Tribunners
Malapraktik di RSUD Beltim: Mana Pendekatan yang Pas, Restorative Justice atau Retributive Justice?
Kasus ini sejatinya bisa diusut dengan dua delik sekaligus, yakni delik formil maupun materil
Oleh: Risky Ristiandy - Betiong Thinktank Center, Aktivis Lingkungkan Kader Hijau Muhammadiyah
SELASA, 24 Desember 2024 lalu, publik Belitung Timur kembali dikejutkan dengan beredarnya video terkait malapraktik yang terjadi di RSUD Muhammad Zein, Belitung Timur (Beltim). Video yang dimaksud tentang pemberian obat dengan merek Clinimix yang sudah kedaluwarsa kepada seorang pasien. Berdasarkan video tersebut, obat dengan merek Clinimix itu telah expired atau kedaluwarsa pada bulan 11 tahun 2024.
Melihat tanggal expired tersebut, anak pasien panik dan kemudian melaporkan kejadian itu kepada anggota DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Beliadi. Dalam laporannya, ia mengatakan bahwa obat yang diberikan kepada ayahnya sudah kedaluwarsa dan mohon kepada Beliadi agar memberikan teguran kepada pihak RSUD agar kejadian serupa tidak terjadi kembali.
Kehebohan terkait pemberian obat kedaluwarsa oleh RSUD Muhammad Zein Belitung Timur mendapat banyak respons dari masyarakat. Video yang diunggah di Instagram saja sudah ditonton 14,5 ribu kali. Respons warganet sangat beragam, namun intinya mereka sangat marah dan kecewa atas layanan yang sembarangan dari pihak RSUD.
Malapraktik medis sendiri merupakan tindakan tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan standar profesi atau prosedur operasional yang berlaku, mengakibatkan kerugian bagi pasien. Sanksi terhadap malapraktik medis dapat berupa sanksi pidana dan administratif.
Perkembangan informasi yang didapat, pihak keluarga tampaknya ingin menempuh jalan damai. Mereka hanya berharap bahwa kasus ini jangan sampai terulang kembali. Saat perwakilan RSUD, yakni Ibu Ani, sebagai kepala jaga saat kejadian, menemui keluarga korban, dia meminta maaf dan berjanji bahwa persoalan serupa tidak akan terulang kembali.
Lantas, kasus ini sebenarnya apakah harus diselesaikan dengan restorative justice atau retributive justice? Manakah yang lebih tepat?
Dalam kajian hukum, kasus ini sejatinya sudah masuk kepada kategori kelalaian kerja yang menyebabkan kerugian bagi pasien. Apabila keluarga pasien melaporkan, maka kasus akan diusut dengan delik aduan yang bersumber dari aduan keluarga korban dan merupakan langkah retributive justice.
Namun sebaliknya, apabila kasus ini viral di media sosial dan pihak berwenang menyaksikan videonya, maka status delik aduan bisa saja tidak digunakan. Akan tetapi, pihak kepolisian bisa menggunakan delik formil maupun materil apabila menyangkut kejadian kelalaian, serta menggunakan delik materil jika yang paling berkesan adalah dampak pascakelalaian. Hal ini merupakan langkah retributive justice.
Penanganan hukum secara restoratif memang ampuh menekan spekulasi dan juga opini masyarakat. Akan tetapi, penanganan hukum dengan jalan restorative cenderung membiarkan kesalahan yang sama terulang di waktu yang akan datang.
Kasus ini sejatinya bisa diusut dengan dua delik sekaligus, yakni delik formil maupun materil. Delik formil mengarah kepada perbuatan yang dilakukan, yakni melakukan kelalaian dalam pemberian obat kepada pasien. Apabila tidak terjadi respons buruk atas obat, penyidik bisa menyimpulkan kasus ini dengan delik formil dengan pasal 304 KUHP yang berbunyi "Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, sedangkan menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu..."
Selain itu, pelaku juga bisa dijerat dengan Pasal 361 KUHP yang berbunyi "Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu pekerjaan, jabatan, atau kedudukan..."
Kelalaian dalam pemberian obat dapat dipandang sebagai delik formil jika fokusnya pada pelanggaran kewajiban hukum tanpa memandang akibat langsung (Pasal 304 atau Pasal 361 KUHP). Namun, jika akibatnya signifikan (kematian atau luka berat), biasanya lebih relevan dikategorikan sebagai delik materil (Pasal 359 atau Pasal 360 KUHP).
