Tribunners

Fenomena Fatherless dan Dampaknya terhadap Pembentukan Identitas Anak

Anak-anak tidak akan mengenang nominal gaji ayah, tetapi akan selalu mengingat seberapa sering ayah hadir saat mereka membutuhkan.

Editor: suhendri
Dokumentasi Mursal Azis
Mursal Azis, S.Pd., M.Pd. - Pembina Literasi SMAN 2 Pangkalpinang 

Mursal Azis, S.Pd., M.Pd. - Pembina Literasi SMAN 2 Pangkalpinang

SENYUM anak yang penuh percaya diri dan langkahnya yang mantap dalam menjalani kehidupan sering kali mencerminkan kehadiran figur penting di balik pertumbuhan jiwanya. Sosok yang mungkin tak selalu tampak dalam foto keluarga, tidak banyak bicara, namun diam-diam menjadi jangkar batin yang menjaga anak tetap kokoh menghadapi ombak kehidupan yaitu ayah. 

Fenomena sosial yang mengemuka saat ini memperlihatkan wajah baru dari krisis keluarga fatherless generation. Bukan semata tentang anak-anak yang kehilangan ayah karena kematian atau perceraian, tetapi juga anak-anak yang tumbuh bersama ayah yang hadir secara fisik namun absen secara emosional.

Tubuh ayah ada di rumah, namun jiwanya tersesat dalam kesibukan dunia luar. Akibatnya, anak mengenal ayah sebagai sosok pendiam, keras, bahkan terasa asing dalam keseharian mereka. Padahal, rumah adalah institusi pendidikan pertama bagi anak. Tempat di mana karakter dibentuk jauh sebelum ia mengenal guru atau bangku sekolah.

Dalam rumah tersebut, ayah dan ibu adalah guru utama. Sering kali peran ibu begitu digarisbawahi, namun kehadiran ayah sebagai pendidik karakter tak kalah penting. Anak membutuhkan dua tangan untuk menapaki kehidupan: satu tangan lembut penuh kasih dari ibu, dan satu tangan tegas penuh keyakinan dari ayah.

Mengapa peran ayah begitu penting? Pertama, kehadiran emosional seorang ayah terbukti memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan kepercayaan diri anak. Dalam penelitian psikologi perkembangan, anak yang memiliki hubungan hangat dan terbuka dengan ayahnya cenderung tumbuh dengan rasa aman, stabil secara emosional, dan mampu bersosialisasi dengan baik. Laporan National Fatherhood Initiative di Amerika Serikat bahkan menyatakan bahwa keterlibatan ayah yang aktif mampu menekan risiko perilaku bermasalah, depresi, serta kegagalan akademik pada anak.

Kedua, ayah memiliki peran penting sebagai panutan moral (role model) di lingkungan keluarga. Cara ayah memperlakukan pasangan, menepati janji, menyelesaikan konflik, atau menyikapi kegagalan, akan menjadi pelajaran langsung bagi anak dalam memaknai kehidupan. Anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka saksikan dibandingkan apa yang mereka dengar.

Ketiga, keterlibatan ayah dalam momen-momen kecil anak memiliki dampak psikologis yang besar. Saat anak sakit, tampil dalam acara sekolah, gagal dalam ujian, atau sekadar ingin bercerita tentang harinya, kehadiran ayah memberi makna bahwa dirinya penting. Kalimat sederhana seperti “Ayah bangga padamu” atau “Ceritamu menarik sekali, Nak,” adalah bentuk validasi emosional yang menumbuhkan perasaan dicintai dan dihargai.

Sayangnya, banyak ayah yang secara tidak sadar menjauh dari dunia batin anak karena tekanan pekerjaan. Asumsi bahwa tugas ayah hanya sebatas memenuhi kebutuhan materi telah mengebiri dimensi emosional dalam pola pengasuhan. Padahal, cinta bukan sekadar hadir dalam bentuk barang atau uang. Pelukan dan kebersamaan memiliki nilai yang jauh lebih dalam daripada hadiah-hadiah fisik. Anak-anak tidak akan mengenang nominal gaji ayah, tetapi akan selalu mengingat seberapa sering ayah hadir saat mereka membutuhkan.

Apa dampaknya bila ayah absen secara emosional? Ketidakhadiran ayah, baik secara fisik maupun emosional, berpotensi menciptakan kekosongan batin. Anak bisa kehilangan arah, merasa tidak cukup berarti, atau mencari sosok pengganti ayah dalam relasi yang berisiko.

Tidak jarang remaja mencari perhatian melalui cara-cara negatif: kenakalan, ketergantungan pada teman sebaya, hingga ketidakstabilan emosi. Akar dari banyak perilaku menyimpang ini dapat ditelusuri hingga pada luka batin karena “ayah tidak benar-benar ada”. Luka tersebut kerap tidak kasatmata. Ia tersembunyi dalam bentuk sikap dingin, rendah diri, atau kebutuhan berlebih terhadap pengakuan. 

Anak perempuan yang tidak memperoleh cinta dari ayahnya sering tumbuh menjadi sosok yang mudah menyerahkan hatinya kepada siapa saja. Anak laki-laki yang tidak mendapatkan keteladanan ayah kerap tumbuh tanpa pemahaman yang sehat tentang makna tanggung jawab dan kepemimpinan.

Membangun kembali jembatan emosional

Tentu tidak ada sosok ayah yang sempurna. Namun yang dibutuhkan anak bukanlah kesempurnaan, melainkan kehadiran yang utuh secara fisik, mental, dan emosional. Kehadiran yang tidak hanya muncul ketika anak sukses, tetapi juga ketika anak terjatuh dan membutuhkan sandaran.

Menjadi ayah tidak harus selalu memiliki jawaban atas semua pertanyaan anak. Cukup dengan menjadi pendengar yang tulus, mengakui bahwa ayah pun pernah gagal dan bingung, serta menyediakan waktu untuk duduk bersama tanpa gangguan gawai itu sudah menjadi bentuk cinta yang luar biasa. Menyempatkan hadir dalam kegiatan sekolah, menemani saat belajar, atau berbincang ringan saat makan malam adalah bagian dari proses membangun jembatan emosional.

Halaman
12
Sumber: bangkapos
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved