaftarkan sebagai salah satu jenis HKI, misal saja paten. Hanya saja, karena dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya adalah sulitnya mengidentifikasi orang yang pertama kali menemukannya secara personal, maka pengetahuan tradisional kemudian diklasifikasikan sebagai kekayaan intelektual komunal (KIK) yang tidak lagi melihat kepemilikan secara individual, tetapi kolektif (bersama-sama). Rezim HKI pada perkembangannya hingga kini memberikan ruang melalui sejumlah regulasi, untuk dapat melindungi pengetahuan tradisional secara hukum.
Pemaknaan pengetahuan tradisional
Semula, oleh beberapa kalangan, pengetahuan tradisional meliputi semua yang diketahui dan diekspresikan oleh komunitas tradisional, termasuk ekspresi budaya tradisional. Pada perkembangannya, pengetahuan tradisional dimaknai hanya menunjuk kepada karya teknologi lokal dan pribumi (indigenous), khususnya yang berhubungan dengan pengolahan tanaman, penyemaian dan pembibitan tanaman, diagnosis, pengobatan, hortikultura, resep makanan dan minuman, prediksi, atau teknik dengan menggunakan bahan-bahan alami. Sementara itu, ekspresi budaya tradisional lebih kepada karya tradisional di bidang musik, tari, ceritera, ritual, lencana, seni, kerajinan tangan, bentuk ukiran, bentuk arsitek, dan lain sebagainya (M. Hawin & Agus Budi Riswandi, 2018, 88-89).
Bila beranjak dari dua pemaknaan di atas, lalu dikaitkan dengan beberapa cabang HKI yang bersifat individual, maka pengetahuan tradisional lebih kepada ruang lingkup paten, sedangkan ekspresi budaya tradisional lebih kepada ruang lingkup hak cipta (misalnya musik, tari), beberapa di antaranya juga cenderung kepada perlindungan merek (misalnya penggunaan nama-nama pengetahuan tradisional tertentu sebagai merek).
Mengapa tidak dilindungi menggunakan ketiga undang-undang ini saja? Ini karena sifatnya yang dikembangkan secara kolektif oleh masyarakat tradisional di masa-masa tertentu, atau dapat saja mulanya dikembangkan secara individual, tetapi berkembang secara komunal sehingga secara personal tidak lagi dapat diidentifikasi.
Sebagai contoh, siapa yang menemukan formulasi resep masakan lempah kuning khas Bangka? Secara personal, ini sulit diidentifikasi, sehingga lempah kuning kemudian dilindungi sebagai pengetahuan tradisional masyarakat Bangka yang tidak mengenal kepemilikan secara individual, tetapi dianggap sebagai pengetahuan masyarakat Bangka secara umum. Lempah Kuning adalah hasil dari daya intelektual masyarakat Bangka dalam mengolah resep makanan menjadi makanan khas yang populer sampai sekarang.
Problematika regulasi
Pengetahuan tradisional diatur pada Pasal 38 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC). Pengetahuan tradisional juga disinggung di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, yakni kewajiban penyebutannya dalam deskripsi paten jika memang invensi berkaitan dengan dan/atau berasal dari pengetahuan tradisional, supaya pengetahuan tradisional tidak diakui oleh negara lain dan dalam rangka mendukung Access and Benefit Sharing (ABS). Artinya, secara khusus, tidak ada undang-undang (salah satu jenis peraturan perundang-undangan, di bawah TAP MPR), yang secara khusus mengatur tentang pengetahuan tradisional.
Selain memiliki karakter yang khas dan berbeda dengan jenis HKI yang bersifat individual (sui generis), diselipkannya pengaturan tentang pengetahuan tradisional pada rezim UUHC bukan lagi hanya terkesan terlalu dipaksa, tetapi bentuk pengabdian negara akan eksistensi kekayaan tradisional yang melimpah dan bernilai. Di sisi lain, ini bisa dibaca positif sebagai upaya mengisi kekosongan hukum, sebelum akhirnya ada undang-undang tersendiri. Nyatanya, sampai sekarang, belum ada tanda-tanda akan ada.
Pengetahuan tradisional juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal, disebutkan perlindungan kekayaan intelektual komunal salah satunya adalah pengetahuan tradisional. Sesuai dengan hakikatnya, domain peraturan pemerintah hanya sampai pada persoalan pelaksanaan teknis, tidak terlalu substantif sebagaimana undang-undang. Sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal, terdapat Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Data Kekayaan Intelektual Komunal, pengetahuan tradisional juga diatur di peraturan ini.
Optimalisasi perlindungan dan upaya pelestarian
Pada tahun 1999, perusahaan kosmetik multinasional Jepang, Shiseido, tercatat telah mematenkan 11 tanaman obat tradisional (jamu) Indonesia. Beberapa klaim negara lain atas pengetahuan tradisional di negara lainnya lagi sering terjadi. Klaim dilakukan dalam bentuk pengajuannya sebagai paten di negara tertentu, lazimnya dilakukan oleh negara maju terhadap pengetahuan tradisional di negara berkembang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.