Pasal 360 KUHP berbunyi:
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaan) menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Jika perbuatan itu menyebabkan orang lain mendapat luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit yang tidak dapat disembuhkan, terganggu atau hilangnya fungsi alat tubuh, maka pelaku diancam pidana yang sama.
Pada pasal 360 dan 361 KUHP, sanksi berupa pidana penjara 5 tahun atau kurungan 1 tahun. Mengingat yang keliru dalam memberikan obat adalah petugas yang sedang berdinas, maka hukuman bisa diperberat dengan pasal 361 KUHP dengan menambah sepertiga dari hukuman maksimal pada pasal 360 KUHP.
Selain merujuk kepada KUHP, terkait masalah pemberian obat kedaluwarsa juga diatur dalam UU Kesehatan RI. Pemberian obat yang tidak memenuhi standar, termasuk obat kedaluwarsa, diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 196 UU Kesehatan menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu, dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.
Pada Pasal 190 UU Kesehatan juga mengatur sanksi bagi fasilitas kesehatan dengan bunyi Ayat (1): Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama kepada pasien yang dalam keadaan gawat darurat dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00.
Adapun ayat 2 dari Pasal 190 berbunyi: Jika perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.
Adapun terkait aturan yang berlaku pada tenaga kesehatan yang melakukan perbuatan malapraktik, sebagaimana Pasal 84 Ayat (1) UU No.36 Tahun 2014 maka: Tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pasien dapat dikenai sanksi administratif berupa: teguran lisan; teguran tertulis; rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi; atau rekomendasi pencabutan izin praktik.
Lebih lanjut pada ayat (2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tenaga kesehatan yang karena kelalaiannya mengakibatkan luka berat atau kematian dapat dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal ini mendukung argumentasi bahwa, selain sanksi administratif, tenaga kesehatan yang melanggar prosedur dan melakukan malapraktik juga bisa disanksi dengan sanksi pidana, dan atau bisa disanksi dengan keduanya secara bersamaan, dan atau dihukum secara administratif.
Selain undang-undang, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2023 tentang Pengawasan Obat dan Makanan mengatur sanksi administratif bagi pelanggaran terkait obat, termasuk penghentian kegiatan sementara.
Menurut BPOM, dalam Peraturan BPOM Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pengawasan Obat dan Makanan, negara mengatur bahwa mutu pelayanan kefarmasian di instansi pelayanan kesehatan harus memastikan obat yang diberikan aman dan bermutu, serta melarang penggunaan obat kedaluwarsa.
Pada akhirnya, sanksi terkait malapraktik pada kasus pemberian obat kedaluwarsa di RSUD Muhammad Zein dapat disanksi secara retro (restorative justice) maupun retri (retributive justice). Selain itu, opsi sanksi secara administratif juga bisa menjadi opsi apabila korban ingin melakukan upaya restorative.
Namun, dalam hal ini saya sangat mendukung apabila upaya yang dilakukan Polres Belitung Timur adalah melakukan upaya penindakan berdasarkan delik formil ataupun materil terhadap kasus malapraktik di RSUD Belitung Timur. Dalam artian, upaya distributive justice adalah langkah yang sebaiknya ditempuh. Mengingat hal ini merupakan sebuah kejadian yang mengkhawatirkan dan berdampak pada kepercayaan serta keselamatan orang yang hendak berobat.
Persoalan malapraktik di Indonesia sudah kadung banyak yang terangkat ke publik. Seperti kasus obat penurun panas di Tangerang tahun 2022, serta kasus pemberian obat di Puskesmas Kamal Muara. Dari dua kasus ini, tidak ada upaya hukum yang tegas terhadap pelaku. Selain itu, kasus ini terkesan sangat diremehkan, sedangkan pemberian obat yang rusak jelas merupakan ancaman terhadap nyawa.
Betapa banyak langkah restorative justice yang diambil hanya akan melahirkan masalah baru yang berlanjut di kemudian hari. Yang terungkap ke publik hanyalah sebagian kecil dari yang terjadi. Karena, terkadang di faskes yang ada, pasien jarang yang memperhatikan obat dan batas penggunaan akhir.
Penanganan dengan retributive justice adalah langkah yang paling tepat dilakukan saat ini. Mengingat kasus yang sering terjadi secara berulang, supaya ke depan, persoalan serupa tidak terulang, maka perlu sanksi tegas dan membuat efek jera bagi pelanggar aturan. Selain itu, aturan yang tegas terhadap setiap orang pelayan masyarakat bertujuan supaya mereka lebih bertanggung jawab pada tugasnya agar terhindar dari kerugian besar akibat kelalaian yang mereka lakukan. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.