Tribunners

Pengembangan Agribisnis Lada Putih Bukan Tanggung Jawab Satu Pihak Semata 

Pengembangan agribisnis lada putih di Kecamatan Air Gegas tidak dapat dicapai hanya dengan mengandalkan satu pemangku kepentingan

Editor: suhendri
Dokumentasi Annisa Pradnya Paramitha
Annisa Pradnya Paramitha - Mahasiswa Magister Ilmu Pertanian Universitas Bangka Belitung 

Oleh: Annisa Pradnya Paramitha - Mahasiswa Magister Ilmu Pertanian Universitas Bangka Belitung

LADA putih menjadi satu-satunya komoditas yang memiliki Indikasi Geografis (IG) dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tidak hanya memiliki rasa yang pedas, lada putih yang dikenal sebagai Muntok White Pepper ini juga memiliki aroma yang khas sehingga permintaannya terbilang tinggi, terutama dari pasar global. 

Sayangnya, permintaan tersebut sukar terpenuhi karena produksi yang terus-menerus mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2025) mencatat bahwa produksinya hanya mencapai 16.717,20 ton pada tahun 2024, padahal produksinya mencapai 26.408,83 ton pada tahun 2022 dan 18.454,43 ton pada tahun 2023.

Penyebab penurunannya beragam, termasuk harga yang dipandang rendah. Apabila dibandingkan dengan harga sebesar Rp183.000 per kilogram pada tahun 2016 lalu, harga sebesar Rp123.000 per kilogram pada tahun 2025 ini menjadi alasan yang kuat dalam tren peralihan komoditas budi daya.

Seiringan dengan prinsip ekonomi, lada putih dapat tergantikan oleh komoditas lain yang memiliki prospek lebih baik, seperti kelapa sawit. Data dari Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Kabupaten Bangka Selatan menunjukkan bahwa harga kelapa sawit berbentuk tandan buah segar (TBS) di pabrik kelapa sawit (PKS) mencapai Rp1.700 sampai dengan Rp1.800 per kilogram pada Januari 2024 dan Rp2.250 sampai dengan Rp2.350 per kilogram pada Januari 2025. Hal ini mensinyalir pemangku kepentingan untuk mengadakan upaya pengembangan agribisnis lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, khususnya di Kecamatan Air Gegas, Kabupaten Bangka Selatan.

Kecamatan Air Gegas merupakan sentra produksi lada putih di Kabupaten Bangka Selatan. Data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangka Selatan (2025) menunjukkan bahwa produksi lada putihnya mencapai 48,44 persen setara dengan 1.885,75 ton dari 3.893,32 ton pada tahun 2024. Kontribusi ini menjadikan Kecamatan Air Gegas sebagai lokasi pembangunan kawasan perdesaaan berbasis lada putih pada tahun 2019 sampai dengan tahun 2023 sesuai dengan Peraturan Bupati Bangka Selatan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Lada Putih Tahun 2019—2023.

Pengembangan agribisnis lada putih di Kecamatan Air Gegas, Kabupaten Bangka Selatan, ini tidak dapat dicapai hanya dengan mengandalkan satu pemangku kepentingan. Istilah the man behind the gun tidak hanya merujuk kepada petani lada putih selaku komunitas, tetapi kompleksitas pemangku kepentingan yang juga memegang kendali, antara lain akademisi, pebisnis, pemerintah, dan media massa. Permasalahan usaha tani sebagai pemengaruhnya memerlukan perhatian dari sekelompok pemangku kepentingan tersebut yang berkolaborasi dalam model pentahelix karena model pentahelix menempatkan pemangku kepentingan ini pada posisi yang setara dalam ekosistem untuk pengambilan tanggung jawab.

Secara keseluruhan, para pemangku kepentingan sudah berupaya menjalankan peran sesuai dengan kompetensinya masing-masing dalam pengembangan agribisnis lada putih di Kecamatan Air Gegas, Kabupaten Bangka Selatan. Akan tetapi, pengembangan agribisnis lada putih tetap mengalami kendala, terbukti dengan adanya kesenjangan antara kondisi ideal dan kondisi eksisting. Kesenjangan yang dimaksud muncul karena pemangku kepentingan dalam pengembangan agribisnis lada putih belum mampu memenuhi syarat keberhasilan kolaborasi. 

Akademisi, pebisnis, komunitas, pemerintah, dan media massa memang sudah menaruh perhatian terhadap komoditas lada putih, tetapi komunikasi antarsesama belum terjalin dengan baik sehingga perbedaan persepsi pun muncul. Pemangku kepentingan tertentu merasa sudah menjalankan fungsinya secara optimal, sedangkan pemangku kepentingan lain dirasa tidak memberikan dukungan terhadap penjalanan fungsi tersebut.

Sehubungan dengan mispersepsi tersebut, syarat keberhasilan kolaborasi dari model pentahelix dapat dipenuhi dengan mengintegrasikan kelima-limanya dalam forum koordinasi yang menyelenggarakan pertemuan secara rutin. Pertemuan ini dapat memperkecil kesenjangan antara teori dan praktik yang dipahami oleh masing-masing pemangku kepentingan dalam pengembangan agribisnis lada putih melalui perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian nonsektoral. 

Sejak lada putih memperoleh Indikasi Geografis (IG) pada tahun 2010 lalu, pertemuan antarpemangku kepentingan yang bertujuan untuk membahas pengembangan agribisnis lada putih tercatat hanya dilakukan sebanyak dua kali. Detailnya dipaparkan sebagai berikut:

1.  Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) atau Focus Group Discussion (FGD) Geliat Lada Putih sebagai Produk Ekspor Unggulan Bangka Belitung oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung pada Kamis, 13 September 2018, di Ruang Rapat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung.

2.    Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) atau Focus Group Discussion (FGD) Koordinasi Pendampingan Hilirisasi Lada Putih Kabupaten Bangka Selatan oleh Balai Perakitan dan Pengujian Tanaman Rempah, Obat, dan Aromatik (BRMP-TROA) Republik Indonesia pada Selasa, 2 September 2025, di Aula BRMP Bangka Belitung.

Pertemuan yang dimaksud masih bersifat insidental di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, khususnya di Kecamatan Air Gegas, Kabupaten Bangka Selatan. Hal ini menjadikan prosedur operasional standar sebagai sesuatu yang penting bagi pemangku kepentingan, terutama prosedur operasional standar yang berkaitan dengan motif warm-glow. Motif yang dimaksud memiliki makna bahwa perbuatan baik tidak hanya didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain, tetapi juga kepuasan dari pengalaman berbuat baik kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. 

Dengan demikian, upaya pengembangan agribisnis lada putih oleh akademisi, pebisnis, komunitas, pemerintah, dan media massa tidak bertumpu pada keuntungan materiel, tetapi juga keuntungan imateriel, artinya pengembangan agribisnis lada putih menjadi gerakan yang dilandasi oleh kepuasan batin atas penciptaan manfaat terhadap eksistensi lada putih melalui kerja sama yang kontinu. (*)

 

 

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved