Tribunners
Isra’ Mi’raj: Duka di Bumi, Kemuliaan di Langit
Salat adalah penenang untuk semua kegelisahan dan kesedihan, sekaligus sebuah jeda untuk berhenti dari problematika dunia
Oleh: Hafia Akbar - Guru SMP IT Al-Kahfi, Pasaman Barat
BEBERAPA ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi menjelaskan mengenai keutamaan dan keberkahan yang terdapat dalam bulan Rajab, bulan ketujuh dalam hitungan kalender Hijriah. Dalam surah At-Taubah, Allah Swt mengatakan bahwa Ia menetapkan dua belas bulan pada penciptaan langit dan bumi. Dan di antaranya ada empat bulan haram.
Bulan haram tersebut ialah empat bulan mulia di luar bulan Ramadan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Disebut “bulan haram” karena pada bulan-bulan tersebut umat Islam dilarang mengadakan peperangan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menyatakan bahwa Rajab masuk dalam kategori al-asyhur al-fadhilah di samping Dzulhijjah, Muharram, dan Sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram.
Tak hanya itu, keberkahan juga melimpah dalam bulan Rajab. Salah satunya, pada bulan ini Allah menurunkan perintah salat, sebuah syariat wajib sekaligus identitas bagi seluruh umat Islam.
Tepatnya pada tanggal 27 Rajab, Allah Swt menyuruh Nabi untuk datang langsung menjemput syariat salat ke Sidratul Muntaha, langit ketujuh. Sejak saat itu, salat menjadi sebuah ibadah wajib bagi setiap Muslim.
Namun, ada satu hal menarik dalam peristiwa tersebut. Kejadian-kejadian yang dialami Nabi Muhammad sebelum penjemputan wahyu salat merupakan bagian dari rangkaian peristiwa yang tidak dapat dipisahkan dari makna salat itu sendiri. Rentetan peristiwa yang terjadi sangat menguras emosi Rasulullah, yang mengakibatkan beliau teramat sedih.
Sebab, beberapa bulan sebelumnya, pamannya, Abu Thalib, meninggal dunia. Abu Thalib merupakan orang yang mengasuh dan menjaga Nabi sejak usia 8 tahun hingga Rasulullah dewasa. Pada saat Nabi Muhammad telah menyiarkan Islam di Kota Makkah, Abu Thalib tidak mengikuti ajaran yang dibawa oleh keponakannya tersebut. Bahkan hingga ajal menjemputnya, ia tidak juga mengucapkan syahadatain.
Kendatipun demikian, Abu Thalib adalah orang yang berdiri paling depan untuk membela Nabi di hadapan kaum kafir Quraisy yang hendak menyakiti bahkan membunuh Nabi. Dalam Sirah Nabawiyah karangan Syekh Safiyurrahman Al-Mubarakfuri, disebutkan bahwa Abu Thalib menentang keputusan di Darun Nadwah—tempat musyawarah para pemuka Quraisy—yang memutuskan bahwa Nabi Muhammad akan dibunuh.
Abu Thalib mengumpulkan seluruh Bani Hasyim dan Bani Muthalib untuk sepakat melindungi Nabi Muhammad dari pembunuhan tersebut. Bagi Abu Thalib, siapa yang hendak membunuh keponakannya, maka harus melangkahi mayatnya terlebih dahulu.
Selang beberapa bulan setelah sang paman meninggal, Nabi Muhammad ditinggal oleh istri tercinta, Khadijah. Bagi Rasulullah, kedudukan Khadijah tidak hanya sebagai seorang istri, tetapi juga pejuang dakwah yang memiliki peran penting dalam perkembangan Islam pada masa itu.
Sibel Eraslan dalam bukunya Khadijah: Ketika Rahasia Mim Terungkap menyebutkan bahwa Khadijah merupakan orang paling kaya seantero Kota Makkah. Jumlah kekayaan beliau digambarkan oleh Sibel Eraslan: jika disatukan jumlah harta semua orang kaya di seluruh Makkah, masih belum bisa menandingi kekayaan Khadijah.
Khadijah menjadi sebuah tembok besar bagi kaum Quraisy untuk menghentikan dakwah Nabi. Mereka segan sekaligus sungkan untuk menyentuh suami dari orang paling kaya di kampung tersebut.
Satu-satunya istri yang tidak pernah dipoligami oleh Rasulullah tersebut tidak pernah ragu untuk menginfakkan hartanya demi keberlangsungan dakwah Islam. Sejarah mencatat bahwa Khadijah meninggal dalam keadaan miskin, sebab seluruh hartanya sudah ia dedikasikan membela agama Islam. Bahkan di akhir hayatnya, ia masih berpikir tentang keberlangsungan dakwah Islam.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.