Kisah Safrizal ZA Eks Pj Gubernur Babel Temukan Dokumen Sakti Soal 4 Pulau Sengketa Aceh - Sumut
Safrizal ZA, eks Penjabat Gubernur Bangka Belitung (Babel) punya kisah bagaimana ia menemukan dokumen sakti soal 4 pulau sengketa Aceh dan Sumut.
Penulis: Dedy Qurniawan CC | Editor: Dedy Qurniawan
Senada dengan Mualem, ia mementahkan ajakan Bobby untuk mengelola bersama empat pulau tersebut.
Menurut dia, tidak pernah ada pulau di suatu provinsi yang dikelola oleh dua pemerintah daerah berbeda secara bersama-sama.
“Setahu saya tidak ada pulau atau daerah yang dikelola bersama. Tidak ada, masa dua bupatinya. Masa dua, bayar pajaknya dan ke mana?” tanya Jusuf Kalla, saat ditemui di kediamannya, Jumat pekan lalu
Di sisi lain dilihat dari aspek historis, ia meyakini keempat pulau adalah milik Aceh.
Hal tersebut merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 yang menjadi dasar penetapan batas wilayah Aceh dalam Perjanjian Helsinki tahun 2005 silam.
UU ini, kata JK, jauh lebih tinggi dari Kepmendagri soal empat pulau.
Keputusan menteri tidak bisa membatalkan UU. JK pun meyakini bahwa Pemerintah Provinsi Aceh berupaya mempertahankan kepemilikan pulau tersebut, bukan karena ada potensi minyak yang dapat dikelola.
Oleh karena itu, dia berharap agar pemerintah bisa menyelesaikan persoalan tersebut secara sebaik-baiknya, dengan mengedepankan kepentingan masyarakat.
“Ya, itu pulaunya tidak terlalu besar. Jadi, bagi Aceh itu harga diri. Kenapa diambil? Dan itu juga masalah kepercayaan ke pusat. Jadi, saya kira dan yakin ini agar sebaik-baiknya demi kemaslahatan bersama,” kata JK.
Dokumen "penyelamat"
Dalam sengketa, ada sejumlah dokumen yang digunakan Aceh untuk menguatkan posisi dan pernyataannya.
Selain UU Nomor Tahun 1956, dokumen yang digunakan adalah Surat Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1953 yang menyatakan bahwa empat pulau merupakan bagian dari wilayah Aceh.
Begitu pula UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan hasil kerja lapangan dari Tim Pemetaan Pulau Aceh Tahun 2016 dan Tahun 2018.
Ada juga Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada 1992 yang disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, Jenderal Rudini.
Dilengkapi dengan dokumen historis menunjukkan bahwa keempat pulau selama ini berada dalam struktur pemerintahan dan pelayanan administratif Aceh.
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir menyatakan, Undang-Undang 1956 dan Perjanjian MoU Helsinki tidak dapat dipisahkan dari kesepakatan yang dibuat pada tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Sumatera Utara.
"Yang jelas kalau kita pelajari secara hukum bahwa kesepakatan ini menjadi UU bagi para pihak. Dan ini mengikat bagi kedua para pihak itu sendiri," ujar dia, di depan Kantor Gubernur Aceh, Senin (16/6/2025). Terlebih, Permendagri 141 Tahun 2017 tentang penegasan batas daerah, pada Pasal 3 Ayat 2 huruf f, menyebutkan, bahwa dokumen penegasan batas daerah mencakup kesepakatan yang pernah dibuat oleh pemerintah daerah yang berbatasan.
Dalam lampiran Permendagri tersebut, dijelaskan tahapan penegasan batas daerah di laut, yang meliputi pengumpulan semua dokumen terkait, seperti peta dasar dan dokumen lain yang disepakati oleh para pihak.
"Dokumen penyelesaian batas daerah salah satunya adalah kesepakatan kedua daerah yang berbatasan. Ini aturan yang ngomong, bukan kata orang," tegas dia.
Diakhir Prabowo
Setelah berlarut dan tidak kunjung selesai, Kepala Negara memutuskan keempat pulau masuk wilayah Aceh berdasarkan bukti-bukti dan dokumen pendukung.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyatakan, ada sejumlah dokumen milik pemerintah yang digunakan.
Pertama, Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada 1992 yang disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, Jenderal Rudini.
Kemudian, Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 111 tahun 1992 tentang Penegasan Batas Wilayah Antara Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada 24 November 1992.
"Ada yang dari Pemerintah Provinsi Aceh juga, kemudian ada yang dimiliki Setneg dokumen di Setneg, kemudian ada juga dokumen yang dimiliki kementerian dalam negeri," ujar Prasetyo.
Prasetyo berharap, keputusan ini menjadi yang terbaik bagi kedua pihak dan seluruh masyarakat Indonesia.
Usai keputusan, Gubernur Aceh dan Sumatera Utara yang sebelumnya terlibat dalam polemik menunjukkan kedekatan.
Keakraban itu terlihat setelah keduanya berjabat erat usai konferensi pers terkait keputusan Presiden. Mereka tampak mengepalkan tangan setinggi pundak, sembari tersenyum.
"Wah, ini (saling bersalaman) wajib ini, wajib," kata Prasetyo berseloroh.
Mualem dan Bobby memilih duduk bersebelahan di buggy car setelah keluar dari Kantor Presiden.
Buggy car itu berjalan perlahan, mengantar para pejabat ke luar Kompleks Istana Kepresidenan sebagai tanda masalah selesai dan keputusan akhir bersifat final. (kompas.com/ Serambi News)
Rekam Jejak AKBP Yasir Eks Kapolres Tapsel di Kasus Topan Ginting, Lulusan Akpol Ikut Diperiksa KPK |
![]() |
---|
Margaret Buat Guru & Tetangga Menyesal: Balas Ejekan 'Miskin Jangan Kuliah' dengan Dijemput Dosen UI |
![]() |
---|
Sosok Muhammad Iqbal Kajari Mandailing Natal yang Bakal Diperiksa KPK terkait Korupsi Jalan Sumut |
![]() |
---|
Upaya Pengembalian Pulau Tujuh Masuk ke Provinsi Bangka Belitung, Tajuddin: Tahapan Terus Berlanjut |
![]() |
---|
Mitigasi Politik Berebut Pulau |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.